Bab 04

Riska membungkus tubuh Clarisa dengan selimut tebal saat gadis itu mulai menggigil kedinginan. Tentu saja setelah memberinya obat demam. Dia duduk menunggu di pinggiran ranjang, memastikan gadis itu baik baik saja.

Setelah demamnya berkurang, Riska turun kembali ke lantai bawah tempat di mana orangtuanya berada. Di sana sudah ada Dito dan Syallom, suami dan putri kecilnya.

"Bagaimana kondisinya?" Mamanya bertanya.

"Demamnya sudah berkurang, Ma. Dia tertidur." Riska duduk di samping suaminya, mengambil alih putrinya dari gendongan suaminya.

"Kalian ke mana saja tadi sampai dia pulang dalam keadaan tidur begini?" Dipandangnya wajah cantik malaikat kecilnya. Gambaran wajah suaminya terpahat jelas di wajah sang putri.

"Hanya ke rumah kak Tia. Kau tahu bagaimana lengketnya Syallom dengan Aswa. Dia bahkan tidak mau pulang. Maunya Aswa ikut pulang bersamanya." Dito menceritakan kelakuan anaknya setiap bertemu anak tetangganya itu.

"Kenapa tidak minta saja Aswa nginap di sini?" tanya Riska.

"Bagaimana dengan kak Tia? Mana mungkin dia mengizinkan putrinya nginap di sini. Orang dianya saja sendirian. Suaminya kan masih kerja di kota lain." jawab Dito.

"Makanya kalian bikin satu lagi lah, biar anakmu tidak merasa kesepian di rumah." Mama Sisil memberikan jalan tengah yang menurutnya baik.

Sontak dia mendapat tatapan tajam dari anak dan mantunya.

"Mama apaan sih! Syallom saja masih satu tahun empat bulan, Mah. Belum juga lepas ASInya." Riska memberikan protesnya.

"Mama hanya becanda, Sayang." Walaupun terkejut, Dito berusaha menenangkan istrinya. Jangan sampai dia meledak. Karena watak istrinya memang seperti itu. Suka meledak pada hal - hal sepele namun cepat juga reda amarahnya.

"Tau mama nih, Yang. Dikira gampang melahirkan, sakitnya masih kerasa sampai sekarang. Jangan samakan waktu mama lahiran dulu, lahir secara normal. Aku Caesar Ma. Harus melewati proses induksi yang sakitnya minta ampun." Wanita beranak satu itu mulai merajuk. Mamanya hanya tersenyum tipis.

"Iya Sayang, mama cuma becanda saja. Lagian kata dokter jarak kehamilannya harus dua tahun dulu baru melahirkan lagi. Mama mah tidak tahu itu. Kan mama seorang perawat." Maaf mah. Dito meminta maaf dalam hatinya, jika dianggap meremehkan pekerjaan mertuanya itu. Namun yang penting sekarang wanitanya tenang dulu.

Dito tahu sampai sekarang istrinya masih trauma dengan rasa sakit saat berjuang melahirkan buah hati mereka. Tidak adanya kontraksi setelah ketuban pecah membuat dokter melakukan proses induksi persalinan normal (proses untuk merangsang kontraksi rahim guna mempercepat proses persalinan normal) karena Riska pun ingin melahirkan secara normal. Sc adalah pilihan terakhirnya karena proses penyembuhannya yang lama dibandingkan persalinan normal.

Namun setelah berjam - jam melewati rasa nyeri yang hebat, belum juga ada kontraksi. Hanya rasa nyeri yang begitu menyiksa. Berkali kali lipat dari rasa sakit saat kontraksi biasa.

Mama Sisil hanya tersenyum melihat menantunya yang berusaha menenangkan istrinya. Dia merasa bersyukur karena putrinya menikah dengan pria yang baik dan bertanggung jawab, sabar dan juga penyayang.

"Jangan hiraukan mamamu, Sayang. Dia hanya menggodamu. Kamu rawat dengan baik Syallom, limpahkan dia dengan kasih sayang. Hem" Papanya yang terkenal dengan sikap kalem cendrung pendiamnya ikut menenangkan putrinya. Tentu saja dia juga mengenal watak putrinya dengan sangat baik.

