Soul – Korea, 2023
Tepat empat tahun, Emily menyandang sebagai seorang istri dari Lyam Rogan. Seorang idol Korea Selatan yang digandrungi oleh kaum hawa di berbagai penjuru bumi.
Apakah ada yang berbeda dari empat tahun sebelumnya, dimana ia masih menyandang status sebagai wanita lajang?
Jawabanya TIDAK, tidak ada yang berbeda sedikitpun. Bahkan terakhir kali ia bertemu dengan suaminya adalah empat tahun lalu. Kala itu adalah pertemuan pertama selama dua hari satu malam sekaligus pertemuan terakhir sepanjang sejarah per-LDR-an pernikahan mereka.
Apakah Emily merindukanya? Tentu saja wanita itu lupa bagaimana rasanya merindu. Ia rasa para gadis di luaran sana yang secara terang-tengan mengatakan jika Lyam adalah suaminya, akan berpikir ulang ketika mengetahui ini.
Pria itu luar biasa sibuk. Tujuh turunan, 8000 tanjakan. Ketika Emily mendapati liburan akhir semester atau libur akhir tahun. Maka pria itu akan sibuk dengan serangkaian konser dan entah apapun itu yang intinya tidak bisa menemui Emily kalau kata Evelyn. Alhasil jadilah Emily yang berlibur ke Madrid menenui kedua orang tuanya.
Menyebalkan sekali bukan? Tapi, mau bagaimana lagi, itulah yang memang harus diterima. Namanya saja sudah terlanjut menikah dan membuat kesepakatan. Mau protespun pasti tidak akan bisa.
“Ily sayang, benar kan sudah tidak ada lagi yang tertinggal di asrama?” suara yang terdengar bersamaan dengan suara kardus yang diletakkan secara paksa. Membuat Emily menghentikan aktivitasnya sejenak, ia menoleh ke sumber suara. Dimana Hana tengah merenggangkan otaknya sembari menatap kardus besar yang tertutup rapat sambil mendengus masam.
Hari ini adalah hari kepindahan Emily di rumah barunya dengan Lyam. Dibantu Hana Emily mengatur kepindahanya sejak tadi pukul 10 pagi hingga sekarang pukul tiga sore.
Rumah ini berukuran tidak terlalu besar tapi juga tidak kecil, minimalis dan memiliki halaman yang cukup luas. Tidak ada kolam renang, rumah ini hanya rumah dua lantai yang memiliki lima kamar. Satu kamar utama, dua ruang pribadi milik Lyam dan Emily dan dua lainya saat ini masih kosong. Ruang tamu, ruang keluarga dan dapur juga berukuran sewajarnya. Seperti rumah yang selalu Emily idamkan sejak dulu. Rumah yang tidak terlalu besar tapi nyaman dan hangat. Tidak seperti rumah kedua orang tuanya di Madrid yang ruang tamunya saja bisa untuk bermain futal. Benar-benar membuang-buang uang.
Oh iya, Emily sudah jadi sarjana sekarang. Sarjana Animasi Digital. Itu loh, yang membuat gambar 3D. Keren sekali bukan? Sekian purnama ia bersusah-susah ria, tinggal di asrama dengan segala peraturanya. Akhirnya ia bisa juga terbebas dari semua itu.
“Amma yakin tidak butuh bantuan Ily?” tanya Emily meyakinkan, ia hingga meringis melihat betapa kesusahanya Hana kembali mengangkat kardus besar berisi segala macam pernak-pernik Emily. Langkahnya tertatih karena menahan beban.
“Tentu sayang, yakin 1000 yakin. Bisa dicincang Amma sama suamimu jika membuatmu kelelahan.”
“Amma, orangnya saja tidak ada. Bagaimana bisa mencincang, tahu saja tidak.” Protes Emily, ia kembali mengambil buku-buku dari dalam kardus dan menyusunya di rak besar berwarna putih. Ia tidak yakin jika suaminya akan mencincang Ibunya sendiri hanya demi Emilly. Nomor telpon saja Emily tidak yakin jika pria itu memilikinya. Sama seperti dirinya.
Hana berhenti sejenak, kembali meletakkan kardus itu padahal hanya butuh tiga langkah lagi ia sampai dimana meja persegi panjang berukuran sedang berada. Wanita itu mendengus kasar, sembari meletakkan kedua tangannya di pinggang.
“Ily pikir... Amma mau repot-repot mengangkat kardus besar seperti ini. Jika anak itu tidak memiliki ribuan mata, sayangku.” Katanya dengan kobaran api semangat.
Emily menyipitkan kedua netranya tak mengerti.
