Pesta Jailangkung
JAKARTA, 2000
Arinda Khaira Lubis, putri satu-satunya keluarga lubis. Keluarga terhormat dan terpandang. Keluarga yang mengendepankan pendidikan. Hal itu terlihat jelas dari beberapa foto keluarga yang terpajang di rumah luas dan asri itu.
Wajah Ajar lubis, kepala keluarga di rumah ini yang selalu tersenyum lebar. Wajah bulat besar yang sangat gagah itu paling mendominasi dinding keluarga di rumah ini. Foto kelulusan paska sarjana hingga gelar doktor yang baru ia peroleh terlihat sangat membanggakan bagi siapapun yang melihatnya. Disana ia juga memampang beberapa penghargaan sebagai dosen di sebuah universitas.
Pemandangan indah itu juga sebanding dengan wajah Lira lubis. Wanita anggun dengan wajah
cantik khas seorang ibu. Ya, dia ibu dari Arinda dan juga ibu kepala sekolah di sekolah Arinda, SMA Kasanova. Sebuah SMA yang hanya menerima siswa dengan nilai terbaik dan berprestasi. Selain itu, wanita kepala empat puluhan ini juga aktif dalam kegiatan sosial lainnya.
Keberhasilan mereka yang terpampang dinding rumah itu semakin terlihat sempurna dengan sederet foto Arinda. Putri bungsu mereka. Wajah lucu saat masih bayi, senyum menggemaskan saat masih kanak-kanak. Gadis periang dan cerdas saat memasuki usia sekolah dan di usia hendak tujuh belas tahun, wajah itu bermetamorfosis semakin indah. Arinda dikaruniai kecantikan dari ibunya dan kecerdasan kedua orang tuanya.
“Arinda...!”
Rambut panjang bewarna hitam itu berayun cantik saat kepalanya yang bulat oval menoleh kearah suara. Pantulan wajahnya di cermin memperlihatkan wajah ayu khas dari ibu Lira dengan senyum secerah Bapak Ajar Lubis. Arinda memang cantik. Ditambah dagu lancip, hidung mancung dan sepasang mata almond.
“Ya Bunda?” sahutnya dengan suara lembut lagi sopan.
“Ayo buruan?” ajak bu Lira.
Gadis itu bergegas. Merapikan pakaiannya dan poni yang menutup dahinya. Saat gadis itu keluar dari kamarnya, para tamu menatapnya. Menyapanya bahkan mengajaknya mengobrol. Walau bukan siapa-siapa, dia terbiasa akan perlakukan istimewa itu. Terlebih, hari ini acara pesta pernikahan ibunya yang kedua puluh. Kediaman mereka akan
sangat banyak di hadiri oleh tamu-tamu yang seumuran dengan kedua orang tuanya.
“Arinda, kamu mau bergabung dengan agensi tante. Sekarang lagi ada pemilihan cover girl...” tawaran dari Tante Lasmi, seorang direktur majalah ternama menawarinya. Dan itu bukan untuk pertama kalinya.
Arinda hanya mendengar sampai suara ibunya kembali memanggil namanya. “Arinda!”
“Maaf tante, Bunda manggil.” pamit Arinda.
“Kamu pegang ini, siapa tau butuh.” Lasmi menyelipkan satu kartu nama miliknya. Arinda terlihat ragu.. “Gapapa, buat curhat sama tante aja.”
“Arinda!” Lira mendekati mereka.
Lasmi semakin gencar memberikan kartu namanya. Ia pun dengan segera mengambil kartu nama itu dan menyimpannya dalam saku gaunnya. Mereka berdua sama-sama tidak ingin Lira mengetahui transaksi itu.
“Arinda, ayo!” Lira melihat ke Lasmi. Dia agak cemas. Ia segera menggandeng tangan putrinya. Remaja yang itu langsung mengekori sang ibu. Ia menoleh ke arah Lasmi dan merasa tidak enak.
“Bunda, jangan terlalu kencang. Sakit.” Keluh Arinda pelan. Saking pelannya, hanya mereka berdua yang mendengar.
“Dia tidak mengajak kamu kan?” tanya Lira dengan nada yang sama dengan Arinda.
Tidak ada jawaban.
“Pokoknya Bunda tidak mau kamu terlibat dengan Lasmi. Bunda tidak mau kamu jadi model.” Jelas Lira sedikit kesal. “Paham!!”
“Iya!” angguk Arinda.
“Bagus kalo paham.” Lira melepas gandengannya. Lengan Arinda akhirnya merasa lega.
“Arin...!!!” Ajar memeluk putrinya.
