SBS-04

...Selamat membaca...

...Jangan lupa like, komentar, subscribe, vote dan hadiahnya jika berkenan ☺️...

...Terima kasih...

...[•]...

Terkadang, hidup itu tidak adil meskipun seisi dunia sudah berada dalam genggaman. Pendapat dan pandangan orang akan selalu merujuk pada sebuah kenyamanan dan kesempurnaan, jika seseorang hidup dengan level perekonomian yang layak. Kira-kira seperti itu yang pernah didengar Seren dari papi nya dulu. Dia yang sering mendengar itu, dituntut sempurna meskipun sebenarnya, dia jengah. Dia di tuntut untuk nyaman, meskipun sebenarnya dia sangat keberatan. Hidup di kalangan orang berada itu, tidak selalu semenarik yang dibayangkan orang lain dalam benak mereka.

Contohnya sekarang. Seren harus memasang wajah full senyum ramah tamah tanpa celah, dan anggun serta cantik didepan keluarga Pradana, si calon mertua yang sebenarnya tidak pernah dia kategorikan sebagai calon mertua yang dia inginkan. Bagaimana tidak, anak laki-laki yang hendak dijodohkan dengannya itu, terlanjur membuatnya kehilangan respect nya untuk pemuda bernama Cello Trias Pradana. Jalan berunding pun, tidak menemukan hasil dan justru berakhir menumbuhkan rasa benci lainnya dalam hati Serena.

Hari ini adalah makan malam pertamanya dengan keluarga besar orang lain, dan Seren harus menerima meskipun rasanya ingin kabur, lari sejauh mungkin agar hidupnya tetap baik-baik saja.

Tapi, entah mengapa dia justru tunduk untuk sebuah nama baik yang di bebankan di atas namanya.

“Aduh, Seren cantik banget ya, Tan?” celetuk Diana, kakak perempuan Cello kepada Ine, mama dari Serena. “Nggak kebayang, seperti apa dia nanti di usia dewasa. Pasti cantik banget dan bikin Cello klepek-klepek.”

Sumpah demi Tuhan, Cello hampir tersedak mendengar pujian kakak perempuannya itu. Padahal, di mobil saat perjalanan tadi, wanita itu komplain atas kelakuan Serena yang menurutnya, tidak ada baiknya sama sekali.

“Ah, nak Diana bisa saja. Tapi, Serena memang cantik dari dulu, sih.” puji Ine basa-basi. Ia bahkan diam-diam menyenggol paha Seren agar ikut beramah tamah cuap-cuap basa-basi dengan calon kakak iparnya nanti.

Mereka berada di sebuah restoran berbintang yang memiliki fasilitas private, yang biasa di pesan oleh orang penting dan pejabat untuk melakukan pertemuan penting yang amat rahasia.

“Kalau Cello, sudah tidak diragukan lagi lah, Ren. Dia punya bibit unggul yang mumpuni, tidak perlu dikhawatirkan. Kalian pasti dapet anak yang lucu-lucu, ganteng dan cantik kayak mama papa nya.”

Kali ini, Cello benar-benar tersedak. Kakaknya ini sudah kelewatan sekali membahas anak dalam pembicaraan awal yang belum tentu akan terwujud di masa depan. Cello pikir, tidak akan masalah jika membahas hal itu didepan pasiennya karena dia memang seorang dokter kandungan. Tapi, ini, dia sedang bicara didepan ABG labil, yang dipaksa untuk memiliki ikatan. Rasanya tidak etis membicarakan masalah anak untuk sekarang, menurut Cello.

Lengan kanannya meraih gelas berisi air putih dan menenggaknya langsung untuk meredam perih di tenggorokan. “Mbak ngomong apa sih?!” kesal Cello setelah perih di tenggorokannya berhasil menghilang.

“Ya mbak kan ngomong yang realistis saja, El.”

Kepala Cello menggeleng tidak percaya dengan penuturan terang-terangan sang kakak. Namun suasana keki tidak berlangsung lama karena Pradana mulai angkat bicara.

“Bagaimana pak Tantono. Apa putri bapak setuju dengan ide perjodohan yang hendak kita lakukan?” tanyanya menuntut jawaban. “Seren, apa kamu mau menerima putra saya, Cello?” lanjut Pradana, mengiris steak daging dengan kematangan medium yang ia pesan.

