"Jadi sekarang dia sudah ada di Jakarta? Aku ingin bertemu Rifki. Boleh yah aku ikut Kak Calvin?"
Calvin hanya terdiam. Satu kebohongan dibuat maka akan berlanjut dengan kebohongan lainnya. "Hmm, nanti aku tanya sama Rifki dulu ya, dan kamu juga harus izin dulu sama Ibu panti."
"Iya, nanti aku pasti akan izin dulu." Fani menopang dagunya dan menatap Calvin sambil tersenyum. "Ih, ganteng banget sih. Mimpi apa aku bisa bertemu Kak Calvin."
Calvin hanya tersenyum kaku. Tiba-tiba saja dia merasa gerogi ditatap Fani seperti ini.
"Bisa-bisanya Fani terpesona sama kamu. Harusnya dia tatap aku kayak gitu, bukan kamu." Rifki melipat tangannya dan berdiri di dekat Calvin.
Calvin menggaruk kepalanya. Dia sendiri bingung harus membalas tatapan mata Fani atau bagaimana.
Kemudian Rifki duduk di samping Calvin. Dia memiliki sebuah ide. "Sepertinya Fani akan bahagia dekat sama kamu. Gimana kalau kamu jadiin dia assistant pribadi kamu?"
Seketika Calvin menoleh Rifki. "Assistant pribadi?"
"Eh, maksudnya?" Fani menegakkan dirinya.
"Kamu mau jadi assistant pribadi aku?" Calvin menepuk jidatnya. Mengapa dia mengiyakan permintaan Rifki. Dia memang tidak mempunyai assistant pribadi karena biasanya dia hanya ditemani body guardnya.
"Aku? Serius? Aku dijadiin assistant pribadi kamu?" tanya Fani tidak percaya dengan permintaan Calvin.
"I-iya. Kamu mau?"
"Jelas mau. Selain jadi aspri Kak Calvin, aku juga bisa bertemu dengan Rifki di Jakarta." Seketika Fani berdiri dan memanggil Bu Rahma. Dia akan meminta izin terlebih dahulu.
Calvin menarik napas panjang lalu membuangnya kasar. Dia kini menatap Rifki yang tersenyum tanpa dosa. "Seumur-umur aku gak pernah pakai aspri cewek."
"Fani itu cekatan, dia juga pintar masak. Kamu gak akan menyesal jadikan dia aspri. Apalagi, jika suatu saat nanti kalian bisa saling jatuh cinta." Rifki menerawang jauh. Dia ingin Fani tersenyum bahagia meski tanpanya.
"Kenapa kamu yakin kalau aku ini orang baik-baik. Bagaimana kalau aku orang jahat dan punya niat buruk sama Fani?"
"Aku bisa mengawasi kamu dimana saja, bahkan di kamar mandi sekalipun. Aku yakin, seseorang yang diberi kesempatan yang kedua pasti hidupnya jauh lebih baik dari sebelumnya."
Calvin semakin bersandar dan melipat kedua tangannya. "Ya sudah, biar Fani tinggal di apartemen aku saja."
Beberapa saat kemudian Bu Rahma dan anak panti lainnya datang menyerbu Calvin.
"Beneran Calvin." Bu Rahma, pecinta sinetron Calvin jelas hafal dengan Calvin. "Sudah dua bulan tidak lihat di layar televisi, apa kabar? Saya dengar gosip kalau kamu sakit parah." Bu Rahma kini duduk di dekat Calvin dengan anak panti lainnya.
"Kak Calvin ganteng banget."
"Kak Calvin masih lama gak di sini?"
Calvin hanya tersenyum. Dia sendiri juga bingung harus menanggapi pertanyaan yang mana terlebih dahulu.
"Adik-adik, Kak Calvin baru sembuh, jangan terlalu dekat. Jangan diganggu dulu, biarkan istirahat," kata Fani. Dia sedikit melerai anak-anak panti agar tidak terlalu bergerumbul.
Calvin mengusap pelipisnya yang berkeringat. Dia memang sangat butuh istirahat untuk saat ini.
"Iya, kamu pucat. Dani, antar Kak Calvin ke kamar."
"Ke kamar mana?" tanya Dani.
"Ke kamar aku aja. Nanti malam biar aku tidur sama Ibu. Kak Calvin menginap kan?" tanya Fani, karena hari itu juga sudah sore.
Terpaksa Calvin menganggukkan kepalanya. "Tolong, bilang sama sopir saya yang ada di depan gang juga suruh istirahat."
"Siap, Kak." Beberapa anak laki-laki berlari keluar.
