JODOH JATUH DARI LANGIT
Dengan mengucap Bismillah Ukaisyah membuka hati dan menerima penawaran dari ibundanya untuk segera menikah, meminang gadis alim yang tidak lain putri salah satu kyai besar di desa sebelah, keluarga mereka pun cukup lama saling kenal dan setelah berdiskusi, mereka sama-sama sepakat untuk semakin mendekatkan hubungan keduanya lewat tali pernikahan.
"Udah siap buat pergi, Sya?" tanya Aisyah pada sang putra.
Ukaisyah mengangguk, menghindari gejolak masa muda memang pilihannya dan menikah menjadi solusi terbaik, apalagi gadis itu bukan sembarang gadis, dia dibesarkan dalam lingkungan pesantren yang tentu saja ilmu agamanya sangat tinggi.
Sepanjang perjalanan, tidak berhenti Ukaisyah memutar tasbihnya hingga sampailah mereka di rumah kyai Saleh dengan banyak kerumunan orang.
"Gus, kabar buruk!" kata Tejo berlari kembali ke mobil.
"Kabar apa?" Ukaisyah lantas turun, kalau terjadi sesuatu, juga tak patut mereka diam saja.
Tejo tidak bisa menjelaskan, dia pun mengajak Ukaisyah untuk segera menyusul para orang tua dan kakaknya yang lebih dulu menemui kyai Saleh dan keluarga.
Deg!
Perasaan Ukaisyah sudah tidak nyaman, melihat raut sedih di wajah ibunya sudah menjadi sebuah tanda ada hal yang tidak sesuai rencana. Dengan rasa ingin tahu dan bercampur rasa takut, Ukaisyah pun meminta penjelasan.
"Kamu yang sabar ya," kata Aisyah mengusap pipi putranya, lalu memeluk.
"Nda, ada apa?"
Sungguh, ini tidak pernah Ukaisyah bayangkan sebelumnya, bahkan semua orang tak menduga kalau akan terjadi hal seperti ini.
"Putrinya Kyai Saleh pergi dari rumah, Nak. Tiba-tiba saja nggak ada di kamarnya dan nulis pesen kalau dia nggak bisa menikah sama kamu, dia sudah punya pilihan, jadi dia pergi karena nggak mau dipaksa ..." Aisyah menjelaskan itu sambil menangis, sebab dia pun tak memaksa keluarga kyai Saleh maupun gadis itu untuk setuju, semua mengalir begitu saja. Kalaupun ada yang tidak setuju, mereka bisa mengatakannya baik-baik.
Ukaisyah terdiam, mungkin ini jawaban dari segala doanya meskipun tak sesuai ekspektasinya sendiri. Tidak ada yang bisa dia lakukan, kecuali kembali pulang tanpa mencela keluarga kyai Saleh, sebab mereka pun tidak menyangka pada akhirnya akan seperti ini.
"Hari ini, aku mau cari angin aja, Nda. Tenang, aku nggak apa, cuman syok itu pasti ada. Daripada aku nggak fokus di pondok, lebih baik beberapa jam aku di luar sebentar, boleh ya?" Ukaisyah memohon izin pada ibunya.
Aisyah tidak bisa menolak, toh ini untuk kebaikan anaknya juga. Lagipula, siapa yang akan kuat bila setelah sekuat itu meyakinkan diri, lalu dirobohkan tanpa aba-aba, bahkan saat dia belum siap.
"Kamu, ikutin Isya ya!" Aisyah meminta Tejo untuk selalu bersama putranya.
"Siap, Mik. Saya duluan," balas Tejo lantas menyusul langkah Ukaisyah.
Entah mau pergi ke mana mereka, pastinya ingin mencari udara segar, Ukaisyah juga belum berkeliling jauh desa ini. Di sisinya, senantiasa Tejo mendampingi, mereka kembali ke pondok lebih dulu untuk berganti sepeda motor.
Namun, terdengar suara kencang yang begitu menyakitkan sekilas hampir memecahkan gendang telinga dua orang ini.
"Gus, ada balap liar!" kata Tejo gemetaran.
Balap liar?
***
"Tarik, Run, tarik!" teriak salah seorang pemuda.
Arun mengangguk sambil terus memutar gas motornya, mata gadis itu menajam sempurna, seperti elang yang hendak menangkap sang mangsa. Saat hitungan ketiga, motor yang dikendarai Arun pun melesat kencang, apapun yang melintas di depannya langsung menepi dan lebih baik terjatuh sendiri daripada tertabrak motor Arun.
