Detak Cinta
"Rifki, apa kita bisa selalu bersama sampai kita dewasa nanti?"
"Ya, semoga saja Tuhan mengizinkan kita selalu bersama sampai jantung ini berhenti berdetak, Fani."
Sepasang anak yang sudah beranjak remaja itu membuat janji di dekat pohon besar yang berada di belakang panti. Mereka sudah hidup bersama sejak kecil. Dibesarkan bersama di sebuah panti asuhan yang sederhana dengan penuh kasih sayang.
Rifki mengukir nama mereka di batang pohon besar itu sebagai tanda kebersamaan mereka.
“Rifki dan Fani.” Fani tersenyum membaca ukiran nama itu.
Setiap waktu mereka selalu bersama. Sekolah dan bermain bersama, tanpa terpikirkan jika suatu saat mereka akan berpisah.
Hingga pada suatu hari, ada sepasang suami istri yang datang ke panti asuhan untuk mengadopsi seorang anak.
"Nak, kamu mau ya tinggal sama saya?" tanya seorang bapak-bapak berjas rapi dengan membawa mobil mewah itu pada Rifki. Dia jatuh cinta pada Rifki sejak pertama melihat Rifki dan ingin menjadikan Rifki putranya.
Rifki menggelengkan kepalanya. “Saya tidak mau.” Lalu dia berlari ke belakang panti asuhan dan duduk di dekat pohon besar. "Aku gak mau pergi dari panti ini.” Dia kini meraba ukiran namanya dan Fani. “Aku gak mau meninggalkan Fani.”
Fani yang melihat Rifki berlari, kini mengikutinya. Kemudian dia duduk di sebelah Rifki dan memandangnya. "Kenapa kamu gak mau diadopsi?"
"Fan, kita kan sudah janji untuk selalu bersama." Rifki kini menatap Fani.
Fani menganggukkan kepalanya sambil tersenyum dan memberi keyakinan pada Rifki. "Iya, tapi kamu harus tetap mendapatkan kebahagiaan kamu. Dari dulu kan kamu sangat ingin menjadi seorang arsitek. Ini kesempatan kamu untuk meraih cita-cita kamu."
Rifki terdiam sesaat. Akhirnya dia menganggukkan kepalanya. "Iya, kamu benar. Aku harus bisa meraih cita-cita aku." Rifki semakin menatap Fani dan mengacungkan jari kelingkingnya. "Aku janji, aku pasti akan menemui kamu di sini."
Fani tersenyum lalu melingkarkan jari kelingkingnya.
...***
...
Sepuluh tahun telah berlalu, tapi ternyata Rifki sama sekali tidak memberi kabar pada Fani.
Fani kini menatap layar komputer di kantor panti dan berusaha mencari akun sosial media milik Rifki. Setiap hari dia berusaha mencarinya, jika memang Tuhan menakdirkan mereka bertemu pasti dia akan menemukannya.
"Ini Rifki." Fani membuka salah satu akun media sosial dengan foto profil yang sangat mirip dengan Rifki. "Iya, ini Rifki." Dia membaca semua biodata Rifki yang tertera. Jelaslah, dia masih hafal dengan tanggal lahir Rifki. Tapi akun media sosial itu sudah lama tidak aktif. Apa mungkin Rifki akan membalas pesannya?
Sehari, dua hari, bahkan sampai satu minggu, Rifki tak membalas pesannya. Tapi setelah hampir satu bulan berlalu akhirnya dia mendapat balasan dari Rifki. Fani sangat bahagia dan mereka saling bertukar nomor whatsapp.
Akhirnya mereka bisa saling berkomunikasi dan melakukan video call.
"Kamu gak banyak berubah ya?" Fani menatap layar ponselnya dan tersenyum memandang wajah Rifki lewat panggilan video itu.
"Kamu juga. Kamu masih setia di panti?"
Fani menganggukkan kepalanya. "Iya. Kamu sekarang kuliah?"
Rifki terdiam beberapa saat. "Iya, selain itu aku bekerja bantu Papa di pabrik plastik. Minggu depan aku ke sana ya. Kamu tunggu aku di tempat biasanya kita menghabiskan waktu saat kecil."
"Oke. Aku udah gak sabar bertemu kamu."
“Udah ya, aku masih ada pekerjaan.”
“Iya, sampai bertemu nanti.”
Fani mematikan panggilannya setelah dia mengobrol banyak dengan Rifki. Dia kini menemui ibu panti yang sedang menyiapkan makanan di belakang.
