Damian membuang napas kasar, tak tahu lagi harus bertindak bagaimana. Pasalnya, hingga detik ini masih juga tak ada sahutan dari perempuan di sampingnya.
Tak ada sedikitpun reaksi dari perempuan itu, padahal Damian sudah mengorbankan harga dirinya untuk menggendong Alana. Rela menahan tubuh Alana yang berat hingga sukses memasukannya ke mobil bagian belakang. Damian bahkan sudah membersihkan dan mengobati luka Alana yang kini sudah tertutup rapat oleh kain kasa. Namun setelah semua apa yang semua Damian lakukan, perempuan itu tetap saja diam.
Seketika Damian terkejut mendengar suara yang tanpa aba-aba merasuki pendengarannya. Namun satu detik kemudian, laki-laki itu terkekeh tatkala mengetahui suara tersebut berasal dari perutnya. Damian lantas melirik arloji bermerk yang melingkar di pergelangan tangan kiri. Pantas saja Damian merasa lapar, sudah lebih dari dua belas jam sejak terakhir kali dirinya makan.
Damian menyapu pandang ke arah sekitar. Derasnya hujan yang menari selama dua jam lamanya disertai petir menggelegar, masih terjadi dengan angkuhnya. Suasana semakin mencekam tatkala wilayah sekitar gelap gulita. Tak ada satu pun lampu jalan di sana. Mana mungkin Damian mencari makan dalam kondisi seperti sekarang.
Di sisi lain, perasaan Damian pun tak tenang, terlebih saat ini tepat pukul jam dua belas malam. Lebih buruk lagi di saat benaknya ini tak ada henti menampilkan sosok-sosok wajah menakutkan. Ingin segera pergi dari sana, namun Damian tak mau membuat mobilnya semakin rusak. Apalagi ada benda yang menyangkut di bawah sana.
Tiap detiknya, rasa takut semakin besar. Damian akhirnya memilih untuk menutup matanya rapat, lalu mendekatkan diri pada perempuan yang tak dikenalnya itu. Kedua telapak tangan Damian gunakan untuk menutup seluruh bagian telinga, guna menghindari suara-suara yang tak ingin didengar.
Tak lama kemudian, Damian menyadari ada sedikit pergerakan dari Alana. Sontak dengan cepat membuka mata. Detik itu juga, Damian merasa lebih tenang karena Alana sudah sadar. Rasa takutnya pun sedikit berkurang.
"Ini dimana?" tanya Alana. Matanya masih buram, belum bisa menatap dengan sempurna.
"Di mobil saya," balas Damian sedikit semangat.
Alana mengerjapkan mata. Mengolah makna dari tiga kata yang keluar dari mulut Damian sembari menelisik pandang area sekitar. Setelah tersadar, Alana seketika menjauhkan tubuhnya sembari menyilangkan lengan di depan dada.
Damian yang juga menyadari, langsung bergeser menepi ke ujung kursi. Wajahnya tampak panik bukan main.
Seketika suasana menjadi hening. Hanya ada suara detak jantung dari dua manusia yang saling bertatapan.
"Pikir positif aja deh. Nggak mungkin orang kayak saya apa-apain kamu," celetuk Damian akhirnya, memecah suasana.
Damian sama sekali tak terima atas reaksi Alana yang ketakutan. Apalagi dunia tahu jika Damian ini merupakan seseorang yang memiliki nama besar. Damian juga bukanlah laki-laki bejat yang kapan saja bisa tergoda saat dekat perempuan. Niatnya di sini hanyalah menolong, walaupun Damian tak mengelak jika melakukannya dengan terpaksa.
Tak ada jawaban dari Alana, perempuan itu bungkam. Benar juga apa kata Damian. Namun Alana tetap berpikir, laki-laki itu yang salah. Seharusnya jika tak ingin orang lain salah paham, jagalah sikap dan kelakuan. Jangan diam terlalu dekat, apalagi kondisi sekarang ini sangat memungkinkan terjadinya pelecehan.
Di sisi lain, Alana bingung pada tingkah Damian sekarang. Sang idola itu tampak sibuk mencubit sesuatu yang gaib di udara tepat di atas telinganya. Dan itu dilakukan secara berulang.
"Kenapa sih lo?" tanya Alana. Tingkah Damian tersebut sangat mengganggunya.
