"Bagas, berhenti!" Teriak Oma Lidia, membuat Bagas dan yang lainnya berhenti.
"Ada apa, Bu?" tanya Bagas. Oma Lidia berjalan ke arah Bagas, lalu membaca sesuatu yang tidak mereka mengerti.
"Kalian, apa yang kalian ambil di jalan tadi?" tanya Oma Lidia dengan dingin.
Almira membuka tangannya, lalu menunjukkan apa yang dia temukan di jalan.
"Astaga, kamu ini! Kalau nemu apa-apa, jangan diambil, buang!" omel Oma Lidia.
"Memangnya kenapa, Oma?" tanya Almira.
"Bukan apa-apa, sudah ayo masuk. Kita sarapan," ajak Oma Lidia.
Mereka semua mengangguk dan bergegas masuk ke dalam, dan mandi secara bergantian di kamar mandi yang terletak di dekat dapur. Bagas menghampiri Oma Lidia untuk menanyakan apa yang tadi sang ibu usir.
"Ibu," panggil Bagas.
"Ada apa? Kamu mau bertanya yang tadi?" Bagas mengangguk sebagai jawaban, dan duduk di dekat sang ibu.
"Tadi Almira memegang semacam jimat yang dibuang oleh pemiliknya. Jimat tersebut ada isinya, yang ikut denganmu," papar Oma Lidia, menatap lurus ke depan menikmati udara pagi dengan menyesap teh hangatnya.
"Beruntung Ibu melihatnya, dan dia takut sama Ibu." Bagas hanya beroh saja, dia memang banyak tahu. Jika sang ibu memiliki kelebihan dalam hal mistis.
*****
Ingatan Bagas kembali ke masa lalu, saat dirinya masih sangat kecil. Seingatnya, dulu dia juga bisa melihat makhluk gaib, tapi kejadian saat itu membuat sang ibu menutup mata batin yang terbuka.
Dulu setelah kehilangan ayahnya, Bagas dan sang kakak sering ditinggal sang ibu bekerja. Sehingga dia hanya berdua saja dengan Bastian, yang selalu menggantikan peran Lidia dalam mengurus rumah. Dia juga selalu memasak untuk makan malam, saat itu Bagas sendiri baru berusia empat tahun dan Bastian tujuh tahun.
"Kamu duduk diam di sini, jangan ke mana-mana ya!" ujar Bastian.
"Abang, mau kemana?" tanya Bagas.
"Abang mau menangkap ikan, buat makan kita. Kasian ibu kalau terus makan sayur daun singkong," balas Bastian.
"Ke sungai?"
"Enggak, ke selokan belakang rumah."
"Ikut," serunya.
Bastian mulai berpikir, dia juga tidak tega meninggalkan sang adik sendirian.
"Ya sudah, tapi jangan jauh-jauh dari tempat kakak ya!" peringati Bastian.
"Siap," Bagas memberikan hormat pada sang kakak, membuat kedua adik kakak tersebut tertawa bersama.
Beberapa menit kemudian, mereka sudah sampai di selokan belakang rumah. Selokan tersebut tidak terlalu besar, dan juga tidak terlalu dalam.
Bastian biasanya selalu menangkap ikan di selokan tersebut, dan juga menangkap belut di sawah. Bagas hanya menatap sang kakak, yang sudah turun ke selokan, sedangkan dia duduk di batu besar.
Saat tengah memperhatikan Bastian, Bagas menoleh ke samping ada anak perempuan seusianya. Wajahnya bule, walaupun pucat, rambutnya dikepang berwarna coklat.
"Kamu siapa?" tanya Bagas dengan polosnya.
"Aku mau main, kamu mau main sama aku?" tanyanya.
"Boleh, ayo kita main. Tapi main apa?" tanya Bagas.
"Oh ya, siapa nama kamu?"
"Helena," jawabnya.
“Helena, nama yang bagus," kata Bagas.
"Aku Bagas," Bagas mengulurkan tangannya, dan disambut oleh Helena. Bagas merasa tangan Helena dingin.
"Tangan kamu, kok dingin seperti es," celetuk Bagas tertawa, Helena tersenyum manis pada Bagas.
"Mungkin karena cuaca sedang dingin, jadi tangan aku dingin," kata Helena. Bagas pun mengangguk saja, mencoba percaya. Dia senang mendapat teman main saat sedang menunggu sang kakak menangkap ikan.
Helena menceritakan kisahnya pada Bagas, lalu mereka bermain pecle atau engklek, permainan Sunda yang cara memainkannya dengan melompat atau meloncat pada bidang datar gambar di atas tanah.