“Selamat ulang tahun pernikahan ke dua puluh Ayah!” Arinda membalas pelukan sang ayah.
“Sama-sama kesayanganku.” Ajar terlihat sangat bahagia.
Kata sambutan pun di mulai. Ajar membuka suara. Ia di usia empat puluh akhir, dengan istri yang cantik dan pintar dan putrinya yang cantik, Ajar memberi sambutan ulang tahun pernikahannya yang kedua puluh ini adalah momen yang telah ia tunggu-tunggu.
“Ada begitu banyak hal yang kami hadapi. Tidak ada yang mulus. Jalan yang berliku-liku, terjal dan berkerikil pun juga kami hadapi. Tidak ada istilah, kalau kami selalu hidup damai. Tidak! Kami juga mengalaminya. Bertengkar? Jangan salah, Lira lawan debat yang sangat tangguh. “
Tamu undangan tertawa mendengarnya.
“Tapi itu bagian dari komunikasi kami. Dalam sebuah hubungan pernikahan di usia yang semakin tua ini hanya satu kuncinya, komunikasi.” Ajar menutup kata sambutannya. para tamu bertepuk tangan dan berseru untuk pasangan yang tidak muda itu.
Di tengah acara para orang tua itu, Arinda akhirnya menemukan tamu yang sepantaran dengannya. Dia Tito, anak tetangga sekaligus teman sejak kecil. Saat ini pria berbadan bantet, berkaca mata itu tengah sibuk memilih makanan.
“Lu hadir juga?” tanya Arinda menghampirinya.
“Di suruh nyokap!” jawab Tito datar. “Kata nyokap, dia lagi malas masak, jadi gua inisiatif aja kesini cari makanan.”
“Hmm pantes!” Arinda hanya mengangguk mendengar pengakuan sahabatnya. “Ambil makanan yang banyak, trus bawa ke atas.” Perintah Arinda.
“Ide bagus!” seru Tito. “Gue ga tahan suara tawa mak-mak. Berisik!” keluhnya yang menatap gerombolan mak-mak yang ada di setiap penjuru ruangan. “Kuntilanak aja minder kalau dengar mereka.”
“Hahaha.. makanya.” Ujar Arinda. “Gue bakal telfon Karin sama Fitri.” Ia langsung mengeluarkan hp lipatnya dan menekan nomor yang bertulis Karin.
“Baru tuh hp? Gamenya pasti bukan cacing cari telor lagi ya? ” puji Tito melihat ponsel milik Arinda.
Arinda hanya tersenyum mengangkat bahu. “hahaha.... Ntar gue pinjam buat main game.”
“Bagus!!”
.
.
.
Bak sebuah titah, tak lama setelah panggilan tersebut dua gadis remaja bernama Karin dan Fitri pun datang. Fitri yang mengenakan baju tidur memasang wajah tidak terima. Gadis berkaca mata dan berbadan gempal itu protes karena salah kostum.
“Kenapa lo ga bilang di bawah ada jamuan makan-makan orang tua?” keluh Fitri yang datang paling terakhir.
“Hahaha.. sorry darling, gua juga ga tau kalo lo pake baju sesantai ini.” Arinda mengelus rambut Fitri.
Fitri masih memasang wajah kesal. “Hampir aja gua di suruh jagain bocah, dikira gua *baby sitter *kali.”
“Mirip, kok. Ntar acara kelar lu cuci piring di bawah.” Jelas Tito yang rebahan di lantai kamar sambil baca sebuah majalah.
“Kurang ajar, mulut tolong di jagain ya!”
“Haha... udah jangan berantem!!” Arinda tertawa melihat tingkah teman-temannya. Memang, ia akan bersikap agak berbeda. Bersama dengan teman-temannya, Arinda merasa bebas mengekspresikan dirinya.
Lalu satu temannya, Karin. Gadis dengan tampilan swag, jaket denim dengan celana denim pendek, ia juga mengenakan riasan mata hitam agar terkesan keren seperti Avril lavigne, idola Karin. Ia terus menatap kearah jendela kamar. Disana ia di bawa kepada pemandangan taman halaman belakang rumah Arinda yang telah di dekor untuk acara malam ini. Ia dengan mata kucingnya terus mengamati tingkah para tamu yang pada umumnya sepantaran dengan orang tuanya.
“Lo ngapain?”tanya Arinda menghampiri Karin. Ia memberikan segelas jus air jeruk dingin.
“Gua lagi ngincar orang.” Jawab Karin pendek.
“Apa?” Arinda melihat ke bawah. “Hanya orang-orang tua.”
“Diantara orang tua ini ada duda kaya tapi ga punya anak ga sih?” tanya Karin.
