Malam menjelang, menjadi raja di
dunia kegelapan. Ia menitih singgahsana sang surya yang akan mucul di saat
Fajar menjemput. Pada saat ini lah, semua jiwa mulai lelah dan memilih untuk
tidur. Melepaskan rasa penat agar besok bisa kembali beraktifitas seperti
biasanya. Namun, disisi lain, beberapa jiwa mulai terjaga, mereka mengeluarkan
taring untuk siap memangsa. Tentu tidak akan ada kisah manusia Srigala dan juga
Drakula yang haus akan darah. Yang ada, manusia yang haus akan nafsu dunia dan
dendam yang menumpuk di hati paling dalam. Dengan sikap angkuh dan tamak seseorang, di
pastikan malam ini akan ada satu nyawa manusia lagi yang akan di pertaruhkan.
Seperti di kediaman rumah besar
dengan bangunan tua yang terlihat sepi. Kusuma kedatangan tamu yang sama sekali
tidak ia inginkan.
“Kusuma, maafkan saya bertamu
malam-malam.” Ia memasang wajah agak menyesal. Kusuma tau, itu hanyalah basa
basi belaka.
“Lansung saja ke inti, kali ini
maumu apa?” tanya wanita kepala empat dengan penampilan yang tidak biasa. Di
era dua ribu, ia masih setia mengenakan kebaya dengan atribut konde yang
menempel di kepalanya. Sebuah kesan yang menunjukkan jika dia memang wanita
yang tidak sembarangan.
“Kamu tau saja maksud dan
kedatangan saya. Ini yang saya suka darimu, Kusuma.” Pria itu tertawa terbahak-bahak.
Kusuma tidak bergeming, wajahnya tetap tegas dan keras. Pria itu menghentikan
tawanya dan kemudian memasang wajah jahat.
“Haha...Saya ingin dia dan usahanya
hancur. Saya tidak suka ada pengganggu seperti dia.” Pria itu menyerahkan
selembar foto yang di belakangnya bertuliskan nama dan sebuah alamat.
“Tawaran apapun tidak bisa aku
tolak.” Jawab Kusuma. “Tapi, semua tindakan jahat ataupun baik memiliki
ganjaran yang setimpal.” Lanjutnya.
“Hahaha...!!” Pria itu tertawa,
dia paham apa maksud dan arah pembicaraan Kusuma. “Saya sudah siapkan.” Dia
memberi sebuah amplop yang berisikan sejumlah uang. “Cukup?” tanyanya.
“Bukan masalah uang.” Kusuma
kembali menegaskan. Pria tersebut terlihat bingung.
“Apa ini belum cukup? Atau perlukah
saya memberimu selembar cek kosong?”
Kusuma menggeleng. “Kali ini bukan
uang, melainkan hal lain. Sasaranmu yang sekarang cukup besar. Dia tidak
gampang di rubuhkan. Dia memiliki apa yang kau miliki juga. Dia memiliki
penjaga yang sama kuatnya denganmu. Jadi kau butuh pengorbanan yang cukup besar
agar penjagamu bisa lebih kuat darinya.” Jelas kusuma tegas.
“Apapun, akan aku terima
resikonya. Aku bukanlah orang yang bisa ditandingi. BIKIN DIA MENDERITA
KUSUMAAAAAA....!!” pria itu tertawa dan marah disaat bersamaan. Wajahnya terlihat
menyeramkan dengan gelak tawa yang menggema di tengah ruangan.
Sekali lagi, Kusuma tidak
bergeming. “Tidak ada kebahagiaan dari manusia serakah, kau akan mendapat apa yang
kau inginkan, dan kau akan kehilangan satu yang telah kau sia-siakan. Seperti
malam ini, kau tertawa dan marah di waktu bersamaan. Kemudian besok kau akan
menang sekaligus bersedih di waktu yang sama pula.”
“LAKUKAN SAJA KUSUMA, SAYA TIDAK
PEDULI DENGAN CERAMAHMU... TUNJUKAN KEAJAIBANMU. MENOLAK KAU AKAN MENDERITA.
ITULAH PERJANJIANMU DENGAN MEREKAKAN??” dia menekan Kusuma.
“Perintahmu tidak akan mampu aku
tolak.” Jawab Kusuma dengan wajah tanpa emosi.
Pertemuan itu berakhir. Pria itu
pergi meninggalkan ruangan tersebut. Kusuma yang mendapat titah lansung menuju
sebuah ruangan yang tersembunyi. Ia mengambil satu wadah yang terbuat dari
aluminium kuning. Wadah tua dan tampaknya sering di pakai, sebab terlihat agak kusam.
Diatasnya telah tersedia beberapa bahan ramuan, seperti bunga dan daun-daun
hijau, akar-akar serabut, seutas benang berwarna hitam yang terlihat seperti
rambut, matak katak, dan bunga melati.
Wadah itu ia bawa kesebuah
ruangan, dimana ia harus menuruni anak tangga. Tempatnya agak tersembunyi dan
terpisah jauh dari halaman belakang rumah. Kusuma harus melewati kolam renang
yang sudah lama tidak diisi air. Ia harus melewati kebun bunga yang lebih
terlihat sekelompok semak belukar. Lalu kemudian masuk kesebuah rumah mungil
yang sepertinya berguna sebagai dapur tungku. Di dapur itulah, ia melewati satu
pintu yang mengarahkannya kepada sebuah tangga yang akan membawanya kepada
ruang bawah tanah. Ia meniti satu persatu tanpa merasa takut. Bahkan ia
bersenandung membiarkan tubuhnya tenggelam dalam kegelapan.