Pribadi yang ditanya tidak tau harus menjawab apa. Karena hati dan otaknya benar-benar menolak ide konyol manusia yang dianggapnya kolot. Namun bibir tipisnya tidak bisa diajak berkompromi. “Ah, itu ya om. Eummm, saya rasa—”

“Kami masih bocah pa. Apa sih yang bisa diharapkan dari bocah seperti kita di nikahkan muda?” sahut Cello tidak mau kalah bicara. Kalau soal mendebat papanya, serahkan saja pada pemuda itu. Dijamin ampuh sampai akhir. Manjur dan pastinya buat papa nya menyerah.

“Kalian tidak menikah sekarang. Papa dan Om Tantono hanya akan mengikat hubungan kekeluargaan dengan tali pertunangan. Kalian bertunangan terlebih dahulu, baru menikah nanti kalau sudah mapan.”

Mapan? Cello ingin tertawa sampai terpingkal dan keram perut. Mapan apanya? Cita-citanya saja ingin menghabiskan harta papanya. Mapan bullshit. Dipikir-pikir, hidup di jaman sekarang ini memang terkadang kocak macam lawakan stand up comedy. Contohnya ya si Cello ini. Siapa lagi memang yang punya cita-cita tidak guna seperti itu?

Jika anak remaja lainnya ingin menjadi orang sukses, ilmuwan, pembela kebajikan, pembela keadilan, atau paling tidak, berguna bagi nusa dan bangsa agar mempunyai fungsi yang semestinya sebagai seorang manusia. Tapi, alih-alih Cello ingin menjadi salah satu dari banyak pilihan top tersebut, Cello justru punya cita-citanya sendiri, yang menurutnya sangat mulia. Yakni membuat papanya bangkrut agar tidak mengancamnya lagi jika ingin menjadi diri sendiri.

“Masih panjang, pa. Masih lama.”

Pradana mengurungkan niatnya untuk memasukkan steak kedalam mulut. Ia kini menatap dengan sorot tajam pada sang putra yang terlihat santai. Celllo tidak merasa bersalah sedikitpun pada kalimatnya.

“Lalu, kamu tidak akan pernah mau melakukan apapun selama itu?”

Cello mengedikkan bahu acuh. Ya jelas lah. Cita-citanya kan memang untuk membuat papanya bangkrut.

“Baiklah. Papa akan menjamin hidup mu sampai tua nanti.” kata Pradana tidak mau mendapatkan hasil sia-sia. Nama baiknya juga dipertaruhkan.

“Nggak perlu. Papa nggak perlu melakukan itu.” celetuk Cello masih dengan gaya tengilnya yang sok asyik, padahal situasi sudah berubah sunyi. Tidak ada lagi suara sendok dan piring beradu. Menyadari itu, Cello akhirnya berhenti mengunyah makanan, lalu mengangkat pandangan mata untuk mengamati sekitar. Wow, semua orang sedang memperhatikan dirinya.

Sebuah deheman menjadi hal pertama yang dilakukan Cello saat tau suasana berubah canggung. Ditambah lagi, papanya yang sudah berubah ekspresi, membuat Cello semakin tertantang untuk menyelami suasana yang tidak menyenangkan di sekitarnya.

“Jadi kamu berniat menolak perjodohan ini?” tanya sang papa dengan suara rendah dan wajah dingin mengintimidasi. Bahkan, Serena saja bergidik takut melihat ekspresi Pradana yang tidak bisa dibaca itu.

Cello mencebikkan bibirnya. “Kira-kira ... seperti itu ” jawabnya dengan tawa jenaka yang dibuat-buat.

Seketika itu, Pradana berdiri. Dia menyudahi acara makan malamnya sepihak dengan wajah penuh amarah. Sedangkan Serena dan kedua orang tuanya ikut terkejut karena makan malam yang seharusnya berjalan baik, justru kacau balau oleh ulah Cello yang mengundang kekacauan.

Arman yang duduk tidak jauh dari sang papa ikut berdiri. Maksudnya untuk menenangkan sang papa agar kembali melanjutkan acara malam ini. Namun sia-sia. Pria itu justru mendapat tatapan sengit dari sang papa agar tidak mencoba mengehentikan apa yang sedang membuatnya marah.

“Kita selesaikan ini dirumah. Papa ingin bicara banyak sama kamu.” katanya tegas sembari menunjuk ke arah Cello, tepat di wajahnya.

