Part 3 ~Ataar's Wound

Ataar terpaksa bangun dari tidurnya, karena kakaknya memaksanya untuk segera turun.

"Bisa gak sih kak gak usah menganggu, gue masih mau tidur!" protes Ataar pada kakaknya.

"Ataar, di bawah ada tamu. Bisa gak kamu turun?" tanya Fisha menarik tangan adiknya untuk mencuci wajah.

"Di bawah ada kak Xaviel? Terus gue mau komaha barudak," gerutu Ataar.

"Bukan hanya Xaviel, ada kedua orang tuanya dan adiknya."

"Terus? Kak Xaviel mau lamar, kakak?" tanya Ataar.

Pletak!

Fisha memukul kepala adiknya dan menyuruhnya cepat cuci muka.

"Lagian, pasti ketemu sama cewek pencicilan itu," ketus Ataar mengerik gerih bertemu kembali dengan gadis yang terang-terangan di sekolah menyebut cita-citanya ingin menjadi istrinya. Kan gak masuk akal.

Usai membersihkan diri, dia turun dengan santai menuju ruang tamu. Di mana semua orang berkumpul.

Ataar duduk di samping kakaknya sambil bermain ponsel, Fisha merebut ponsel Ataar. Sehingga lelaki itu mengerutuki kakaknya dalam hati.

Seorang gadis kecil itu berpindah tempat di samping Ataar membuat Ataar ikut berpindah tempat dekat uminya.

Gadis itu cemberut. Ataar hanya menjulurkan lidahnya dan menatap ke depan.

"Maaf, pak Altar kami datang segorombolan. Padahal kita cuma mau bahas pekerjaan berdua," ucap pak Revandra.

"Gak masalah, pak Revan. Gak usah sungkan, kaya siapa aja," balas Altar.

Umi Aisha menyajikan cemilan serta jus kepada tamu mereka.

Mereka semua sibuk berbincang masing-masing. Kini tinggal Ataar dan gadis itu yang hanya berdiam diri.

"Ataar, Ataar sekolah di mana?" tanya gadis itu yang bernama Vieara.

"Bukan urusan lo," jawab Ataar.

"Nanti kalau udah masuk smp, aku juga mau satu sekolah lagi bareng kamu. Kan kita jodoh," ucap Ara.

"Dih anj*ng, gak usah ngadi-ngadi."

"Bodoh amat, aku akan satu sekolah sama Ataar. Sampai kuliah dan kerja Ara akan ikutin di mana Ataar berada. Ataar tuh milik Ara!"

"Najis."

"Kok kasar ngomongnya? Aku aduin ya ke umi Aisha."

"Eh bocah, dia umiku bukan umimu," celetuk Ataar.

"Aku bukan bocah!" ketus Ara.

"Lo masih esde, gue udah esmpe jelaskan bocahnya?"

"Beda setahun doang, mana ngaruh sayang."

"Dih njing, makin kesini lo. Udah deh kata-kata gue terbuang-buang ngomong sama lo."

"Yang nyuruh Ataar ngomong panjang kali lebar siapa?"

Ataar memutar bola matanya. "Sana-sana lo, gak usah dempetan. Gerah gue di deketin demit."

"Ataar!" teriak Ara sehingga semua orang memandang mereka.

Ara menyengir dan kembali menatap Ataar yang tak mempedulikannya.

"Coba calon imam aku, sekolah di mana?" tanya Ara dengan lembut serta senyuman mematikan untuk Ataar.

"Lo kok, kepo banget sih? Kaya Dora," ketus Ataar.

Ara mendengus kesal dan menatap Fisha yang sedang berbicara dengan abangnya.

"Kak Fisha, Ara boleh bertanya gak?" tanya Ara sehingga Fisha menoleh.

"Iya boleh, apa?"

"Ataar sekolah di mana?"

Ataar menggeleng memohon pada kakaknya. Ara menginjak kaki Ataar sehingga Ataar menjerit kesakitan, apalagi yang di injak Ara bekas cambokan papanya semalam.

"Pradika school," jawab Fisha.

Ataar mengetatkan rahangnya. Dia pergi dari sana meninggalkan mereka semua.

Ara menatap kepergian Ataar, lantas mengejarnya.

"Ataar," teriak Ara memegang tangan Ataar.

"Apasih," ketus Ataar.

"Jangan marah ya? Lagian nanya doang kok, aku kan calon istri kamu."

"Gue gak mau jadi suami lo, ogah. Banyak cewek cantik di luar sana. Yakali gue mau sama lo." Ataar menepis kasar tangan Ara dan menaiki anak tangga kembali ke kamarnya.

