5. Bertemu Dia Lagi

Bodoh, tolol dan bego. Itulah kata yang Alana pikirkan saat ini untuk dirinya sendiri. Alana sama sekali tak menyangka, bisa-bisanya dirinya lupa memasang alarm sehingga membuatnya bangun kesiangan.

Kaki Alana melangkah lebar ke sana dan ke mari, mencari barang yang entah kenapa tiba-tiba hilang dari tempat asalnya. Alana putus asa mengingat kini sudah pukul delapan kurang dua puluh menit. Kali pertama dirinya bangun terlambat. Biasanya Alana akan bangun saat matahari bahkan belum terbit sekalipun.

Sembari melihat pantulannya di cermin, Alana menata rambutnya. Karena dirinya tak memiliki banyak waktu, alhasil Alana hanya menggulung rambutnya menggunakan jepit badai. Tak seperti biasanya yang mencoba berbagai macam gaya rambut sebelum akhirnya memutuskan hanya mengucir kuda.

Dirasa selesai, Alana langsung mengambil tas kerjanya. Buru-buru mengunci rapat pintu kost, lalu berlari sekuat tenaga. Beruntung letak kosnya itu hanya berjarak dua ratus meter saja dari tempatnya bekerja.

Setelah tiba di kawasan perusahaan tempatnya bekerja, dari kejauhan netra Alana justru menangkap sekumpulan wartawan berkumpul tepat di depan pintu masuk utama kantornya. Alana seketika khawatir jika dirinya akan telat. Sebentar lagi tepat jam delapan. Alana tak mungkin masuk lewat pintu belakang, karena itu akan jauh lebih memakan waktu.

"Masa iya rekor gue yang nggak pernah telat, harus berakhir sekarang?" gumam Alana pelan. Diteguknya liur dengan susah.

Alana terpaksa untuk tetap melangkah maju dengan melewati sekumpulan wartawan itu. Namun sudah berkata permisi sekian kali, para wartawan tak mau menyisih dan justru semakin menutupi jalan Alana.

Namun, tiba-tiba saja ada seseorang yang menariknya keluar dari kerumunan tersebut. Tampak orang itu mengenakan topi rimba berwarna hitam dan juga masker. Sementara tubuhnya tertutup rapat dengan jaket putih yang kebesaran. Alana tak tahu siapa laki-laki itu. Yang pasti orang itu memiliki perawakan yang jauh lebih tinggi darinya.

Akhirnya Alana berhasil masuk dan ia pun langsung melakukan absensi finger print. Membuang napas lega karena berhasil datang tepat pukul delapan.

"Makasih banget udah bantuin gue," ucap Alana. Kemudian menoleh ke belakang, pada laki-laki yang baru saja menolongnya. Namun, Alana tak mendapati siapapun di sana. Alana menoleh ke kanan dan kiri. "Dia langsung masuk apa, nggak absen dulu?"

Tak mau memperlama masalah yang tak penting, Alana langsung menaiki lift untuk menuju lantai lima. Lantai di mana letak ruang kerjanya.

Sementara di luar sana, tampak seorang laki-laki keluar dari dalam mobil yang dikerumuni para wartawan. Terlihat ia mengenakan gaya pakaian serta perawakan tubuh yang sama persis dengan laki-laki yang baru saja menolong Alana.

"Abiyasa, bisa tolong jelaskan lebih rinci alasan mobil Anda penyok?"

"Abiyasa, apakah Anda mengalami kecelakaan sebelum membuat pernyataan bahwa Anda kurang sehat?"

"Bagaimana perkembangan tubuh Anda, Abiyasa, apakah sudah membaik?"

"Tolong untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan kami, Abiyasa."

Pertanyaan serta cahaya kamera berturut-turut menghujani laki-laki itu. Namun dirinya hanya pasrah menyandarkan tubuhnya pada mobil putih yang baru saja membawanya.

"Mohon maaf, tapi saya bukan Abiyasa. Saya hanya pegawai biasa," ujarnya. Kemudian melepas topi serta masker yang tengah dipakainya.

Para wartawan seketika kecewa. Kalimat umpatan kasar ditujukan begitu saja pada laki-laki itu. Sirius Entertainment selalu saja bisa membuat mereka tertipu dengan sosok palsu. Hal itu pun membuat mereka tak membuahkan hasil, setelah berdiri di depan pintu masuk selama dua hari berturut-turut di waktu yang sama.

...***...

"Jadi gimana lo setuju nggak nanti tampil pakai salah satu dari kostum itu?" tanya Kei sembari menunjuk dua kertas yang tengah dipegang Damian.

Damian justru menyapu pandang ke seluruh area ruang kerjanya sembari bersiul nada salah satu lagu miliknya. Tak ada tanda-tanda bahwa laki-laki itu akan memberikan jawaban. Dilihat dari tingkahnya, Damian seolah pura-pura tak mendengar sang sahabat. Damian juga tak peduli.

"Come on lah, Bro, cepet pilih. Acaranya tinggal sebentar lagi, tapi kostum yang bakalan lo pake bahkan belum dibuat satu persen pun. Waktu kita udah mepet banget. Please lah, kerjasamanya. Lo jangan nyusahin tim," cibir Kei secara terang-terangan. Tak peduli jika itu mungkin menyinggung Damian, toh memang laki-laki itu bersikap tak profesional.

Damian melirik Kei tajam. "Ya... salah sendiri nunjukin desain yang nggak bikin gue tertarik. Ngebosenin semua."