Suasana benar-benar kacau hingga tidak ada lagi pembicaraan basa-basi antara dua keluarga yang seharusnya, sudah mendapatkan kesepakatan untuk menentukan jalan hidup kedua anak mereka yang hendak dipersatukan melalui ikatan pernikahan.

Tapi sekarang apa? Semua hancur berantakan hanya karena sikap egois Cello yang tidak bisa sedikit saja ia tanggalkan.

Pradana pergi tanpa pamit kepada keluarga Tantono karena terlanjur malu. Sedangkan Arman, harus menggantikan posisi ayahnya untuk meminta maaf dan maklum atas semua kekacauan yang terjadi. Diana, jangan tanya semarah apa wanita itu. Sedangkan Cello, hanya bersikap acuh dan tidak peduli pada keadaan yang sudah tidak lagi terasa nyaman.

Ketika kedua kakaknya telah pergi dan mewanti-wantinya untuk segera pulang. Cello berdiri. Ditatapnya sosok Serena Dengan tatapan intens, lalu dengan percaya diri dia berkata. “Ini yang Lo mau kan? Udah gue realisasi-in. Sekarang Lo bisa tenang tanpa harus berhubungan lagi sama gue.”

Tantono dan Ine, jelas terkejut mendengarnya. Jadi, Cello melakukan ini karena kemauan putri mereka? Dan sekarang, pemuda itu pula yang harus menanggung semuanya?

Tantono meremat gagang pisau yang ia pegang. Ia kecewa untuk yang kesekian kalinya kepada putrinya sendiri. Dia juga merasa malu dan bersalah pada Cello yang sudah mengorbankan diri juga citranya didepan ayahnya sendiri, yang tidak tau akan berakhir seperti apa nantinya.

“Gue pamit.” lanjutnya berpamitan pada Serena yang diam membeku dengan raut khawatir. “Maaf sudah mengacaukan acara makan malam ini, Om, tante.” lanjutnya sembari membungkukkan badan lima belas derajat sebagai salam hormat.

Cello meraih jaket kulit yang tadi ia sampirkan pada sandaran kursi restoran, lalu memakainya sambil berjalan menuju pintu keluar. Menyisakan Serena dan kedua orang tuanya yang tidak bicara apapun padanya.

“Papi, mami, Serena—”

“Papi tidak mau mendengar alasan apapun. Mulai sekarang, papi akan membatasi pergaulan dan juga semua fasilitas yang papi berikan untukmu selama ini.”

“Tapi pap?”

“Secara tidak langsung, kamu sudah mempermalukan papi dan mami didepan keluarga Pradana, Ren. Papi benar-benar kecewa sama kamu.”

“Papi, maafin Rena.”

“Jika ingin meminta maaf, mintalah pada Cello. Dia tidak bersalah, namun harus menerima hukuman karena ulahmu.” sahut Ine dengan suara marah yang memenuhi ruangan, lalu menyambar tas selempang branded miliknya, dan pergi meninggalkan ruangan yang menurutnya sangat memuakkan.

“Papi serius kali ini, Ren. Karena kamu, sudah membuat papa malu pada diri papa sendiri karena tidak bisa mendidik kamu dengan benar.”

Serena menggigit bibir bawahnya karena takut.

“Sekarang,” suara Tantono kembali terdengar. Kali ini intonasinya terlampau rendah dan ekspresinya berubah tidak ramah. Serena tau jika ayahnya itu, tidak sedang berakting dengan kemarahannya. “Terserah kamu. Papi tidak mau lagi ikut campur dengan apa yang kamu lakukan setelah ini.”

Ucapan itu membuat hati dan dada Serena berdenyut sakit karena, selama ini orang yang mau peduli padanya hanyalah papinya.

“Pap—”

“Renungi kesalahan yang sudah kamu lakukan itu. Dan papi, tidak ingin lagi mendengar rengekanmu, kecuali, kamu berhasil membuat Cello memaafkanmu. Ingat itu.”[]

...To be continue...

Terpopuler

Comments

Nur Yuliastuti

Nur Yuliastuti

terimakasih up nya 🤗🤗😍

2023-09-25

1

Nur Yuliastuti

Nur Yuliastuti

kl orang Jawa bilang Wang sinawang

2023-09-25

1

Sasliati Lia

Sasliati Lia

waduh berat perjuangan ini bestie 😂😂😂

2023-09-19

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!