Damian tampak panik. Napasnya memburu bersamaan dengan dadanya yang naik-turun. "Saya ini mau lepas kacamata, tapi anehnya jari saya ini nggak berhasil pegang gagang kacamata."
Mendengar jawaban Damian yang polos, seketika membuat Alana tertawa kencang, hingga membuatnya menyentuh perut karena terasa sakit. "Sejak kapan lo pake kacamata coba?"
"Saya kan emang pake kacamata," tutur Damian tetap teguh pada keyakinan.
Alana masih tertawa. "Enggak tuh, lo nggak pake kacamata."
Ah, Damian baru ingat. Dirinya membuka kacamata beberapa saat lalu ketika membaca nama bangunan. Ilusi warna kecoklatan yang Damian pikir adalah penglihatannya yang tertutup kaca mata, ternyata itu cahaya lampu temaram dari lampu yang menyala di mobilnya. Rasa takut membuatnya melupakan hal-hal yang dianggapnya tak penting. Rasanya Damian ingin menghilang sekarang juga. Damian Malu.
"Be-berarti dari tadi kamu tahu siapa saya?" tanya Damian untuk memastikan.
Alana menghentikan tawanya, kemudian menghapus ujung netra yang sedikit mengeluarkan berair. Berusaha menetralkan kembali napas. Akhirnya menjawab, "Ya iya lah, lo pikir gue buta apa ya?"
"Dan reaksi kamu kayak gini ketemu sama saya?"
Sungguh Damian syok berat. Di saat kebanyakan orang berlomba-lomba berburu tiket untuk bertemu langsung dengannya, perempuan yang satu ini justru bersikap biasa saja. Bahkan perempuan itu merespon Damian dengan ketus dan bersikap kasar. Rasanya sungguh tak percaya.
"Lo pikir gue bakal teriak kegirangan gitu kayak cewek-cewek lain?" Alana tersenyum meremehkan. "Oh maaf, gue bukan bagian dari mereka. Gue bukan Abivers… atau Abifirst…? Pokoknya ya, gue bukan salah satu fans lo. Justru gue gedek banget ketemu lo di sini."
Bola mata Damian sontak terbuka lebar dengan sempurna. Lagi-lagi dirinya syok mendengar jawaban yang terlontar dari mulut Alana.
"Lo nggak suka gue?" tebak Damian, melihat dari gerak-gerik Alana.
"Yap, betul," balas Alana dengan santai. Tak lupa untuknya menambahkan sedikit senyuman puas.
Bagai ribuan anak panah menusuk jantungnya. Walau Damian sudah menduga jawaban Alana, tetap saja itu menyakitinya. Bahkan untuk menarik napas pun terasa sangat berat dan susah. Damian pun membuang napas kasar. Ternyata di dunia ini ada orang setega Alana. Damian sangat tak menyangka. Bahkan lihat, perempuan itu kini dengan polosnya memakan cemilan yang ada di mobil Damian.
"Ko-kok bisa?" Walaupun menyakitkan, Damian tetap penasaran alasan perempuan itu tak suka padanya.
Mulut perempuan itu masih sibuk mengunyah makanan di mulutnya yang banyak, hingga kedua pipinya terlihat mengembang sempurna. Damian tetap menunggu jawaban Alana. Walaupun memerlukan bertahun-tahun waktu sekalipun, Damian rela.
Setelah makanan tertelan, Alana menjawab, "Bisa dong."
Alana mengecewakannya. Damian menyesal telah menunggu jawaban.
"Cepetan kasih tahu, apa alesannya kamu nggak suka saya!" ucap Damian dengan suara lantang.
Lagi-lagi Alana tak langsung menjawab pertanyaan Damian. Alana merasa tenggorokannya kering, sehingga perlu minum terlebih dulu. Barulah Alana membuka suara.
"Kepo lo!"
Damian lantas mengeraskan rahangnya. Kemudian mengepalkan erat kedua telapak tangan. Awas aja, nanti saya bales. Saya bakal bikin hidup kamu sengsara. Tunggu aja!
...Bersambung!...
...Hayo loh si Damian mau apa?😭...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments
🤣🤦♀
2023-11-02
0
si tukang nyusahin🤣
2023-11-02
0
laper begete pasti🤧
2023-11-02
0