"Senangnya, dari tadi tertawa terus," goda Bu Risma.
Bagi Fani, Bu Risma sudah seperti ibu kandungnya sendiri. Dia kini memeluk Bu Risma sebagai pengungkapan kebahagiannya. "Iya, aku senang sekali akhirnya aku akan bertemu dengan Rifki."
"Kapan Rifki ke sini?"
"Satu minggu lagi." Fani kini membantu Bu Rahma menyiapkan makanan untuk semua anak panti sambil bercerita.
"Wah, Ibu harus siapkan makanan kesukaan Rifki. Kamu masih ingat makanan kesukaannya?"
"Masih, dia paling suka sama sate ayam. Biasanya suka beli di warung sate sebelah yang sekarang sudah tutup itu. Dia bagi ke semua anak panti lalu semua cuma dapat satu tusuk sama bumbu sedikit." Fani tersenyum mengenang masa lalunya bersama Rifki. "Pasti sekarang Rifki sudah bisa makan sate sepuasnya."
"Iya. Semoga kamu berjodoh sama Rifki."
Seketika Fani menghentikan gerakannya dan tersenyum kecil. "Amin."
...***
...
Pagi itu, Fani menunggu Rifki di bawah pohon besar yang berada di belakang panti. Dia tersenyum menatap ukiran namanya dan Rifki di pohon itu.
"Rifki, nama kita masih terukir di sini. Ukiran nama ini akan tetap ada selama pohon ini hidup." Dia meraba nama yang terukir itu. Tiba-tiba nama Rifki tersamar seperti ada serbuk kayu yang menutupi. "Kok tiba-tiba samar gini?"
Fani mencari sebuah paku lalu dia ukir lagi tapi nama Rifki tetap tidak bisa terlihat jelas.
"Apa yang terjadi? Mengapa perasaanku tiba-tiba tidak enak begini."
Fani menunggu Rifki hingga siang telah berlalu. Dia mengirim pesan pada Rifki tapi hanya centang satu. Dia hubungi lewat panggilan selular, nomornya juga tidak aktif. "Rifki, kenapa kamu belum datang?"
Akhirnya Fani berdiri dan berjalan kembali ke kantin saat hari telah senja. Dia kini duduk di ruang makan dengan lemas.
"Fani, Rifki gak jadi ke sini?" tanya Bu Rahma.
Fani menggelengkan kepalanya. "Dia tidak bisa dihubungi. Apa Rifki sebenarnya tidak mau menemui aku?"
"Jangan berpikir yang tidak-tidak. Mungkin Rifki ada acara mendadak."
Fani hanya menghela napas panjang lalu dia membuka tudung saji. Dia sudah membuatkan Rifki sate ayam kesukaannya dan sekarang utuh tak tersentuh.
"Fajar, Dani, panggil teman yang lainnya. Makan ini, nanti makin gak enak."
"Iya kakak." Mereka berlari memanggil teman-temannya lalu menyerbu meja makan.
"Jangan berebut. Dibagi biar kebagian semua." Fani tersenyum melihat mereka semua. Rasanya dia ingin sekali keluar dari panti dan pergi merantau untuk bekerja, lalu uangnya untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka semua.
Fani kini berdiri dan duduk di samping Bu Rahma. "Bu, apa aku boleh bekerja di Jakarta?" tanya Fani.
Seketika Bu Rahma menatap Fani. "Fani, Jakarta itu keras. Kamu mau kerja apa di sana?"
"Aku mau menyusul Rifki. Mungkin saja di pabrik orang tua Rifki ada lowongan. Nanti kalau Rifki menghubungi aku lagi, aku berangkat ke sana ya, Bu."
"Iya, tapi harus pastikan dulu keberadaan Rifki."
Fani menganggukkan kepalanya. Dia kembali menatap layar ponselnya. Centang satu abu itu belum juga berubah. Apa yang sebenarnya terjadi dengan Rifki?
.
💕💕💕
.
Jangan lupa jadikan favorit ya...
Rate bintang lima ⭐⭐⭐⭐⭐
Like dan komen juga ya...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Yunerty Blessa
moga Rifki baik² saja...
2024-01-26
0
Asri Anna
baru mampir baca keliatanya seru ,,terus berkarya semangat kk💪
2023-08-08
0
Eika
Selalu menyajikan karya baru.
Semangat terus kak 💪💪
2023-08-08
0