"Jadi lo pengen baju kayak apa?" ujar Kei pasrah. "Ini salah itu juga salah," balas Kei dengan nada sedikit menaik.

"Coba deh panggil orang yang tanggung jawab bikin desain kostum gue di acara ini. Suruh juga buat dia bawa semua desain yang dia punya," pinta Damian. Kemudian memutar kursinya membelakangi meja kerja.

Kei mendengus kesal sebelum akhirnya mengikuti apa kata sang sahabat. Sebenarnya memang tak ada yang salah dari desain-desain yang ditunjukkan. Hanya saja Damian terlalu lebay dan pilih-pilih. Jika saja laki-laki itu langsung setuju saat diberikan desain pertama, mungkin masalah tak akan berlarut dan merugikan beberapa belah pihak.

Tak butuh waktu lima menit terdengar suara ketukan pintu. Setelah Damian izinkan masuk, orang tersebut pun mengikuti perintahnya.

"Kenapa ya lo panggil gue?" tanya perempuan itu setelah masuk.

Sontak Damian terkejut mendengar kosakata sapaan yang baru saja terlontar dari mulut pegawai tersebut. Tak sopan sekali.

Damian memutar kursinya dengan cepat seraya berkata, "Pegawai macam apa kamu ini? Kenapa orang kayak kamu berhasil masuk dan kerja di perusahaan bergengsi seper-"

"Kamu!" Damian terkejut melihat siapa yang datang, tentu wajah perempuan itu tak asing untuknya.

Alana tersenyum manis walau sedikit dipaksakan. "Hai. Ketemu lagi ya kita?"

Damian lantas mendekati Alana yang berdiri tepat di depan pintu. Rahangnya mengeras sempurna juga netra yang mendelik tajam. Kemudian Damian mengepalkan telapak tangan kanannya perlahan tepat di depan wajah Alana karena saking kesalnya.

"Apa karena tugas kamu ini, kamu nggak suka sama saya?" tanya Damian mengingat kemarin Alana berkata jika perempuan itu tak menyukainya.

"Cuma salah satu," jawab Alana santai sembari lagi-lagi tersenyum manis. "Tanggung jawab gue sebagai pembuat desain kostum lo baru di acara ini. Kalo gue nggak suka sama lo udah dari dulu. Dan rasa nggak suka ini semakin besar saat lo bener-bener mempermainkan semua desain gue. Lo tau nggak, gue ini mempertaruhkan semuanya demi buat bikin satu desain doang, tapi lo justru seenaknya bilang desain gue nggak ada yang bagus? Kalo gitu mending bikin sendiri aja deh."

Damian menghembuskan napas kasar melalui mulutnya. "Udah, Mbak, ngocehnya?"

"Lo nggak dengerin gue ngomong?!" pekik Alana tak tertahan.

"Sini mana semua desain yang kamu buat, saya mau lihat," pinta Damian. Ia menjulurkan tangan tinggi dengan tampilan wajah yang sok tegas.

Alana memutar bola mata malas. Tak lama, ia pun memberikan sebuah map bening berisikan semua desain-desain yang dimilikinya. Entah itu desain yang dibuat karena perintah atasan ataupun desain biasa saja yang dibuat saat dirinya bosan, semuanya ada di sana. Di map tersebut juga ada coretan-coretan tak penting miliknya saat akan menentukan corak desain yang tepat. Tak peduli, Alana tak akan membantu Damian untuk memilih.

Di atas mejanya, Damian memilah kertas-kertas tersebut sesuai dengan seleranya atau bukan. Wajahnya tampak serius. Bahkan sesekali Damian terlihat kebingungan menempatkan salah satu kertas akan kemana.

Sementara Alana, ia memilih untuk menyapu pandang ke seluruh ruang kerja Damian. Tampak sangat besar dan juga nyaman, berbeda sekali dengan meja kerjanya yang hanya secuil dan itu pun harus berbagi dengan pegawai lain. Di ruang kerja Damian juga ada tiga buah sofa, dengan dua buah tepat satu meter di depan meja kerja dan satu sofa terletak di samping jendela.

Dari balik jendela Alana dapat melihat dengan jelas indahnya pemandangan kota Jakarta. Sedikit bergeser, Alana juga melihat beberapa foto Damian dan beberapa piagam penghargaan terpajang di dinding. Ada pula banyak piala dengan berbagai jenis tergeletak di lemari dengan pintu kaca. Saat itu juga, Alana merasa kagum pada Damian. Namun, perasaan itu dengan cepat ditepisnya mengingat betapa menyebalkannya laki-laki itu.

"Saya pilih ini," ujar Damian tiba-tiba dan sontak membuat Alana langsung mengalihkan atensinya.

Kertas yang tengah Damian angkat tinggi-tinggi itu menampilkan sebuah desain yang bisa dikatakan sangat jauh dari standar perusahaan. Desain itu juga tak memiliki nilai jual. Alana sama sekali tak menyangka jika laki-laki itu memilih desain yang dibuatnya dengan tanpa niat. Bahkan desain itu Alana gambar tatkala ia tengah membeli sketchbook dan pensil baru bulan lalu. Saat itu Alana tengah mencoba apakah pensilnya enak digunakan atau tidak dengan langsung menggambar sebuah desain.

"Serius lo pilih itu?" tanya Alana takut jika Damian hanya bercanda.

...Bersambung!...

Terpopuler

Comments

dah suka² si dam dam aja dah🤣

2023-11-02

0

uhuk²🤣🏃‍♀🏃‍♀🏃‍♀

2023-11-02

0

🤣🤣🤣🤣🤣

2023-11-02

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!