Alarm dari sebuah ponsel di atas nakas berbunyi dengan keras berulang kali. Tak ada tanda-tanda akan bangun dari laki-laki yang justru menarik selimutnya lebih tinggi.
Tiap detik, bunyi alarm semakin mengeras hingga berhasil memenuhi tiap sudut kamar sebesar enam kali lima meter itu. Karena tak mungkin lagi melanjutkan tidur, Damian menyerah. Dirinya bangun kemudian meraih ponsel dan mematikan alarm. Tampak waktu sudah berpijak di pukul delapan tepat.
Damian membuang napas kasar sembari mengucek matanya. Sebenarnya ia masih ngantuk dan tubuhnya ini masih belum cukup istirahat. Sepulangnya dari kejadian tak terduga semalam, Damian baru tidur selama tiga jam. Belum lagi hidungnya ini gatal dan tenggorokannya terasa sakit. Termometer pun menunjukkan jika suhu tubuhnya berada di titik tiga puluh sembilan derajat celcius.
Namun, jika alarm telah berbunyi itu artinya Damian harus bersiap untuk melakukan aktivitas hari ini. Perlahan menurunkan kedua kaki ke lantai. Walau kakinya terasa lemas, tetap Damian paksakan untuk berdiri dan menuju kamar mandi.
Rasanya sulit sekali untuk melangkah. Kakinya pun gemetaran. Napasnya terengah-engah. Namun, Damian tetap bersikukuh pergi ke tujuan sembari meraba dinding.
Belum genap lima langkah, tiba-tiba kakinya itu tak kuasa menahan berat tubuhnya, membuat Damian terjatuh. Laki-laki itu pun tak sengaja menyenggol vas bunga besar hingga pecah dan menimbulkan suara keras. Hal itu membuat Devanie yang memang akan memasuki kamar Damian terkejut. Sontak perempuan itu membuka pintu dengan keras, lalu membantu Damian untuk bangkit.
"Astaga, Bee. Kamu kenapa?" tanya Devanie panik. "Kok bisa jatuh sih?"
Setelah berkata seperti itu, Devanie menyapu pandang pada Damian. Laki-laki itu terlihat seperti orang yang tak terawat. Rambutnya berantakan, matanya sembap, hidungnya memerah, serta napas yang tak beraturan keluar dari mulutnya. Devanie pun bergidik ngeri melihatnya.
"Kamu kena flu lagi ya, Bee?" ucapnya. Sontak Devanie langsung menghindar dan memundurkan tubuhnya jauh dari laki-laki itu.
Perempuan itu kemudian menyemprotkan hand sanitizer pada kedua telapak tangan. Anggota tubuh yang dirasa terkena sentuhan sang kekasih pun turut disterilkan. "Sorry banget aku nggak bisa bantu. Aku nggak bisa deket-deket kamu. Jadwal aku minggu ini padat banget. Aku nggak boleh sampe ketularan kamu."
Devanie izin undur diri, mengurungkan niatnya yang ingin berangkat bersama Damian menuju perusahaan. Lebih baik baginya naik taksi umum dibanding menghirup udara yang sama dengan orang yang tengah kurang sehat seperti Damian. Memang terkesan seperti kekasih yang tak perhatian. Namun bagi Devanie yang merupakan seorang model, dalam konteks ini karirnya sangat dipertaruhkan.
Seperginya Devanie, Damian membuang napas kasar. Sejujurnya tadi dirinya sempat berharap sang kekasih kali ini akan menemaninya. Namun, sepertinya harapan itu tak akan pernah terwujud bahkan hingga kucing bisa bertelur sekalipun.
Saat itu juga, Damian tampak membuka ponsel. Lalu menelpon seseorang. Tak butuh waktu lama telepon pun terhubung.
"Selamat pagi juga, Tante," balas Damian setelah mendapat sapaan dari seseorang yang diteleponnya.
"Ada apa, Abi?"
Laki-laki yang memang kerap disapa dengan tiga huruf dari nama panggungnya itu, berpikir kalimat apa yang pantas diucapkan. Apalagi kini Damian tengah berbicara dengan istri dari direktur utama perusahan Sirius Entertainment, yang juga berperan sebagai manager artis di perusahaan tersebut.
"Hmmm, gini Tante… " ucap Damian. Kemudian mengambil napas panjang.
"Kenapa? Ngomong aja, Bi, nggak usah gugup."
"Maaf, Tante… sebenarnya sekarang Abi lagi sedikit kurang enak badan. Kondisi Abi bener-bener drop dan buat berdiri aja susah," ujar Damian. Menahan kalimatnya sejenak. "Apa bisa kegiatan fansign album hari ini ditunda?"