Bastian yang mendengar adiknya tertawa melihat sekilas, lalu kembali fokus mencari ikan. Dia pikir sang adik sedang main sendiri. Bagas tertawa riang, begitu pun Helena. Helena merasa memiliki teman setelah merasa sendiri. Sejak lama, Helena memperhatikan Bagas, akhirnya memiliki kesempatan untuk berkenalan.
*****
Lidia yang melihat sang anak yang sedang mengingat masa lalu, langsung ditepuk membuat lamunan Bagas buyar.
"Mikirin dia, lagi?" tanya Lidia.
"Ehh... enggak kok, Bu. Aku lagi mikirin pekerjaan," elak Bagas.
"Jangan bohong, Ibu tahu. Dia sangat berkesan dalam hidupmu," ujar Lidia. Bagas menghela napas dengan kasar, dia memang sedikit masih mengingat Helena, walaupun sekarang tak bisa melihat lagi.
"Jika bukan karena Ibu, mungkin sekarang Aluna tidak ada," celetuk Lidia.
"Apa maksud Ibu?" tanya Vita, yang tiba-tiba muncul.
"Sayang, bukan apa-apa kok. Ayo masuk," ajak Bagas, yang tidak ingin tahu masa lalunya. Bagas menggiring Vita masuk ke dalam rumah, dan membawanya ke kamar.
Lidia hanya bisa menggeleng, lalu menatap ke arah taman di mana ada ayunan di dekat pohon. Di sana Helena tersenyum pada Lidia, waktu berlalu begitu cepat. Tapi, Helena masih seorang anak berusia tujuh tahun, sedangkan Bagas sudah berusia dua puluh sembilan tahun.
"Pergilah, dia sudah bahagia," kata Lidia. Namun, Helena masih bertahan karena ingin melihat Bagas sampai Bagas tak terlihat lagi olehnya. Helena tidak bisa pergi dari kampung ini karena satu hal.
Di dalam kamar, Vita menatap sang suami yang akan pergi mandi. Dia butuh kejelasan tentang yang dibicarakan oleh sang suami dan mertuanya.
"Kenapa, sih sayang? Kok liatnya gitu amat," kekeh Bagas.
"Tadi, apa maksud Ibu?" tanya Vita.
"Yang mana?" Bagas menatap Vita.
"Kata Ibu, kalau bukan karena Ibu, mungkin Aluna gak akan ada," jelas Vita, mengulang ucapan sang mertua.
"Sudah lah sayang, bukan apa-apa," jawab Bagas.
Vita cemberut, tidak puas akan jawaban dari Bagas.
"Cepat mandi, lalu kita sarapan bersama," kata Vita, dijawab anggukan oleh Bagas yang langsung mencium pipinya.
"Dasar," omel Vita. Namun, dia masih tersenyum. Bagas suaminya sangat manis, selalu memperlakukannya dengan baik.
Saat Vita sedang menghadap cermin, tiba-tiba dia terkejut dengan adanya sosok anak perempuan dengan wajah pucat.
"Siapa kamu?" tanya Vita ketakutan. Namun, sosok itu malah masuk ke dalam tubuh Vita.
"Bagas," lirihnya. Sosok tersebut duduk di pinggiran ranjang, menunggu Bagas selesai mandi. Dia bergumam tak jelas.
"Bunda," panggil Luna, seraya mengetuk pintu.
"Bunda, Bunda di dalam?" tanya Aluna, tak adanya jawaban membuat Luna khawatir. Kata Nisa, ibunya ada di kamar.
"Bun," panggil Aluna, mendorong pintu yang tak terkunci. Aluna masuk, dan mendapati Vita sedang bernyanyi lagu yang tak dia kenal.
"Sejak kapan Bunda bisa bahasa asing?" batin Aluna, menatap sang ibu dengan bingung.
Sosok yang memasuki Vita, menyanyikan lagu yang sering dinyanyikan oleh Bagas. Yaitu, Boneka Abdi dalam bahasa asing.
"Bunda." Panggil Aluna pelan, Vita mengangkat wajahnya menampilkan wajah yang menyeramkan.
"Bu-Bunda, ke-kenapa?" tanya Aluna dengan takut, dia mundur dengan perlahan.
Tiba-tiba, Vita tertawa sangat nyaring membuat siapa saja merinding. Bahkan Aluna, sampai menutup telinganya. Sementara Oma Lidia dan yang lain yang mendengar langsung bergegas menuju sumber suara.
bersambung...
Maaf typo
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments