Ketakutan Arun

"Gus, apa iya beneran?!" Tejo masih merasa ini di luar akal sehatnya saja kalau benar anak-anak Arya akan mau menjadi santri di pondok baru ini.

Secara loh mereka ini sudah bergelimang harta dari kecil, merasakan hidup aman, nyaman, bebas mau apa saja, santai kalau ada masalah karena keluarga mereka dibutuhkan oleh warga, sampai-sampai kesalahan pun mereka tabrak.

Ukaisyah berhenti sejenak, hal itu jelas membuat kaki Tejo berhenti juga, menarik kembali satu kakinya yang hampir mendahului Ukaisyah.

"Hidayah nggak ada yang tahu kapan hadirnya, kita juga nggak menolak atau membuat batasan siapa saja yang mau belajar ngaji di pondok. Selama mereka mau dan tergerak hatinya, Insyaallah dimudahkan. Yang saya pikirkan bukan itu, Jo!"

"Lah!" Tejo kira itu.

"Kita terbuka saja siapa yang mau belajar, di sini masalahnya yang mau itu pak Arya, bukan anak-anaknya. Memaksa anak kurang tepat disaat mereka sudah dewasa seperti ini, pasti sedikit alot, susah gitu loh. Ya ... Semoga pak Arya dapetin jawaban yang tepat dan anak-anaknya minimal mau belajar lagi, nggak nginep di pondok pun nggak apa, bisa ngaji kayak di TPQ," jelas Ukaisyah.

Ya, semua tergantung dari pribadi masing-masing, lagipula mereka itu bukan anak kecil lagi meskipun masih di bawah Ukaisyah semuanya.

Mereka kembali bekerja hari ini, banyak sekali hal yang harus mereka selesaikan, termasuk membagi sembako pada orang tua santri yang kurang mampu. Jujur saja, pondok pesantren ini memang besar, tapi biayanya sangatlah murah dan mengikuti pendapatan warga sekitar, tidak ada patokan khusus untuk biaya masuknya, bisa dibilang juga sebagian besar mendapatkan sumbangan belajar sehingga mereka hanya butuh niat.

Ini impian Ukaisyah beberapa tahun lalu, dibantu kakaknya, dia bisa membangun satu per satu pondok dengan pondasi yang berbeda-beda, khusus di desa ini dibuatnya lain daripada yang lain, sebab banyak santri yang tidak dipungut biaya apapun untuk belajar di sini.

"Gus, ada Ning Husna," bisik Tejo sembari membungkuk, kebetulan Ukaisyah tengah sibuk dengan laporan nilai di laptopnya.

Ukaisyah mengesah kecil, bukan dia tidak senang kalau ada kerabat dari pondok-pondok lain sekitar desa ini dan lainnya datang, tetapi lebih pada tujuannya. Ngomong-ngomong, sudah lama ibunya membahas tentang perjodohannya dengan Husna.

"Bunda ada di sana?"

"Ibu ada, Gus. Ini saya ke sini juga diminta sama Ibu, Gus!" jawab Tejo sedikit cemberut, masa iya dia memberi kabar seenak kepalanya, bisa digantung dia. "Ayo, Gus, udah ditunggu!"

"Iya," ucap Ukaisyah bergegas, panggilan dari ibunya itu nomor satu, tidak akan dia tunda.

Tapi, setiap langkahnya Ukaisyah masih menyimpan ragu, dia hanya menganggap Husna sebagai teman sebaya, tidak ada rasa lebih meskipun itu hanya tertarik, kalaupun ada tidak lepas dari kepandaian Husna dalam ilmu agama, secara hati yang berbunga-bunga, tidak Ukaisyah temukan pada Husna.

Kan, benar dugaan Ukaisyah, Husna tidak mungkin datang sendiri, pasti bersama kedua orang tuanya yang juga mempunyai pesantren. Lagi-lagi, dia harus mendengarkan pertanyaan kesiapan untuk menikah dan soal calon. Dan untuk kesekian kalinya, Ukaisyah menjawab belum ada yang membuat hatinya bergetar.

"Kurangnya Husna itu apa sih, Sya? Bunda jadi penasaran, sebenarnya yang kamu cari itu gimana, hem? Semakin lama kamu nikah, semakin besar godaan yang kamu dapetin, Bunda khawatir ada titik lemah yang nggak bisa kamu kendalikan," tutur Aisyah mengusap kepala putranya yang tengah bermanja di pangkuannya itu.

Ukaisyah mendongak. "Isya setuju, Bun, kalau menikah itu nggak semua berdasarkan cinta. Tapi, Isya juga nggak mau kalau memaksakan diri, setidaknya ada satu getaran yang bisa membesar nantinya dan itu nggak Isya temuin di Husna. Isya mau menjaga dan mencintai wanita sama kayak yanda ke Bunda, tulus!"

"Heeem, kamu ini emang yang paling persis gaya ngomongnya kayak yandamu ya! Yaudah, Bunda doakan kamu segera dipertemukan dengan yang membuat hatimu bergetar, kenalin sama Bunda, ajak Bunda ke rumahnya, nggak perlu lama-lama ya!"

Ukaisyah mengangguk, mungkin akan menyakiti Husna, atau mungkin bukan Husna saja, melainkan masih banyak anak Kyai yang hendak dijodohkan dengannya, tapi Ukaisyah ingin memegang erat prinsipnya.

***

Seharusnya, jumat itu menjadi hari membahagiakan bagi semua pekerja karena besok adalah akhir pekan, bisa kerja santai dan ada juga yang rebahan di rumah.

Tapi, entah kenapa hari ini menjadi hari sial bagi Arun. Setelah dia membantu pekerjaan di peternakan ayahnya, sejenak dia ingin menikmati semilir angin di bawah pohon rindang. Ketenangan di sana terusik dengan obrolan beberapa warga yang membahas dirinya.

"Kemarin, ada yang mau dikenalkan ke rumahnya pak Arya buat Arun, dari desa tetangga. Tapi, pilih mundur setelah tahu Arun judi ayam!"

"Halah, jangankan yang itu! Ini udah jadi kabar sampe ke pelosok, cuman pada diem di depannya bu Ajeng sama pak Arya. Arun itu kayak berandalan loh, yang mau dianter bapaknya jadi males, ya takut nanti diinjak-injak waktu rumah tangga!"

"Nah, gitu itu apa nggak khawatir sama masa depan ya, gimana kalau nggak nikah, heh? Ya sekarang masih muda, tapi waktu kan berjalan, siapa yang mau sama perempuan kuasa gitu? Pada angkat tangan!"

Cih!

Arun mendengus kesal, dia bukan adik-adiknya yang bisa bermuka dua di depan orang lain, seketika gadis itu berdiri mengejutkan beberapa warga yang tengah membicarakannya itu.

Bukan hanya syok, ada yang hampir pingsan karena mengingat pekerjaan mereka terancam.

"Kalau aku belum nikah, itu urusanku, bukan urusan kalian! Urusin aja anak-anak kalian yang udah nikah, tapi ngeluh terus nggak punya uang buat beli beras!" ucapnya berkacak pinggang.

"Run-"

"Dahlah, nggak perlu ngerayu, telingaku masih normal!" potong Arun membuat warga ketar-ketir.

Arun pun bergegas meninggalkan mereka semua, kedua tangannya terkepal, sebenarnya dia terganggu dengan desakan itu, tapi apa daya, tak ada dari semua kenalan dan teman laki-lakinya yang bisa diajak serius.

Dan satu lagi, ini yang orang lain tidak tahu dan terkadang membuat Arun terpaksa menangis sendirian.

Bapaknya Arun dulu sukanya main cewek sebelum ketemu sama si istri, udah nakal apa aja dia, nyewa cewek sana-sini. Yang jadi pertimbangan, bisa dapet karma itu anaknya, kan Arun cewek sendiri, kebayang dia nanti cuman dimainan sama cowok, habis manis sepah dibuang, ya kan?!

Arun kembali duduk di dekat pengairan sawah, sengaja kakinya yang polos itu dia celupkan ke air, masa bodoh dengan hewan apa saja di sana yang bisa membahayakannya, dia hanya ingin tenang.

Ada rasa takut, dia takut terkena karma yang diucapkan orang-orang itu.

"Gus, itu bukannya mbak Arun, anaknya pak Arya?" tanya Tejo mengernyit dari kejauhan, sore ini mereka bersepedah santai berdua dengan kaos dan sarung batik. "Kita ke sana, Gus? Itu sendirian loh!"

Inginnya, tapi

"Nanti, jadi fitnah, Jo. Kita muter saja!"

"Oh, iya, hehehehe ..." gumam Tejo lupa, tentu saja mereka harus tahu batasan.

Terpopuler

Comments

Nindi Yati

Nindi Yati

aku yakin sih sikap arun ini pasti ada pengaruh akibat buapakkknya nackal nauzubillah 🤣🤣

2023-08-12

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!