Mereka telah sampai di tempat balap. Mereka berempat hanya melihat di pinggir jalan dan beberapa orang pun yang menontonnya.
Suara motor demi motor membuat suasana jalan jakarta yang sepi itu menjadi ribut, karena suara motor sport itu.
Mereka semua berteriak di saat keenam motor sport itu melaju dengan kecepatan kencang.
"Sial itu keren banget sumpah," teriak Niel kagum.
Ataar hanya memperhatikan balapan motor itu, dia juga sedikit kagum dengan balapan mereka.
"Karen gak, Tar?" tanya Gentara merangkul pundak Ataar.
Ataar mengangguk
"Kita sebagai cowok tuh gak terus-terusan di rumah. Di pikir cewek kali ya?"
Ataar melepaskan tangan Gentara di pundaknya.
"Gue bercanda, lagian mengenal dunia luar sangat seru. Jangan memandam diri lo di kamar sendiri Tar, gue tahu lo juga butuh healing."
Ataar menghela napas, apa yang di katakan Gentara ada benarnya. Dia benar butuh healing.
"Mungkin sangat menyenangkan kalau gue yang mengendarai motor sport itu," batin Ataar.
"Lo mau gak suatu saat nanti, kita bangun geng motor sendiri?" tanya Gibran.
Ataar dan yang lainnya menoleh.
"Bagus nih," sahut Niel.
"Ataar yang menjadi ketuanya, dan sedangkan Gentara menjadi wakilnya."
"Udahlah, jangan pada halu," ucap Gentara.
"Gak sih, kita bisa mencapainya. Mungkin, sangat menyenangkan. Apa kalian ingin berjanji akan selalu bersama, kita akan membangun sebuah geng motor."
Ketiga temannya saling lempar pandang. Mereka menaroh tangan mereka di atas tangan Ataar.
"Kita bisa membuat keseruan kita sendiri. Mungkin suatu saat nanti itu yang akan menjadi rumah kita."
Mereka semua mengangguk. Sangat seru pastinya, mereka akan menanti itu semua.
Usai menonton balapan liar, mereka datang ke pantai.
"Woi," teriak Gentara mengejar Ataar.
Ataar tertawa berlarian sehingga celananya basa, karena air laut.
Niel dan Gibran yang melihatnya tersenyum, dan ikut membantu Gentara mengejar Ataar.
Mereka tidur di atas pasir pantai, menatap langit-langit malam.
"Gue takut pulang," ucap Ataar membuat ketiga temannya menoleh sekilas ke arah Ataar.
"Gue takut di pukul, papah," jawab Ataar.
"Apa?" Mereka terkejut dan bangun.
Ataar menghela napas. Mungkin dia bisa membagi deritanya kepada temannya, tapi dia takut di kira lebay.
Ataar menggeleng. "Gak ada apa-apa."
Mereka bertiga memicingtkan mata. Ataar menatap mereka dengan memutar bola matanya.
"Udahye, kita teman lo Tar. Kalau lo mau curhat, kita bakal ada di sini."
Ataar ikut bangun dan menatap lautan yang berombang.
"Gue mau pulang," jawabnya.
"Iya nih, kita udah kemalaman."
💗💗💗💗💗
Ataar menyelinap masuk ke dalam rumah, dia berdo'a semoga papanya sudah tidur dan belum pulang dari kerja.
Di saat ingin memasuki kamar, lampu menyalah membuatnya kaget dan menatap ke samping.
"Dari mana?" tanya Papa Altar.
"Pa-pa." Ataar menunduk.
"Dari mana?" tanya Altar satu kali lagi dengan suara membentak.
Ataar tak menjawab dia hanya menunduk ketakutan.
"Ikut!" perintah Altar berjalan lebih dulu keruang kerjanya.
"Tap-"
"IKUT!" teriak Altar membuat Ataar menurun, dia mengikuti papanya dari belakang.
Plak!
Sesampainya di ruangan, Altar menampar pipi Ataar dengan sangat keras. Bahkan, anak itu terjatuh saking kerasnya.
"Udah berani ngelawan, dan keluyuran tengah malam?" tanya Altar mendekat dan mencengkram dengan kuat pipi Ataar.
Bug!
Ataar terjatuh, dan meringis di saat papanya memukulnya dengan tali pinggangnya yang karet dan besar itu.
"Sakit, pah," ringis Ataar berteriak. Bukannya berhenti, Altar semakin menggila memukul Ataar.
"Papa sakit," ucap Ataar.
Altar menendang Ataar, sehingga anak itu menjerit karena lukanya mengenai karpet berbulu.