Kemenangan pun dia dapatkan, tapi kubu lawan tidak terima karena merasa curang, mereka pun memulai pertengkaran hari ini. Dua kubu saling melawan, menyerang dan sampai ada yang berdarah-darah. Arun juga ikut di sana, bahkan bisa dibilang dia paling berani dari beberapa gadis yang ikut sebagai pendukung.
"Gus, yakin apa mau di sini?" Tejo ngeri sendiri melihatnya.
"Ini nggak baik loh, Jo," jawab Ukaisyah, dia melihat beberapa perempuan ada di sana, aksi seperti ini tak seharusnya melibatkan perempuan. "Saya harus hentikan ini!"
"Jangan, Gus!"
Belum sempat Ukaisyah melangkah jauh, helm teropong yang pecah tanpa sengaja terlempar ke depannya, ujung kaca helm yang masih menyangkut itu mengenai jari kaki Ukaisyah hingga berdarah.
"Minggir, kalau masih mau hidup!"
Mendengar itu, Ukaisyah mendongak, baru saja yang berbicara dan mengambil helm pecah itu bukan seorang pemuda, melainkan seorang gadis. Ingin Ukaisyah cegah, tapi kakinya lumayan sakit sehingga mau tidak mau dia mengikuti saran Tejo untuk kembali ke pondok, mengurungkan niatnya mencari udara segar.
Sementara itu, Arun kembali ke medan pertempuran, belum selesai kalau masih ada yang wajahnya bebas darah, dia terus maju. Tapi, sebelum itu dia menoleh ke arah Ukaisyah.
"Mau minta sumbangan masjid atau lagi dakwah? Salah tempat banget, ih!" gumamnya berdecak meremehkan keberadaan Ukaisyah dan Tejo yang meninggalkan wilayah itu.
Arun baru kembali setelah kubunya benar-benar menang, dengan begitu dia akan merasa lebih baik dan untuk ke depannya tak akan ada lagi yang berani menuduhnya curang atau berniat mengalahkannya.
"Rokokku mana?" tanya Arun menggantungkan tangannya.
"Udahlah, berhenti rokok, Run. Cewek nggak baik rokok!"
"Medis udah maju, jadi nggak apa. Udah kasih aja ke aku, buruan!" kata Arun masa bodoh, dia tidak peduli.
Semua temannya di sini laki-laki, bahkan adiknya semua juga laki-laki, jadi merokok bukanlah hal aneh dan asing baginya. Tiba-tiba Arun teringat akan laki-laki berpakaian rapih itu, tak lupa ada peci yang menempel di kepalanya.
Kayaknya, nggak asing deh! Tapi, di mana ya?
Entahlah, dia sepertinya pernah melihat Ukaisyah, tapi lupa di mana dan siapa, hanya saja menurutnya itu tidak asing.
"Mikirin apa, Run? Masih dendam?"
"Nggak," jawabnya santai. "Oh ya, tadi liat nggak ada dua orang yang sempet gabung, tapi mereka pake baju salat gitu loh, ada yang liat?"
Teman-temannya menggelengkan kepala.
"Malaikat kali, Run!"
"Ngasal! Mana ada malaikat bisa kena helm!?" balas Arun.
"Santri pondok baru itu mungkin!"
Lahdalah!
Arun ingat, dia ingat yang tadi, pantas saja tak asing, laki-laki itu pernah ke rumahnya.
Brak!
"Apa to, Run?!"
Arun tidak menjawab, dia bergegas pulang. Bisa jadi, Ukaisyah melihat wajahnya tadi, gawatnya kalau sampai sang ayah tahu dari pengaduan Ukaisyah, bisa hancur nama baik mereka semua.
Aarrrrgghhh!!
Dia, laki-laki itu seorang penanggung jawab pondok yang dia sebut Gus jadi-jadian. Dan tadi, dia tawuran di depan mata laki-laki itu.
Mampus aku kalau ayah tahu, duh!
"Pokoknya, awas kalau dia ngadu, aku pecel!" gerutu Arun sakit kepala sendiri. "Ayah!" panggilnya berteriak.
Prang!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
Nindi Yati
semangat pak burcok ehh salah dah tobat dia.. semangaat pak Arya💪💪
2023-08-10
0