“Eh.. eh... Mau nagapain lu?” tanya Tito yang segera bangkit dari rebahannya.
“Mau jadiin pacar lah!” seru Karin tanpa beban.
“Emang anak gila lu, sinting. Masa jalan sama om-om?” ledek Tito.
“Ihh jijik gua dengarnya!?” Fitri menutup kedua daun telinganya.
“Kenapa sih, norak amat lu berdua. Ini udah tahun 2000, tahun milenials. Bukan hal tabu lagi cinta beda usia. Awalnya gua mikir mau cinta beda agama aja.” Jelas Karin.
“Masalah nya lo bukan cari pacar. Lo mau porotin duit doang kali.” Tuduh Arinda menahan tawanya. Dia tau Karin pasti hanya bercanda.
“Ya iyalah. Bakal laki janganlah. Gua ga mau jadi janda muda.” Jelas Karin.
“Lu sinting!” seru Tito. “Eh sapa tau lo yang mati duluan, soalnya dari awa lo di pacarin buat jadi tumbal biar si duda tetap kaya.” Ledek Tito. Ia mengangkat majalah misteri. Ia memamerkan artikel yang berjudul “TUMBAL ISTRI DAN ANAK AGAR TETAP KAYA.”
“Ih.. amit-amit, lu aja kali, gua ogah makan duit setan!!” balas Karin.
“Aduuhhh aku ga mau dengar masalah hantu-hantuan! Lagian lu dapat majalah gitu dari mana ciih, Tong” Desak Fitri.
“Tuh, mak lampir, dia bawa ginian tadi.” Tito menunjuk Karin yang malah memamerkan senyum bangga.
“Wajah kota, tampilan keren, tapi otak terbelakangan.” Omel Fitri, dia memang tidak suka jika Karin sudah mulai dengan hobi berbau misteri.
“Karin, kurang-kurangin deh, gua juga ga suka hantu-hantuan ada di kamar gue ya?” Arinda juga keberatan.
“Tapi ada yang seru tau, disini di tulis satu artikel.” Karin mengambil kembali majalah yang di pegang Tito. Tangannya cekatan membuka satu halaman, “Pesta Jailangkung di malam tahun baru.” Ia membaca judul artikel yang bercetak tebal.
“Maksud lo?” tanya ketiga temannya.
Karin duduk menyilangkan kakinya di atas kasur. Tangannya memamerkan isi artikel itu ke teman-temannya.
“Malam pergantian tahun baru tiga bulan yang lalu, ada lima remaja merayakan dengan main pemanggilan arwah dengan boneka yang mereka sebut malam Jailangkung.”jelas Karin.
“Disini, boneka yang mereka pakai, boneka barbie adiknya, tapi di dalam badan boneka sudah diisi sajen, seperti bunga melati, kuku, rambut dan darah. Di bandingkan boneka jelangkung yang sesungguhnya, ternyata cara ini lebih ampuh. Bahkan satu diantara mereka bisa berinteraksi dengan anggota keluarganya yang telah mati.” Jelas Karin.
Arinda menelan ludah. Ia merinding mendengar cerita Karin. Fitri merangkul tangan Arinda karena ia memang tidak tahan dengan cerita horor.
“Tapi tuh boneka barbie nya pake baju ga sih?” Tanya Tito yang membuat ketiga remaja menatapnya tajam.
“Bu Liraaaa... si Tito otaknya mesum... keluarin aja dari sekolah buuuu....!!” teriak Fitri dan Karin. Suasana kembali kacau seperti semula.
"Kok nuduh gua yang gak gak sih? kan nanya doang?" Tito membela dirinya.
"Ihh ogah temanan sama pria hidung belang kek dia. Rin, usir dia dari sini." Fitri kembali kesel.
"Woo doraemon!" ledek Tito balik.
"Jangan kasih kendor Fit, enak aja lo di panggil doraemon, masa putri tunggal juragan jengkol yang kecantikannya setara Marimar di bilang Doraemon, gua mah sakit hati." adu Karin
"Siapa-siapa, Marimar? Ga salah denger nih gue?!" ledek Tito.
"Hahaha...!" Arinda hanya tertawa melihat tingkah temannya.
"Nda, jangan tertawa aja, belain apa..Nda...!" keluh Fitri.
"Iya... Iya... Maaf... Gue ngakak sama Marimar..." tawa Arinda.
"Iiihhh...!!!" Fitri hanya mendegus kesel.
Mereka bertiga hanya tertawa melepas lelah hari ini. Dan mereka sudah lama tidak tertawa lepas.
