Bel tanda istirahat pertama berbunyi. Kaki Tito yang hampir pegal akhirnya di selamatkan. Beitu juga para
siswa yang hampir pingsan menghadapi satu soal dari bu Tatum. Kepala mereka benar-benar kepanasan. Jika di tahan lebih lama lagi akan ada ledakan dengan otak berceceran d lantai.
“Minggu depan ulangi lagi ya.” Pesan bu Tatum. Menutup pelajarannya. Kemudian mata guru senior ini beralih ke Tito yang berdiri canggung. “Jangan ulangi lagi ya!”
“Ya buk, maaf!” angguk Tito.
Bu Tatum meninggalkan kelas. Anak anak merasa lepas seratus persen.
“Gua jadi kangen Mikha.” Fitri merebahkan kepalanya diatas tumpukan buku.
“Gua lapar.” Rengek Karin.
“Sama!!” Tito mndekati mereka.
“Yuk lah! Arin yuk!” ajak Fitri menoleh arah Arinda. Bola mata Arinda meirik ke arah anak yang duduk di
sampingnya. Merri, ia masih duduk kaku di sampingnya. Merasa di berikan kode, Fitri menepuk pundak Merri.
“Heh!” Merri kaget, begitu juga Fitri dan kemudian Arinda. Hal itu membuat Karin dan Tito memperhatikan mereka.
“Kamu gampang kagetan ya?” tanyamFitri.
Urusan hubungan sosial, Fitri jagonya sih. Wajah bulat anak ini biasanya membuat siapa saja bisa akrab dengannya.
“Aku Fitri.” Fitri mengulurkan tangannya.
Merri memperhatikan, dia terlihat ragu. Uluran tangan itu membuatnya sedikit terbebani. Dia berniat tidak ingin berteman dengan siapa-siapa sejak masuk di sekolah ini. menjadi tak terihat, itu tujuannya, agar tidak ada yang tau siapa dirinya.
Tidak ada sambutan dari tangannya, Fitri merasa kikuk sekaligus malu. Dia menarik tangannya. Kecanggungan terjadi. Karin melihat Merri dengan tampang tidak suka. Sikap Merri yang kaku membuatnya terkesan aneh di mata keempat remaja ini.
Merri kembali menundukkan kepala, ia merasa bersalah sekaligus bingung. Rencananya berjalan tidak baik.
“Kantin aja yuk!” ajak Arinda menghilangkan kecanggungan antara teman-temannya dengan si anak baru.
“Lo mau ikut ga?” tanya Karin agak ketus ke Merri.
Merri menoleh ke Karin yang sudah bertolak pinggang.
“Aku dikelas saja.” Jawab Merri dengan suara pelannya. Seketika dia merasa takut dengan Karin dengan tampang juteknya.
“Apa? Gua ga dengar.” Ketus Karin.
Merri menelan air ludah. Dia mendapat masalah dihari pertama sekolah. Dia mengulang kisah lama. Seharusnya dia duduk di paling belakang aja. Lagian mereka kenapa harus repot-repot mengajaknya? Disaat itu juga Merri menyesal tidak membalas sambutan tangan Fitri.
Pasti itulah akal permasalahannya. Merri menepok jidatnya dengan pelan. Tanpa ia sadari, sedari ia berfikir dan merenung, keempar remaja di depannya sedang memperhatikannya.
“Dia aneh.” Bisik Fitri ke Arinda.
Suara itu membuat Merri tersadar. Dia kembali menundukkan kepalanya dan tidak berani menatap orang-orang di depannya. Melihatnya bertingkah lemah dan tak berdaya Karin merasa gemas.
“Udahlah, kalau dia ga mau, udah kenyang kali. Atau dia bawa bekal kali.” Tito menarik lengan Karin yang semakin kesal.
“Soalnya tuh anak pindahan ga tau sopan santun.” Dumel Karin. Arinda tidak mau ikut campur jika Karin sudah mulai emosi.
Dia pindah posisi memberikan wewenang penuh kepada Karin untuk bertindak semaunya. Pembulian di tahun dua ribu, masih hal wajar, karena saat itu belum ada yang peduli.
“Gwuuuuuuuuttttt!!!” suara aneh itu membuat mereka terdiam. Suara apakah itu? itulah yang terlintas di benak
mereka. Tapi yang jelas, suara itu tertuju pada satu sumber.
Merri menahan perutnya. Kemudian membuat keempat remaja yang berdiri dihadapannya itu saling tukar pandang. Suara perut Merry menorekan senyum lebar yang kemudian secara otomatis berubah menjadi tawa lepas. Diantara mereka, suara tawa Karin yang paling keras.
“Hahaha...!!” tangan Karin lansung melayang dan kemudian mendarat di pundak Merri.
Satu tepukan yang tidak menyakitkan, tapi tetap saja membuat Merri kaget. “Yuk lah ke kantin, jangan takut sama kita-kita. Kita berempat anaknya baik-baik semua, bukan anak bar-bar kok!!” Karin tanpa peduli isi hati
Merri, segera menariknya. Tubuh kecil itu hanya bisa mengukuti tarikan dan langkah kaki keempat remaja yang belum ia kenali.
Sekali lagi Merri hanya memasang wajah cemas. Semua ini di luar rencananya. Bahkan ia sudah berjanji tidak akan jajan di kantin agar tidak kenali orang-orang. Sungguh, Merri tidak ingin memiliki teman lagi.
.
.
.
Tapi siapa yang bisa menyangka, tubuh kecil yang terlihat lemas dan tidak berdaya itu adalah sebuah mesin penyedot segalanya. Entah belum makan sejak semalam, atau porsi makanannya memang selalu sebanyak ini, Merri telah berhasil menghabiskan tiga mangkok bakso dan lima gorengan. Ia menyedot teh botol. Keempat remaja yang duduk di hadapannya hanya tediam. Bahkan Tito takjub, baru kai ini melihat pertunjukan
makan cepat secara lansung.
