Arinda meletakkan tasnya diatas bangku. Masih lengang dan pagi. Belum ada seorang pun yang datang. Ia sengaja datang lebih awal. Duduk di bangkunya sendirian. Ia menganggap ini terapi yang paling jitu. Duduk diam, tidak melakukan apa-apa. Hanya alunan musik yang mengisi keheningan dari walkmannya. Lagu-lagu pop kesukaannya menjadi penghiburnya. Padahal ia bisa berangkat bersama dengan ibunya.
Di luar kelas, bunyi serak lantai yang tersapu juga menggema keseluruh ruangan. Pak Asep yang bertugas membersih lingkungan sekolah juga sibuk. Suara sapu lidinya membuat bangunan tua khas rumah sakit bekas peninggalan Belanda berasa lebih hidup. Kemudian, para ibu kantin juga menyuci gelas, piring dan mempersiapkan menu yang akan di banjiri murid sekolah seragam putih abu-abu ini nantinya.
Setelah itu, seorang remaja menapakkan kakinya untuk pertama kali di sekolah ini. Ia Merri. Langkahnya yang
tidak bertenaga, terkesan jika ia agak malas untuk berangkat kesekolah. Lingkungan ini masih begitu asing. Ya, karena ini adalah hari pertamanya. Karena tidak tau kelas mana yang akan ia tepati, gadis itu memilih duduk di salah satu bangku taman di depan ruang guru.
“Anak baru, nak?” tanya Pak Asep yang memperhatikan kecanggungan Merri.
Gadis berwajah pucat itu mengangguk.
“Tunggu aja disana, nanti guru bakalan datang. Lagian masih pagi Neng, cepat amat datangnya.” Ucap Pak Asep. Merri tidak merubris. Dia memilih diam dan kemudian mengambil buku bacaan di dalam tasnya. Merasa di abaikan Pak Asep terihat kesal.
“Anak zaman sekarang ga ada sopan-sopannya sama orang tua. Lagian ngapain pagi-pagi amat kesekolah?” gumam pak Asep.
Merri mendengarnya. Ia tetap tidak bergeming. Omongan itu lebih baik ia dapatkan, dari pada ia harus jujur
kepada bapak tua . Jika dari tadi sesosok hantu memperhatikannya dari jarak dekat. Sosok yang tidak jelas antara pria atau wanita. Sosok itu berambut panjang dengan wajah pucat. Bola matanya putih, berhidung panjang dan senyum lebar. Sekilas mirip nenek lampir.
Tidak mungkin ia harus menjelaskan hal itu lagi, yang ada kejadian di sekolah lama terulang lagi dan Ia di anggap bocah aneh pembawa sial.
.
.
.
Satu persatu para siswa mulai berdatangan. Begitu juga dengan kedua sahabat Arinda, yakni Karin dan Fitri. Bangku yang lengang dan dingin itu seketika hangat. Arinda memamerkan senyumnya kepada kedua temannya. Karin yang heboh dan Fitri yang kekanakan. Berbagai cerita seru entah apa topiknya membuat mereka tertawa.
Tak lama kemudian, Tito datang yang kemudian diiringi auman bel sekolah.
“To, lo pembawa sial banget sih!” ledek Karin.
“Ada apasih, pagi-pagi udah bikin ulah aja.” Tito ga paham.
“Maksudnya si jelek ini, bilang kalo lo datang sama persis sama bel masuk.” Jelas Fitri.
“Enak aja gue jelek.” Karin membantah, mencubit pipi Fitri.
Tito mengambil kertas dari laci bangkunya. Ia menggulung dan melempar ke arah Karin yang lagi menyubit
Fitri. Sasaran pertama meleset dan malah mengenai Arinda yang sibuk menggulung kabel headsetnya.
Arinda menoleh ke arah Tito dan memasang wajah tidak suka.
“Maaf, ga sengaja.” Ucapnya.
Kemudian Tito mencoba percobaan kedua, ia mengambil kertas yang ia gulung dengan ukuran lebih besar dari
sebelumnya. Kemudian dengan menentukan target yang sudah duduk anteng, Tito melayangkan tembakan.
Sekali lagi, sasaran itu meleset dan terlempar lebih jauh ke arah pintu kelas. Saat bersamaan, guru dan seorang
siswi masuk. Langkah pertama siswi berambut sebahu dan terihat kecil kurus. Meski kuyu dan pucat, ia melihat ada tanda bahaya sedang mengarah kepadanya. Dengan cekatan ia menangkap gulungan kertas yang bisa saja mengenai dahinya.
“Waw...!!!” Karin dan Fitri terkesima.