“Ayolah sayang, coba pikir lagi dengan benar. Anak itu melarang kita memasukkan siapapun kerumah ini. Dan menyuruh kita yang membawa serta membereskan benda-benda ini sendiri.” Hana bungkam sejenak, menghembuskan nafasnya berat. “Ily pikir, Amma benar-benar mau melakukanya jika saja anak itu tidak akan tahu jika kita berbohong?”
“Maksud Amma, Lyam Oppa memasang kamera CCTV di rumah ini?” tanya Emily, secara spontan saat itu juga pandanganya ia edarkan di setiap sudut ruangan. Tidak ada, tidak ada benda itu atau bahkan hal yang mencurigakan di sekitar ruangan ini.
“Tidak hanya CCTV, tapi lebih dari itu.”
“Maksudnya lebih dari itu?”
Hana berdecak nyaring. “Suatu saat kau akan mengetahuinya sendiri sayang. Amma benar-benar bisa dicincang jika mengatakanya.”
Emily mengangguk pasrah, tidak berani membantah.
“Amma, apakah Lyam Oppa akan tinggal disini bersamaku?” tanya Emily, ia sudah kembali disibukkan dengan menata buku-bukunya. Sedangkan Hana, wanita paruh baya itu kini sudah berhasil membawa kardus besar itu dan membongkarnya setelahnya.
“Tentu saja dong sayang, ini rumah kalian. Tapi, mungkin untuk akhir-akhir ini dia akan lebih sering di apartemen.” Jawab Hana, tangan nya sibuk menyusun beberapa pernak-pernik milik Emily.
Emily menganggukan kepalanya berulang, meskipun ia tidak pernah tahu dimana pria itu tinggal selama ini. Namun, ia sudah menduganya dengan hal yang serupa dengan yang Hana katakan.
“Rumah ini juga apa sudah lama dibeli Amma?”
“Lyam tidak membelinya sayang, ia membangunya. Mungkin satu tahun sebelum kalian menikah?”
Emily cukup terkejut dibuatnya. Namun ia berusaha untuk mengontrol ekspresinya. “Jadi lima tahun yang lalu, Lyam Oppa sudah memiliki rumah ini Amma?”
Hana mengangguk cepat.
“Hmm, dia membangunya untukmu.” Jawab Hana singkat, namun berhasil membuat Emily menghentikan aktivitasnya. Memutar tubuhnya hingga 90 derajat.
Entah salah dengar atau memang itu yang diucapkan oleh bibir mungil milik Hana. Yang pasti, ucapan wanita seumuran dengan Evelyn itu benar-benar berhasil mencuri atensi Emily. Sayangnya Hana tidak menyadari hal itu, bahkan ia masih sibuk dengan kegiatanya.
“Benarkah Oppa membangun rumah ini untukku Amma?”
“Hmm, itu yang dia katakan sewaktu meminta izin kami membangun rumah ini. Katanya rumah milik Emily kecilnya.” Jelas Hana belum sadar dengan apa yang ia katakan.
“Sebentar-sebentar. Berarti Lyam Oppa mengenalku pertama kali bukan di hari pernikahan kami, begitu Amma?”
“Ya, tentu saja tidak dong sayang. Dia bahkan mengatakan kamu itu istrinya sejak pertama kali dia melihatmu.” jelas Hana dengan gampangnya.
Emily seketika membolakan kedua netranya. Sangat terkejut, sama terkejutnya dengan Hana yang tiba-tiba menampar bibirnya sendiri.
“ASTAGA... apa yang sudah kukatakan.” Gumamnya pelan namun masih sangat jelas di pendengaran Emily.
Setelahnya, wanita paruh baya itu mengubah posisinya menjadi menghadap Emily juga. “Amma tolong katakan. Kapan kali pertama Lyam Oppa melihatku,” pinta Emily dengan nada memohon.
Hana menarik nafas berat, kemudian ia hembuskan cukup kuat. Memandang Emily dengan tatapan mengiba. “Amma minta maaf sayang. Amma tidak bisa memberitahumu.” katanya putus asa.
Sejujurnya ia ingin mengatakanya. Namun ia sudah berjanji pada Lyam untuk tetap diam dan tidak mengatakan hal apapun tentang mereka pada Emily. Membiarkan putranya sendiri yang melalukanya.
“Kenapa tidak bisa Amma, Ily tidak akan memberitahu siapapun kok. Jadi tolong katakan Amma!” pinta Emily lagi. Kali ini sedikit menuntut.
Hana tak ingin kalah, ia juga memasang wajahnya hingga semenyedihkan mungkin. “Ahh... tolong jangan paksa Amma untuk mengatakannya jika Ily memang menyayangi Amma, sayang.” Jawab Hana nada suaranya tak kalah dengan ekpresi memelasnya.
Emily membuang napasnya pasrah. Jika sudah begini, tidak ada yang bisa Emily lakukan selain mengangguk terpaksa dengan wajah yang ia tekuk berkali-kali lipat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments