Tujuh tahun berlalu, kini anak yang dulunya diperlakukan tak adil, tumbuh menjadi lelaki dingin dan cuek dengan lingkungan.
"Ataar, sayang," panggil wanita paruh baya yang merupakan uminya.
Umi Aisha sudah sadar dari koma, dua tahun yang lalu.
Ataar menoleh. "Kenapa umi?" tanya Ataar.
"Turun untuk sarapan," jawab uminya. Ataar mengangguk, lelaki itu membereskan bukunya lalu keruang makan.
Ataar menatap datar ke arah papanya, begitupun dengan papa Altar.
Dia duduk di dekat kakaknya yang tersenyum mengembang.
Ataar berdecak dan menjauhkan tangan kakaknya yang membuat rambutnya berantakan.
"Kak, sebentar antar Ataar masuk sekolah barunya," ucap uminya pada sang suami.
"Gak usah umi, Ataar pergi sendiri aja," sela Ataar tersenyum pada uminya.
"Kenapa? Kamu pelajar baru, masa pergi cuma sendiri emang gak takut?" tanya uminya.
Ataar menggeleng. "Buat apa takut umi? Kalau ada yang bully Ataar nanti Ataar bully balik lah," ucap Ataar tersenyum.
"Emang jagoan anak umi." Umi Fisha menyubit gemass pipi sang anak.
Ataar hanya tersenyum tipis, dan buru-buru menghabiskan makanannya.
Usai menghabiskan sarapan, dia pamit untuk ke sekolah sendiri, menggunakan bus. Sedangkan kakaknya di antar oleh papa.
Dia hanya menghela napas menaiki bus. Dia memakai hoddie serta handset di telingannya sehingga aura dinginnya terpapang jelas saat ini.
"Permisi apa saya boleh duduk di sini?" tanya seorang gadis membuat Ataar menoleh ke atas.
Bukannya menjawab, Ataar malah menaroh tasnya di kuris penumpang di sampingnya, sehingga gadis tersebut berdecak dan memilih berdiri.
Yang ada dalam pikiran gadis itu, Ataar sangat tega dengan seorang perempuan.
Berhentinya bus di halte di dekat sekolah baru Ataar, lelaki itu turun. Hari ini dia sudah memasuki ketahap kedewasaan.
Pintu gerbang hampir tertutup. Namun, cepat-cepat Ataar berlari memasuk. Dia bernapas lega di saat sudah berada di dalam.
Dia memakai topinya dan berbaris di antara murid yang sedang melaksanakan ucapara pada hari senin.
Usai ucapara para anak pelajar baru di suruh mengumpul di lapangan. Melaksanakn mpls.
"Nama?" tanya kakak seniornya.
"Ataar," jawab Ataar singkat.
"Nama panjangnya."
"Ataarrrrrr," jawab Ataar sehingga kakak seniornya menepuk jidat.
"Nama lengkap, dek," ucap kakak senior.
"Bilang dong, Ataara Angkasa Geutama."
Kakak senionya itu mengangguk dan kembali berjalan ke murid yang lain.
Ataar di kejutkan dari belakang membuatnya berdecak.
"Kita di jadikan kelompok, kita berempat," ucap seorang murid laki-laki.
Ataar tidak menjawab ucapan mereka, dia hanya menatap ke depan.
"Nama lo siapa?" tanya anak lelaki itu.
"Ataar," jawab Ataar.
"Bisa dong kita jadi teman?"
"Gak butuh,"ucap Ataar memakai hoddienya, menutupi seluruh badannya.
Mereka bertiga saling memandang. Lalu duduk di samping Ataar.
"Gue Gibran," ucap murid yang bernama Gibran.
"Gue Gentara."
"Gue Niel," sambung yang lain.
Ataar menoleh sekilas lalu kembali menatap kedepan. "Jangan jadi teman gue, lo pada nanti celaka," ucap Ataar.
"Kenapa?" tanya mereka penasaraan.
"Mau tahu banget? Gue udah bilang gak usah jadi teman gue, nanti kalian celaka," jawab Ataar.
"Gak, kita tetap akan jadiin lo teman kita. Kita teman kelompok, kita harus kompak."
"Kalian kenapa mau sekali jadi teman gue?" tanya Ataar.
Mereka saling pandang satu sama lain lalu menaikan bahu.
"Di antara kita gak ada anak kalem kaya lo, jadi kita ngajak lo jadi teman kita, tapi intinya bukan itu kok. Kita niat dan tulus menjadikan lo teman," jelas Niel.
"Gue gak kalem," ucap Ataar.
"Gak papa, kita tetap ingin berteman sama lo. Sekolah baru teman baru bukan?"
Ataar terdiam, dia juga dari tk, sd tak pernah bergaul, apalagi mempunyai teman.
"Tenang, kita memang anak nakal, tapi kita nakalnya gak kelewatan batas, kok," ucap Gentara jujur.
Ataar menoleh dengan wajah datarnya. "Kalian yakin untuk menjadikan gue teman kalian? Keluarga gue memang sempurna, tapi peran orang tua gue gak ada. Intinya gue gak kaya lo pada."
"Keluarga gue broken home, tenang," ucap Niel.
"Terus? Gak papa, mungkin kita udah di takdirkan untuk berteman," timpal Gentara yang di angguki oleh Gibran.
Ataar memperlihatkan senyum tipisnya membuat mereka bertiga terpana.
"Kayanya kita deh yang pertama mendapatkan senyumannya," bisik Gibran.
"Umi dan kakak gue yang dulu mendapatkannya."
Mereka pun di suruh berbaris setiap kelompok. Mereka berempat sudah di jadikan satu kelompok.
Tugas pertama mereka, disuruh meminta tanda tangan kakak kelas sesuai nama yang di tulis.
"Lo dapat siapa?" tanya Gibran.
"Sansia," jawab Ataar.
"Kayanya yang di sana namanya sansia."
Ataar pun menuju kakak osis yang sedang mengawas. Ataar menyodorkan bukunya.
"Sansia?" tanya Ataar. Osis itu menoleh dan mengangguk, dia pun tanda tangan di buku Ataar.
"Gue udah dapat," sahut Niel.
"Gue juga," teriak Gentara, mereka berbaris kembali karena sudah mendapatkan tanda tangan senior mereka.
Di tahap kedua, mereka kembali di suruh berfoto dengan teman sekelas.
"Mending kita deh saling berfoto," ucap Gentara.
"Jangan, gak boleh. Kita harus main normal seperti yang lain."
"Tapi kita juga satu kelas, Taar," ucap Niel.
"Iyakan, kita di suruhnya berfoto dengan teman sekelas, di luar teman kelompok."
Mereka pun mencari teman sekelas yang bisa di ajak berfoto.
Ataar bingung mencari teman sekelasnya yang harus di ajak berfoto. Dia tidak begitu tahu basa-basi untuk mengajak duluan. Di saat kebingungan. Seseorang datang ke arah Ataar.
"Mau berfoto?" tanya murid perempuan.
Ataar mengangguk. Mereka berfoto bersama, lalu saling mengirim.
Murid perempuan itu tersenyum, akhirnya dia mendapatkan nomor cowok tampan. Bahkan berfoto bersama.
Dia berlari ke arah temannya dan memperlihatkan fotonya dan Ataar.
"Langsung di sikat."
"Makanya, cari cara."
Siswi lain ikut mendekati Ataar untuk meminta foto berdua. Namun, Ataar menolaknya. Tadi dia hanya terpaksa karena tak tahu siapa yang harus dia temani.
"Apa udah selesai?" tanya osis.
Mereka semua kompak menjawab. "IYA!" teriak mereka bersama.
Jam sekolah sudah berakhir, kini mereka sudah di perbolehkan pulang ke rumah masing-masing.
"Babay." Gentara dan Gibran melambaikan tangannya pada Niel dan juga Ataar yang akan menunggu bus.
Mobil hitam berhenti di depan mereka. Niel bersemangat melihat bokapnya.
"Daddy," seru Niel. "Taar gue balik duluan ya, sorry gak bisa naik bus. Gue gak tahu kalau daddy gue jemput."
Ataar mengangguk. Dia melihat Niel yang di perlakukan layaknya seorang anak oleh bokapnya membuat hati Ataar iri.
"Andai papa juga seperti daddynya Niel. Keluarga mereka memang udah terbela dua, tapi peran orang tua masih berjalan," gumam Ataar. "Gue yang masih bisa utuh aja belum mendapat peran ayah," lanjut Ataar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments
Ade Syafira
♥️♥️
2024-03-26
0
Happyy
💖💖💖
2023-12-29
0
Pujiastuti
lanjut kak semangat 💪💪💪
2023-08-07
0