"ya ya maaf. Mama hanya becanda, Sayang. Jangan ngambek lagi. Malu sama anakmu." Mama mengalah. Sejujurnya dia tidak sedang bercanda. Dia serius dengan ucapannya. Dia ingin agar Syallom segera punya adik, agar rumah ini terasa ramai. Dirinya hanya bisa melahirkan Riska seorang karena harus menjalani operasi pengangkatan rahim karena miom yang melekat di rahimnya.

Clarisa memandang wajah putrinya. Cantik dan menggemaskan. Polos dan menenangkan. Walau terkadang rasa sakit itu membayanginya namun perlahan menghilang setiap dia menatap malaikat yang tertidur cantik di pangkuannya ini.

Riska kembali mengecup kening putrinya lalu mata, pipi dan hidungnya. Dengan gemas dia menoelkan hidungnya pada hidung sang anak.

"Jangan diganggu begitu. Dia akan terbangun nanti." Dito mengeplak pelan tangan istrinya.

"Biarkan saja ih. Aku juga mau main dengannya. Seharian ini dia sama kamu. Aku pulang dia tidak ada. Sekalinya ketemu dia sudah tidur. Aku kan kangen"

"Tapi dia lagi tidur, Sayang. Dia akan menangis kalau tidurnya terganggu."

Dan benar saja, gadis kecil itu menggeliat lalu menangis. Kalau sudah begini pastilah tugas Dito untuk menenangkannya. Dengan sigap dia mengambil putrinya dari pangkuan Riska dan menenangkannya dengan bersenandung kecil.

"Oh ya Ris, tentang Ica. Sebaiknya kamu menyarankannya untuk ke rumah sakit atau ke klinik saja." Mama kembali teringat dengan Clarisa.

"Kenapa Ma?" Riska menatap mata ibunya. Dia tidak pernah meragukan pengalaman ibunya. Bekerja selama tiga puluh tahun menjadi perawat membuat pengalamannya sangat banyak. Juga sudah melatih instingnya untuk memahami rasa sakit seseorang hanya dengan melihatnya.

"Mama tidak berpikir kalau dia hamil kan?" Riska kembali bertanya. Dia tahu arti tatapan dan senyum kecil ibunya tadi saat menanyai Clarisa juga kaitannya dengan pertanyaan tentang status temannya itu. "Dia itu gadis baik baik Ma. Dia memang sudah bertunangan dan akan segera menikah tapi dia tahu batasannya. Aku mengenalnya dengan baik. Dia tidak mungkin hamil. Dia cuma kecapean saja"

"Hamil juga tidak apa - apa, Sayang. Tapi sebaiknya dia periksa ke dokter saja. Biar tahu lebih jelas sakitnya apa dan mendapat penanganan yang tepat."

"Iya juga sih Ma. Tapi anaknya keras kepala. Dia menolak ke rumah sakit. Dia yakin dengan minum obat dan vitamin dia akan kembali membaik. Tapi kalau besok pagi dia masih demam juga aku akan membawanya ke rumah sakit." Riska juga merasa prihatin melihat kondisi temannya yang tiba tiba drop. Padahal siang tadi dia baik baik saja. Dia teringat bagaimana dulu Clarisa merawatnya saat sakit saat mereka bersama menimba ilmu di tanah rantau. Mungkin inilah saatnya dia membalas budi walau tidak bisa semuanya.

"Apakah waktu kuliah dia sering sakit?"

"Tidak Ma. Dia sangat sehat. Bahkan dia yang sering merawat aku karena aku sering terkena flu."

Riska menatap lekat ibunya, mencari tahu lewat matanya kenapa ibunya begitu penasaran dengan sakitnya Clarisa. Apakah mungkin ibunya masih berpikir Clarisa sedang hamil? Apakah mungkin benar Clarisa hamil dan menyembunyikannya darinya? Atau ada hal lain yang Clarisa sembunyikan darinya dan ibunya mengetahuinya? Namun sampai suara ibunya terdengar lagi dia tidak menemukan jawaban apapun. Tidak mudah untuk memahami isi pikiran wanita yang telah melahirkannya itu.

"Baiklah. Tapi pastikan kau membawanya ke sana. " Wanita itu menggeleng lemah mengusir sesuatu yang terus mengganggunya sejak tadi.

Bintik - bintik merah yang dia lihat di kulit lengan gadis itu. Ruam kulit!

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!