Sejujurnya Damian merasa tak enak. Pasti perusahaan sudah selesai menyiapkan segala keperluan acara yang tadinya akan dilakukan jam tiga sore itu. Mulai dari tempat dan semua dekorasi hingga hadiah untuk para fans. Pasti biaya yang dikeluarkan sudah cukup besar. Namun mau bagaimana lagi, keadaan tak berpihak padanya. Damian pun tak mungkin memaksakan hadir. Di sisi lain, Damian juga memikirkan para fans yang kemungkinan bisa tertular flu-nya.
Wanita pemilik nama Belly itu terdengar membuang napas kasar. Ia juga tak langsung menjawab permintaan Damian.
"Gimana, Tante?" tanya Damian, dirinya tak bisa sekali jika harus menunggu.
"Oke... tapi kamu harus terima konsekuensinya."
"Iya, Tante. Abi terima apapun itu."
"Oke sip. Nanti Tante hubungi kamu kalo udah nemu konsekuensi yang cocok."
Baru saja Damian menarik napas panjang untuk meminta konsekuensi yang tak menyulitkan, sambungan telepon justru ditutup oleh Belly. Laki-laki itu takut jika sang manajer memberikan konsekuensi yang harus memaksanya bekerja sama dengan brand kosmetik. Damian sangat tak bisa, mengingat kulitnya itu sensitif. Laki-laki itu hanya bisa berharap besar semoga itu tak terjadi.
...***...
Mendengar kabar jika Damian sakit, di ruangannya Kei membuang napas panjang. Laki-laki itu mengetuk meja dengan jemarinya sembari menggerutu tak jelas. Padahal hari ini Damian bilang akan menyampaikan hasil dari desain kostum yang Alana buat kemarin. Apakah akan Damian pakai saat manggung atau tidak. Namun ternyata laki-laki itu tak menepati janji dan lagi-lagi membuatnya kesal. Kei ingin segera menyelesaikan pekerjaannya yang satu ini. Kei ingin secepatnya bernapas lega dengan mendengar jika Damian setuju menggunakannya.
Seseorang terdengar mengetuk pintu, Kei langsung menyilakannya untuk masuk.
Perempuan itu mendekat dan duduk di kursi seberang meja milik Kei. Kemudian berkata dengan khawatir, "Kamu kenapa Kei, kok keliatan lesu banget?"
"Kakak kamu tuh makin ngeselin aja, Vio," balas Kei dengan decak kesal.
"Loh, dia bikin ulah apa lagi?" balas Viola, adik Damian. Melihat Kei yang tak memiliki semangat, Viola pun menggenggam kedua tangan Kei yang tergeletak di atas meja. "Bilang aja ke aku, nanti aku marahin."
Kei tersenyum sekilas, kemudian melepaskan tangannya dengan gerakan lembut. Kei sama sekali tak ingin membuat Viola tersinggung. Di sisi lain, Kei memang tak suka diperlakukan seperti itu oleh Viola, meskipun dirinya tahu perempuan itu melakukan hal tersebut karena mencintainya. Sebagai manusia biasa, tentunya Kei tak bisa memaksakan hatinya untuk memiliki perasaan yang sama. Makanya, sebisa mungkin Kei tak ingin memberikan kesan jika membuka harapan.
Viola sendiri pun bukan perempuan bodoh. Ia sadar sekali jika selama ini Kei menghindarinya. Namun mau bagaimana lagi, Viola sama sekali tak bisa mengelak, ada di dekat Kei bisa membuatnya bahagia.
"Bentar lagi istirahat makan siang, mau makan bareng?" tawar Viola. Menyisikan perasaan sakit, Viola memilih untuk mengalihkan pembicaraan. Dan tentunya Viola berharap Kei bisa menyetujuinya.
Kei tersenyum tak enak. "Maaf, Vio, lain kali aja ya. Hari ini aku udah janji sama Alana mau makan bareng sama dia. Ada beberapa hal juga yang mau diomongin."
Bak dihujani ribuan anak panah, hati Viola teriris hingga titik terdalam. Rasanya detik itu juga Viola masuk ke dalam lembah gelap yang sangat luas. Viola juga sudah tak kuasa lagi menahan kobaran api cemburu yang semakin menyelimutinya. Walau begitu, Viola tetap memasang wajah palsu yang diusahakan untuk bisa tetap tersenyum.
"Oke." Dengan berat hati, Viola meninggalkan ruangan Kei. Lagi-lagi, ia kalah telak.
Kenapa harus perempuan kampungan itu yang jadi saingan gue sih?
...Bersambung!...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments
eitsss maen kampungan aja🙄
2023-11-02
0
uluh uluh🤧🤧🤧
2023-11-02
0
serba sensi yak si dam dam🤭
2023-11-02
0