"Eh..." tiba-tiba Karin membuat mereka kembali terdiam. "Gimana kalau kita main Jailangkung, buat ketemu sama Mikha."
Ide Karin membuat mereka terdiam. Ide gila dan tidak masuk akal ini pasti ditolak oleh ketiga sahabatnya. Tapi sebelum terjawab, pintu kamar Arinda terbuka. Ibu Lira berdiri diambang pintu itu.
"Arinda..."
Semua yang ada di kamar langsung dalam posisi tegak. Bahkan Tito yang rebahan bisa lompat berdiri dengan kecepatan angin.
"Malam ibu." sapa mereka dengan kikuk, canggung dan sangat hati-hati.
"Oh kalian datang?" sapa ibu Lira sopan.
"I iya b bu."
Ibu Lira mengangguk ramah. Kemudian memanggil Arinda, "Ayo sapa tamu dibawah, mereka mau pulang."
"Haruskah?"
"Buruan!"
Arinda hanya mendesu, dia sangat lelah bertemu dengan tamu-tamu yang bukan tamunya. Dia memberi aba-aba kepada temannya agar tetap disini.
"Kalian juga, sudah malam, kalian pulang juga ya." ucap ibu Lira yang auto dipatuhi oleh ketiga remeja ini.
.
.
.
.
Malam menjelang, para tamu undangan telah membubarkan diri. Pakaian yang terlihat elegan itu telah di tanggalkan. Begitu juga dengan nilai keserasian dan keharmonisannya.
Sudut rumah yang berisi gelak tawa sedari sore itupun juga sudah hampa. Penghuninya sibuk dengan dunia mereka. Dengan pikiran mereka. Arinda memasang wajah kuyu, lelah tertawa bersama teman-temannya. Suaranya serak dan tenggorokannya kering. Segelas air mineral dingin, itulah yang ada dibenaknya.
Ia melangkahkan kaki jenjang itu ke dapur. Mengambil gelas dan menuangkan sebotol air dingin di kulkas.
Saat itu hening. Sangat hening. Tidak ada suara. Setidaknya ia merasa lega jika malam ini tidak akan mendengar keributan. Tapi suasana damai ini dalam hitungan menit akan hilang. Karena, tidak ada rahasia yang bisa disimpan dengan sempurna, terlebih lagi di dalam rumah.
“Saya tau, mahasiswi itu datang!” samar, tapi pasti. Malam ini Lira yang membuka suara. Memang bukan di depannya, pasti di kamar kedua orang tuanya.
“Kenapa? Dia hanya menghormati saya sebagai dosen. Kamu selalu berlebihan.” Itu suara Ajar yang tidak bisa menerima tuduhan itu.
“Alah... ngaku saja.”
“Lira, jangan mulai lagi. Saya capek berdebat.”
“Tapi suara kamu tetap saja tinggi. Jangan coba-coba berkilah dari saya.” Ibunya tidak mau diam. “Dua puluh tahun apanya. Tidak ada yang bagus dalam dua puluh tahun ini. semuanya berantakan.” Lira mengamuk. Arinda hafal kemana ujung dari pertikaian ini.
“Jangan bahas itu lagi!” Ajar terdengar semakin kesal.
Arinda segera meninggalkan dapur untuk menuju kamarnya. Suara pertikaian itu semakin jelas tertangkap di daun telinganya. Saat hendak meniti anak tangga pertama pintu kamar kedua orang tuanya terbuka.
“Ya, aku akan tetap ingat. Ibu mana yang tidak sakit melihat putrinya meninggal begitu saja. Itu karena dia tau ayahnya orang yang brengsek.”
“Tapi dia tidak akan mati jika tidak memiliki ibu yang egois. Dia mati karena kau Lira. Bukan saya!!!” Ajar terlihat geram. Wajahnya memerah dan menyeramkan. Emosi itu langsung reda saat sadar Arinda berada di dekat dengan pintu kamar.
Arinda tertunduk. Dia muak dan bosan tapi tak ada upaya untuk bertindak. Pembicaraan yang sama, emosi yang sama dan akhir yang sama. Ia berlari meniti anak tangga.
Dikejar kah? Tidak. Kedua orang tuanya sudah sering seperti itu. Mereka berharap Arinda bisa bersikap bijak dengan kondisi kedua orang tuanya yang diambang krisis keharmonisan. ~~~~
BERSAMBUNG...
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments
atmaranii
crtanya mnarik ...tulisan n bhsa jg ok
2021-10-26
1
author killua
gk serem
2021-08-26
1
MiRa HeMi
Dari awal baca aja udah seruuuuu
2021-04-23
0