Kemudian Calvin berdiri dan berjalan menuju kamar bersama Dani.
"Bu, Kak Calvin nawarin aku untuk jadi assistant pribadinya, boleh ya aku ikut Kak Calvin ke Jakarta?" tanya Fani. Dia sangat berharap bisa ke Jakarta bersama Calvin.
"Serius? Calvin mau kamu jadi assistantnya. Memang benar Calvin teman Rifki?"
Fani menganggukkan kepalanya. "Iya, jadi aku bisa bertemu dengan Rifki juga di Jakarta. Boleh ya?"
"Iya, boleh. Kamu sudah dewasa, jadi kamu berhak menentukan hidup kamu sendiri. Tapi kamu harus tetap bisa jaga diri kamu baik-baik."
"Makasih, Bu." Fani mencium pipi Bu Rahma lalu dia berlari ke kamarnya. Sepertinya dia lupa jika ada Calvin yang sedang beristirahat di kamarnya.
"Akhirnya aku bisa ke Jakarta. Selain bekerja aku juga bisa bertemu Rifki." Fani menghempaskan dirinya ka atas ranjang.
"Aww!!!" teriak Calvin karena Fani menindih tubuhnya.
"Astaga, maaf aku lupa kalau Kak Calvin ada di sini." Seketika Fani berdiri. Pipinya memerah dan dia menjadi salah tingkah.
Calvin memegang dadanya. Bekas operasi itu masih terasa nyeri jika disentuh.
"Kak Calvin gak papa kan?"
"Ini bekas operasi aku. Jangan disentuh." Calvin membuka kemejanya dan melihat bekas jahitan yang memanjang di dadanya.
Dia menutup bibirya melihat luka bekas operasi di dada Calvin yang memanjang itu. "Kak Calvin sakit apa?"
"Aku baru operasi transplantasi jantung."
Perlahan Fani menyentuh dada itu. "Pasti sangat sakit."
Tapi sentuhan Fani justru semakin membuat detak jantung Calvin berdenyut kencang.
"Fani, hanya detak jantung itu yang bisa kamu rasakan dari tubuhku. Dulu aku pernah berjanji, aku akan selalu menemani kamu selama jantung aku berdetak. Meskipun raga aku sudah tidak ada, tapi detak jantung aku akan selalu menemani hidup kamu."
Seketika Calvin menatap Rifki yang berdiri di belakang Fani. Dia kini menggenggam tangan Fani agar bisa merasakan detak jantung Rifki yang berada di tubuhnya.
Tiba-tiba saja, Fani seperti merasakan kehadiran Rifki. "Rifki..." Seketika Fani melepas tangannya dan keluar dari kamarnya.
Calvin membiarkan dadanya terbuka agar rasa sakit itu mereda. Kemudian dia memakai jam tangan digital pendeteksi detak jantungnya. "Detak jantung aku harus stabil. Kalau cepat begini, bisa-bisa operasi aku dinyatakan gagal."
"Kamu tenang saja. Nanti lama-lama juga akan stabil dengan sendirinya, karena ini pertama kalinya aku melihat Fani setelah sepuluh tahun, tentu saja jantung aku jadi berdebar-debar."
Calvin menghela napas panjang lalu dia kembali merebahkan dirinya. "Raga dan pikiran kita gak sama, masak iya detak jantung masih ngikut perasaan kamu."
"Memang kamu gak pernah jatuh cinta? Berdebar di jantung itu ada kaitannya dengan jatuh cinta."
"Jatuh cinta? Jatuh cinta itu seperti apa?" gumam Calvin.
Calvin menatap langit-langit kamar yang kusam itu. Sejak remaja dia selalu dikejar-kejar wanita. Dia tidak mengerti bagaimana rasanya jatuh cinta dan rasanya mengejar seorang wanita. Dia hanya tinggal memilih wanita seperti apa yang dia mau, tapi sampai sekarang dia tidak pernah memilih satu di antara mereka.
"Jatuh cinta itu indah, tapi juga menyakitkan saat kamu tidak bisa memilikinya."
Calvin memejamkan matanya. Merasakan tubuhnya saja terkadang tidak sanggup, apalagi memikirkan kalimat arwah penasaran yang sekarang mengikutinya itu.
Lelah!
💕💕💕
.
Like dan komen ya ..
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Yunerty Blessa
sedih nya kata² Rifki..
2024-01-26
0
ELESTAMEN HD
oke kak aku tunggu kelanjutannya
2023-08-09
0
Asri Anna
makin seru ceritanya kk aku suka,,jgn bertele2 ya kk biar aku tunggu terus up nya👍
2023-08-08
0