Cerita Pengantar Tidur

Malam pun tiba. Suasana di desa itu begitu sunyi, walau baru pukul tujuh malam. Hanya suara hewan malam yang terdengar. Di teras rumah, Oma Lidia, Bagas, dan Vita duduk bersama, bernostalgia mengenang masa lalu.

"Mama sangat merindukan kakakmu, Bastian," ucap Oma Lidia. Bastian adalah ayah dari Hasan.

"Aku juga, Ma. Doakan saja Mas Bastian dan Mbak Winda baik-baik saja dan bisa pulang dengan selamat ke tanah air," balas Bagas.

Oma Lidia mengangguk lalu menatap ke depan. Meski desa ini sudah sedikit modern, tradisi dan kepercayaan warga tetap kuat.

"Ayo kita masuk. Sudah malam, nggak baik terlalu lama di luar. Takut ada yang ikut masuk," celetuk Oma Lidia.

Bagas dan Vita saling pandang, lalu mengikuti sang Ibu masuk ke dalam rumah. Setelah mengucap bismillah dan mengunci pintu, mereka masuk ke kamar masing-masing. Oma Lidia memutuskan mengecek cucu-cucunya yang belum juga tidur.

Dari luar kamar, terdengar suara tawa Aluna dan Almira. Hasan sedang membaca buku, sementara Raka memainkan gitar. Oma Lidia menggeleng pelan, seharusnya mereka sudah tidur.

"Anak-anak," panggil Oma Lidia.

Aluna dan Almira menoleh dan tersenyum. "Astaga, kalian, tutup jendelanya cepat!" serunya panik.

Hasan dengan sigap menutup dan mengunci jendela. Oma Lidia lalu mencari sesuatu dan meletakkannya di dekat jendela.

"Ini harus tetap di sini, jangan dibuang. Paham?"

"I-iya, Oma," jawab mereka kompak.

"Memang kenapa, Oma? Itu apa?" tanya Aluna.

"Bukan apa-apa. Di sini, kalau sudah magrib, pintu dan jendela harus ditutup. Makanan juga disimpan atau ditutup."

"Tapi Oma... Di Jakarta, kami biasa saja," sela Almira.

"Di desa beda dengan di kota, Nak."

"Tapi—"

"Sudah. Cepat tidur!" titah Oma Lidia.

Mereka saling pandang. Ada yang disembunyikan di desa ini. Meski sudah modern, tetap saja terasa mistis.

"Oma, bolehkah bercerita zaman dulu?" pinta Aluna.

Oma Lidia menghela napas. "Baiklah. Tapi jangan menyesal ya."

Anak-anak langsung duduk manis. Aluna dan Almira di atas karpet, Hasan dan Raka ikut menyimak. Oma Lidia pun mulai bercerita.

Dulu, penerangan desa masih memakai lampu minyak.

"Kita harus pulang, nanti dimarahi Ibu," ujar Wisnu.

"Sebentar, tanggung. Ikannya lagi banyak," sahut Saka.

"Kita sudah magrib. Pamali kalau masih di luar."

Wisnu kesal, tapi akhirnya menarik pancingnya. Mereka berjalan di jalan setapak yang sempit, melewati pohon bambu yang lebat—konon tempat tinggal makhluk halus.

"Kamu sih, asik banget mancingnya. Jadi telat pulang," omel Wisnu.

"Maaf. Tapi hasilnya banyak, kan?" tunjuk Saka pada ember berisi ikan.

Tiba di bawah pohon bambu, perasaan Wisnu tak enak. Dia menggenggam tangan Saka lebih erat.

"Aduh Nu, sakit tahu!"

"Maaf... Ayo cepat."

Tiba-tiba, terdengar suara benda jatuh. Tubuh mereka kaku. Ingin menoleh pun sulit.

"Nu, apa itu?"

"Gak tahu... Kita doa aja."

Mereka mulai membaca doa. Wisnu memberi aba-aba untuk lari. Saat hitungan satu, mereka berlari secepat mungkin. Tapi suara anak ayam terdengar—menurut kepercayaan, pertanda kehadiran makhluk halus.

"Saka, kok kita masih di sini? Kita balik lagi ke pohon bambu," ujar Wisnu panik.

"Mana aku tahu!" jawab Saka.

Mereka terus berjalan, tapi bukannya sampai jalan kampung, justru makin masuk ke hutan.

"Gimana ini?" Saka hampir menangis.

"Kita harus cari jalan pulang."

Tapi semakin lama, hutan semakin gelap dan mencekam. Mereka duduk sebentar, dan Saka melihat gubuk.

"Wisnu, itu ada rumah. Ayo ke sana."

"Rumah? Mana ada rumah di hutan. Kamu ngaco!"

"Benar, aku nggak bohong."

Tapi Wisnu tak melihat apa-apa. Dia khawatir mereka disesatkan makhluk tak kasat mata.

"Kita harus keluar dari sini. Ayo!"

Mereka berjalan beriringan. Wisnu terus mengingat pesan ibunya: jangan main sore-sore, apalagi di sungai.

Sementara itu, keluarga mereka panik. Wisnu dan Saka belum pulang.

"Katanya main di lapangan, tapi saya cari nggak ada," ucap ibu Wisnu.

Tio, teman mereka, akhirnya bicara. "Bude, mereka ke sungai. Mancing ikan."

"Apa?!" pekik ibunya Wisnu.

"Sudah, kita cari ke arah sungai," putus Pak RT.

Namun, warga enggan ikut. Mereka percaya ada arwah wanita tua yang suka menyesatkan anak-anak di malam hari...

Tepat pukul tujuh malam, setelah sholat isya. Akhirnya warga bergerak untuk mencari Wisnu dan Saka, para warga membawa alat pukul agar si mahluk tak kasat mata tersebut mau melepaskan anak-anak.

Ibu Wisnu dan Saka sudah menangis, mereka ingin ikut awalnya. Namun, dilarang oleh suami mereka masing-masing.

"Doakan, anak kita kembali dengan selamat." Ujar ayahnya Wisnu, begitu pula ayahnya Saka.

Ibu Wisnu dan Saka pun mengangguk sebagai jawaban, lalu mereka menatap kepergian para warga menuju hutan.

Cerita terputus, dan Oma Lidia menatap cucu-cucunya dengan tatapan penuh makna. Aluna merinding.

"Sudah, tidur. Nanti Oma lanjutkan lain kali," ujar Oma Lidia seraya berdiri meninggalkan mereka dalam keheningan malam.

"Yah, padahal lagi seru. Oma," protes Raka

Oma Lidia tersenyum. "Sudah besok lagi, sekarang kalian istirahat. Jangan tidur terlalu malam gak baik." Pesan Oma Lidia.

"Baik Oma," balas mereka kompak

Walau penasaran, mereka harus menuruti aturan didesa tersebut.

Bersambung...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!