“Lu lapar?” tanya Karin.
Merri melihat karin dari sudut atas matanya. Ia kembali bersikap seperti biasa, yaitu kalem dan pemalu. Tapi dimata orang-orang dia terlihat creepy. Dia berpikir, bahwa dirinya kembali melakukan kesalahan, yaitu mencari perhatian dengan sikapnya yang tidak wajar.
Kerasukan yang ia alami semalam memang menguras energinya. Maka tak heran, setelah mengalami hal-hal seperti berinteraksi dengan makhluk halus, ia akan kehilangan banyak energi yang membuatnya lapar ataupun lemas.
“Makan aja kalau masih lapar.” Suruh Fitri. “Karin hanya iri, dia tidak bisa makan banyak soalnya tipe kulit badannya tipekal yang gampang melar.” Jelas Fitri yang membuat Karin jengkel.
“Tepat sekali.” Tito menyetujui dan kemudian Fitro dan Tito tos dengan kompak di depan Karin.
“Kalian memang bosan hidup ya.” Ancam Karin.
Merri hanya mengangguk kemudian menunduk. Ia belum terbiasa dengan sikap orang-orang di depannya. Ia berharap kedepannya mereka tidak usah akrab, cukup sekali ini saja. Ketika ketiga remaja berisik itu tengah berdebat, mata Merri tertuju kepada Arinda yang lebih banyak diam dari tadi, sangat kontras dengan ketiga temannya.
“Kosong!” ucap Merri tiba-tiba, ia menatap Arinda yang membuat Arinda menoleh kepadanya. Entah kenapa Arinda terpanggil saat Merri berseru.
“Kosong? Apanya yang kosong?” tanya Karin.
Merri menutup mulutnya. Dia kembali menundukkan kepala dan memperhatikan mangkok baksonya yang mengering.
“Jadi apa yang kosong?”tanya Fitri dan Karin juga penasaran.
“Noh, mangkoknya kosong.” Tunjuk Tito ke mangkok Merri.
“Gua benar-benar iri dengan perut lo, anak baru!” gumam Karin.
Arinda hanya menggeleng, kemudian ia melanjutkan makan siangnya yang tidak berselera. Masalah semalam masih berkutat di otaknya.
.
.
.
Jam pelajaran hari itu berakhir dengan cepat, tapi tidak bagi Arinda. Ia merasa agak risih dengan kehadiran Merri di sampingnya. Bukan seperti anak-anak kelas pada umumnya. Merri lebih terkesan pendiam dan agak menakutkan. Diamnya Merri seperti diam orang mati. Dia hanya duduk, menunduk, sesekali memegangi kalungnya dan kemudian berbisik sendiri.
Mungkin itu hanya kesan pertama. Arinda berusaha meyakinkan itu.
“Anak itu aneh tau!” ucap Tito yang buka suara. Sembari menyetir mobil, Tito ternyata memikirkan hal yang
sama.
“Maksud lo?”tanya Karin yang duduk di belakang Tito penasaran. “Makannya memang banyak sih, tapi badannya ga gendut sama sekali, lemes, kurus, ceking, tidak berdaya. Sumpah gua ga suka tipe yang seperti itu.” Karin malah ngomel tidak jelas.
“Ada hal lain selain makan.” Potong Tito. Arinda menoleh ke Tito, ia penasaran.
“Seharian tadi gua perhatiin dia. Si Merri itu. Dia ga pernah perhatiin guru, nunduk aja. Dia ketiduran ya?” tanya Tito kemudian.
“Dia ga tidur.” Jawab Arinda. “Dia cuma megangi kalungnya sambil ngomong sendiri.” Jelas Arinda. “Bisa jadi itu kalung ibunya, atau pemberian dari orang yang dia sayang. Trus orang itu tiba-tiba pergi, dan dia masih sedih.”Arinda melihat keluar kaca mobil.
“Tapi bagaimanapun dia aneh sih, dia ga mau salaman sama aku.” Fitri angkat suara.
“Yang jelas makannya ga normal.” Karin masih kesal.
“Kakinya putih pucat.” Tambah Tito.
Otomatis semua batang leher langsung berputar.Ekspresi aneh sekaligus jijik terpasang di wajah Arinda, Karin dan Fitri.
“Lu liat kaki cewe?” tanya Fitri,
“Ga sopan banget!!” Fitri mengomeli Tito.
“Otak mesum, tetap aja otak mesum. Gigolo...!!!” ledek Karin. Mereka mulai ribut kembali.
Arinda geleng-geleng kepala dengan kegesrekan Tito yang kadang di luar nalar. Ia memilih menyandarkan badannya dan membiarkan dirinya terlelap di dalam mobil yang penuh kebisingan ini. Setidaknya suara teman-temannya lebih enak di dengar di bandingkan perdebatan antara ayah dan ibunya yang selalu terjadi tiap malam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments
atmaranii
klo Dy brsikap bgtu mlh mngundNg prhatian...n lbh trksan aneh...knp GK brsikap normal aj
2021-10-26
1
Atok Adryan
ini anak asking indigonya sampe anti social loh.. ngerihh bngt dah...
2021-01-20
1
Atok Adryan
halaman yg ini bkannya nyeremin tapi lama2 ngeselin bkin emosi tau nggk.. soalnya knapa gitu si merri gak yg tingkahnya biasa2 aja gak perlu canggung atau sampai khwatir sampai segitunya jga.. ini anak mikirnya gimana sih...
2021-01-20
1