"Sakit, udah pah." Ataar memohon, dia meraih kaki papanya dan memeluknya.
Altar menendangnya kembali.
"Udah, pah sakit," aduh Ataar di saat Altar ingin melayangkan cambokan lagi.
Bug!
Ataar hanya menyilangkan tangannya, memohon pun papanya tak akan melepaskannya sebelum pria itu puas memukulinya.
"Pergi!"
Ataar berusaha bangkit dan memakai pakaiannya dan berlari dengan kaki pincang-pincang ke arah kamarnya.
Pas di jalan dia bertemu dengan ibunya, Ataar dengan sekuat tenaga merubah ekspersinya seperti baik-baik saja.
"Ataar, kenapa belum tidur?" tanya umi Aisha.
"Habis minum, umi."
Aisha mengangguk-mengangguk. "Botol minummu lupa umi isi, maaf ya. Kamu harus turun dan mengambil air," ucap Aisha. "Tunggu ya, umi ambilin."
Ataar menggeleng. "Gak usah umi, umi tidurlah. Besok akan Ataar ambil sendiri," cegah Ataar.
"Yaudah sana kamu tidur."
Ataar berusaha berjalan seperti biasa ke dalam kamarnya.
Di saat berada di dalam kamar, Ataar buru-buru melepaskan pakainnya.
"Aw," ringisnya di saat turun di bathub."Aku bukan besi, tapi kenapa Papa terus saja memukulku? Aku anaknya, apa tak ada rasa kasihannya kepadaku?" tanya Ataar
"Dari kecil aku tidak mendapatkan kasih sayang dari Papa. Lantaskah di mana aku mendapatkan kasih sayang dari seorang Papa?" tanya Ataar. Dia menghapus air matanya.
"Ternyata benar, di luar saja kita merasakan kebahagian. Tidak selamanya rumah tempat kita bahagia."
"Aku haus kasih sayang Papa," lirihnya. "Aku iri anak yang di luar sana, di sayangi oleh papanya. Bercanda dan tertawa, Ataar juga ingin seperti itu."
"Kapan aku akan mendapatkan kasih sayang, papa? Ataar harus melakukan apa, supaya mendapatkannya? Ataar haus kasih sayang, Papa."
Ataar memejamkan matanya sesaat. Membiarkan lukanya menyatuh dengan air.
Anak seusianya yang seharusnya bahagia. Bahagia dengan keluarganya, bercanda dengan orang tuanya. Dia malah mendapatkan luka yang mendalam.
Sakit? Sakitlah, terpaksa dewasa dengan keadaan.
Dia berdiri dari bathub dan mengambil handuk lalu berjalan keluar dari kamar mandi.
Dia melihat tubuhnya di cermin, dia seperti bertato dengan luka-luka.
"Kenapa Papa tak sekalian membunuhku saja?" tanya Ataar.
Dia menaiki ranjangnya dan menutupi seluru tubuhnya menggunakan selimut tebal.
Keesokan paginya, Ataar bangun lebih cepat dari biasanya. Dia takut umi atau kakaknya mendapatkannya dengan keadaan seperti ini.
Sesudanya mandi, dan bersiap. Untuk berangkat ke sekolah, Ataar menemui umi dan kakaknya yang berada di dapur.
"Tumben," sindir Fisha kepada adiknya.
"Apasih."
Dia menyalami tangan kakak dan uminya.
"Gak sarapan dulu?" tanya Aisha.
Ataar menggeleng. "Gak usah umi, aku akan pergi."
"Yaudah, kamu ambil roti ini." Aisha memberikan roti tawar di olesi slay nanas kepada Ataar.
"Aku pergi umi, kak," teriak Ataar berlari keluar rumah. "Asslamualaikum."
"Walaikumsslam," balas mereka berdua.
Ataar berlari ke halte bus untuk menunggu bus datang.
Dia memakai hoodie agar lukanya tak terlihat siapa pun apalagi teman-temannya.
Setibanya bus, Ataar menaikinya dan duduk dengan tenang di kursi penumpang.
Ataar mendongak, melihat ibu hamil tengah berdiri. Ataar pun berdiri dan menyuruh Ibu itu duduk di kursinya.
"Makasih, nak," ucap ibu hamil itu. Ataar hanya mengangguk.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments
Happyy
😭😭😭
2023-12-29
0
LANY SUSANA
😭😭😭😭kasihan Ataar ya ,salah apa dii sjk kecil di pukulin terus sm Altar
2023-09-15
0
Pujiastuti
lanjut kak semangat 💪💪💪
2023-08-09
0