Arinda kembali menoleh ke belakang. Tito sedang dalam masalah akibat keisengannya.
“Sukarela saja, siapa pelakunya?” tanya Ibu Tatum, wali kelas mereka. Spontan semua mata menoleh kearah Tito, yang hanya memamerkan senyum kaku.
Tito membayar perbuatannya dengan berdiri disudut kelas. Bisa jadi hal ini akan berlansung selama dua jam pelajaran. Karin terlihat puas melihat Tito yang malang. Tapi kelas tetap lanjut. Perhatian mereka lebih tertarik kepada siswi baru di hadapannya.
“Mulai hari ini kalian akan menerima teman baru. Nak, coba perkenalkan dirimu.” Pinta bu Tatum.
Ia tertunduk dalam. Hal itu membuat seisi kelas penasaran dengannya. Arinda melihat tangannya yang tampak
gugup. Sedari tadi ia memegangi sesuatu yang menggantung di dadanya.
“Kurusan siapa? Gue apa dia?” tanya Karin yang terpaku dengan badan kecil siswi itu.
“Dia.” Bisik Fitri menoleh kearah Merri yang juga sedang menatapnya lalu kemudian menunduk.
“Berarti gue harus lebih ketat lagi dietnya.” Gumam Karin.
Bu Tatum memperhatikan siswi baru tersebut.. Ia belum bersuara, ia hanya diam. Semua siswa di depannya juga menunggu. Tito yang berdiri di sudut kelas juga memperhatikannya.
“Nak?” tanya guru yang cukup berumur dan cukup di takuti oleh warga sekolah.
“Hmm... nama saya Merri Anggraini. Pindahan dari Bandung.” Suara itu keluar, meski kecil dan nyaris hampir tidak bisa di tangkap seluruh kelas.
“Akhirnya ngomong juga.” Sambut Bu Tatum. Merri menoleh ke arah bu Tatum, ia memperhatikan wajah guru galak itu di sudut matanya.
Memang tidak sopan, tapi Bu Tatum memaklumkannya karena ini baru hari pertama siswa ini masuk.
“Merri, kamu duduk di samping Arinda.”
Arinda mengambil ranselnya yang ia letakkan di bangku yang hampir sebulan ini kosong. Merri yang terihat canggungpun segera berjalan kearah yang di maksud. Ia merasa tidak nyaman. Semua terihat asing, begitu
juga dengan orang-orangnya. Bahkan ia merasa tidak enak saat di tatap dengan wajah ketus oleh dua siswi yang duduk di depan bangkunya. Siapa lagi kalau bukan Karin dan Fitri.
Karin mengacungkan tangannya ke atas. “Nanti kalau Mikha udah masuk lagi, dia duduk dimana, Bu?” tanya Karin.
“Nanti kita pikirkan. Saat ini fokus dengan mata pelajaran saya.” Bu Tatum menguasai kelasnya. “Buka buku paket kalian, kita masuk mata pelajaran baru, minggu depan kita lansung ulangan harian.” Jelas Bu Tatum dengan suara lantangnya.
Seisi kelas terlihat kecewa. Tapi untuk urusan pelajaran, Bu Tatum tetap dengan pendiriannya.
Arinda mengikuti perintah Bu Tatum. Ia mengambil buku paket bertuliskan Fisika kelas dua SMA. Saat mulai
membuka halaman yang dimaksud, ia melihat teman sebangkunya yang masih terduduk. Merri hanya menundukkan kepala. Sekali lagi ia memegangi liontinnya.
“Mau berdua?” agak ragu, tapi Arinda menawarkan bukunya. Merri yang sedikit kaget, memperhatikan wajah teman sebangkunya. Meski masih canggung, ia menerima niat baik Arinda. Setidaknya ia bisa mengalihkan rasa takutnya dari sosok yang sejak pagi yang terus mengikutinya. Yang saat ini memperhatikannya dari jendela.
Terimkasih udah mampir di PESTA JAILANKUNG. Jangan lupa tinggalkan jejak dengan like, vote dan komennya. Agar Arinda dan kawan-kawan makin eksis di sini :>
salam sayang author
roar
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments
Elly Arsida Lubis
aq suka ceritanya
2021-05-24
0
Dendi Kurniawan Vlog
kalau aku sudah terbiasa bahkan aku sering berkomunikasi dengan mereka yang tak kasat mata,sekedar mencurahkan isi hati ku atau cerita cerita doang..... makanya kadang aku senang kalau ada org kesurupan,karna si makhluk itu aku suruh keluar dan kuajak cerita
2021-03-14
0
Sopia Wati
kayaknya ceritanya seru nih 😮
2021-01-26
0