"Awas aja makan omongan sendiri," gerutu Ara kembali keruang tamu.

"Jangan sampai dia ikutan sekolah di sana, ngeri gue." Ataar mengacak rambutnya furstasi. "Ini lebih ngerih daripada bertemu dengan dedemit. Ini sangat menyeramkan."

Ataar mengunci kamarnya, dan merebahkan badannya di ranjang.

Dia menoleh kebawah, kaki yang di injak Ara kembali membiru. Ataar menghela napas dan beranjak untuk mengobati lukanya.

"Bisa mati gue," ucap Ataar meringis kesakitan. Papanya tidak santai-santai memukulnya. "Kenapa gue harus di giniin? Apa gue ada salah? Gue juara satu di sekolah, tapi malah pukulan yang gue dapat," gumam Ataar merebahkan dirinya di atas ranjang.

"Dunia memang kadang-kadang, dunia gak salah, papa juga gak salah. Yang salah diriku sendiri, kenapa dia harus lahir di dunia ini, yang tak cocok dengannya?"

"Gue iri dengan Niel dan Gentara, dia di sayangi ayahnya. Sedangkan gue di panggil sebutan 'anak' aja gak pernah."

Ataar menghapus sebutir mening jatuh di sudut matanya. "Gue mau kaya kak Fisha, kapan gue beruntung sepertinya?" tanya Ataar.

Dia berlari kebalkon kamarnya. Keluarga Ara sudah pergi membuatnya bernapas lega.

Ceklek!

Fisha masuk ke dalam kamarnya, Ataar menoleh sekilas dan kembali menatap bangunan di depannya.

"Sini kakak obatin lukanya," ucap Fisha.

"Luka apa?" tanya Ataar.

"Semalam Papa pukul kamu lagikan?"

"Gak, kata siapa?"

Fisha menarik lengan adiknya dan menyuruhnya duduk di sofa.

"Terus ini?" tanya Fisha menunjuk bitis adiknya serta telapak kakinya.

"Gak papa, gue baru obatin, gak usah kak," cegah Ataar.

"Yaudah, buka pakaian kamu. Kakak mau lihat," pinta Fisha.

Ataar menggeleng keras. "Kakak keluarlah dari sini."

"Gak, kalau kakak bilang buka ya buka. Kamu udah berani melawan kakak?" tanya Fisha.

Dengan kesal, Ataar melepaskan pakainnya. Di sana banyak bekas cambokan yang di berikan papanya.

"Sakit?" tanya Fisha.

"Menurut kakak ini sakit gak?"

Fisha terdiam, dan hanya fokus mengobati luka adiknya.

"Pelan-pelan, gak usah di pencet juga. Kak," ucap Ataar meremas gamis yang digunakan kakaknya.

"Udah."

"Kamu cepat turun untuk makan, umi menunggumu," ucap Fisha menaroh kotak p3k di atas meja dan keluar dari kamar Ataar.

Dengan kekuatan yang di paksa, Ataar berdiri dan berjalan keluar kamar.

Sebuah pesan masuk ke ponselnya. Temannya yang tak lain adalah Niel, mengajaknya melihat pertunjukan balapan liar sebentar malam.

"Gue ikut atau gak?" tanyanya pada dirinya sendiri. "Udahlah di rumah gue di pukuli, mungkin kalau healing sebentar gak papa kan."

"Ataar," teriak uminya. Ataar pun buru-buru turun dari tangga.

Usai makan bersama. Dan waktu sudah malam. Ataar mengintip di luar kamar, sebelum papanya pulang. Dia harus pergi.

📱"Gue tunggu di luar gerbang kompleks rumah lo," ucap Niel di seberang sana.

Ataar berdehem. Dan sembunyi-sembunyi pergi lewat teras rumahnya.

Lelaki itu bernapas lega, di saat kakinya menyampai tanah, dengan buru-buru ia memanjat dinding, karena kalau lewat pagar dia akan ketahuan satpam yang berjaga.

Dia berlari di saat sudah mendapatkan ketiga temannya yang menunggunya.

"Udah lama?" tanya Ataar.

Mereka bertiga menoleh lalu menggeleng.

"Langsung gass?" tanya Niel.

Mereka mengangguk. Mereka menggunakan sepeda, Ataar di bonceng oleh Gentara.

Terpopuler

Comments

Happyy

Happyy

😘😘😘

2023-12-29

0

Pujiastuti

Pujiastuti

sedih terus nih baca cerita tentang si Ataar 😢😢😢😭😭😭 masih lama nih Ataar akan hidup bahagia

2023-08-08

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!