“Nana...nana...nanana...”
Angin membawa irama dari sandungan
khas sinden Jawa. Membiarkan suara itu bergema dan menguasai malam itu. semakin
jauh ia melangkah, semakin gelap tempat itu, maka angin pun semakin kencang
berhembus. Menggoncangkan ranting pohon sekitar rumahnya. Anehnya, suasana
angin ribut itu hanya terjadi di rumahnya saja. Seolah menggambarkan jika itu
bukan angin sembarangan.
Akhirnya kakinya menapaki anak
tangga terakhir. Pintu kayu yang disegel itu ia buka. Gelap itu pun berganti
dengan cahaya kuning kemerahan. Warna dari lampu yang telah menyala di ruangan
tersebut. Bukan ruangan yang besar. Hanya ukuran kecil, ukuran tiga kali empat
meter. Tanpa jendela, hanya fentilasi. Di bawahnya tergantung kepala bangkai
rusa yang telah di awetkan. Kepala kambing jantan, topeng-topeng dengan
berbagai ekspresi dan juga rangda.
Selebihnya benda-benda tua yang tidak bisa di pahami apa dan fungsinya.
Di tengah ruangan itu terdapat
meja kayu beralas terpal merah yang setiap ujung juntainya terukir motif
beraksara sangserkerta. Diatasnya juga terdapat beberapa piring dan wajan
bewarna kuning perak. Didalamnya ada berbagai ramuan. Bahkan disana kita bisa
melihat ada sisa kepala tikus dengan badannya entah tau dimana.
Kusuma bersenandung panjang.
Membuat ruangan itu seakan panggungnya. Lampu berkelap-kelip, lilin yang padam
bergoyang yang lambat laut menyalakan lilin diatasnya. Kusuma duduk dibelakang
meja kayunya, lagu pun berakhir saat ia mendaratkan pantatnya di atas karpet
bewarna merah dan hijau.
Pintu kayu yang terhubung dengan
dimensi lain itu berguncang. Kusuma menarik nafas dalam. Ia tau, undangannya
telah tersampaikan. Dia (kau tidak akan tau siapa) datang. Pintu kayu terbuka
pelan, lalu kemudian tertutup. Kusuma menundukkan kepalanya, ia memberi salam
hormat kepada tamunya.
“Padamu kupersembahkan anggur yang
lebih merah dari buah saga, wangi dan juga manis. Teguklah persembahan dari
anak cucumu, dan biarkan kami melihat kebijaksanaanmu.” Kusuma bersujud. Batang
hidungnnya menyentuh karpet dan ia membiarkan dirinya seperti itu untuk sesaat.
Terlihat jelas, jika Kusuma sangat menghormatinya. Tapi siapakah dia, Kusuma sendiri tidak pernah
melihatnya lansung.
Sosok itu mengenakan pakaian
putih, ada rambut panjang bewarna putih perak yang sangat panjang. Saking panjangnya,
rambut itu menjuntai hingga ke lantai. Aromanya khas melati. Ia memiliki bentuk
kaki yang mirip seperti kaki kuda. Kadang ia juga memperlihatkan jari-jari
kakinya layaknya manusia. Namun sejak awal di perkenalkan dengan sosok
tersebut, Kusuma disuruh untuk tidak menatap wajahnya, begitulah ibunya
mengingatkannya.
Yang jelas, setiap makhluk itu
hadir, angin bertiup lebih kencang dari sebelumnya. Seolah ada yang lewat dan
terbang, pintu itu kembali terbuka pelan dan tertutup dengan kencang.
Dalam diamnya, Kusuma mulai
berkeringat dingin. Darah mengalir dari hidungnya itu tanda pesannya telah
tersampaikan dan keinginannya akan segera di kabulkan. Kemudian lilin memadam
kan apinya, dan ruangan hening seperti semula. Kusuma bangkit dengan darah
mengalir dari hidung dan juga air mata kesedihan. Ia tau, ini adalah tugas yang
tidak ia inginkan namun tidak bisa ia tolak. Itulah kelemahan dari ilmu yang ia
peroleh dari keluarga ibunya.
.
.
.
.
Angin semakin bertiup kencang. Menggoyangkan
ranting pohon jambu yang tumbuh tinggi di pekarangan rumah besar itu. Saking kencangnya,
ranting itu memukul jendela kamar yang berada di lantai dua rumah tersebut.
Merri yang belum sepenuhnya
tertidur pulas, setiap saat mencoba memejamkan mata dan mengubah posisi
tidurnya. Ia mencoba menarik selimutnya hingga menutupi lehernya. Tapi entah
siapa yang usil. Selimut itu di tarik. Merri mencoba menarik kembali selimut
tersebut. Ia ingin tidur malam ini. Ia tidak mau di ganggu. Tapi sekali
lagi, selimutnya di tarik kencang hingga
jatuh ke lantai kamarnya.
“HAH!!!” Merri terbangun dalam
keadaan kaget. Ia segera duduk dan melihat sekitar. Senyap, sepi. Tidak ada
siapa-siapa.
Tuk Tuk Tuk...
Jendela kamarnya di ketuk oleh
jari yang panjang. Dalam keadaan takut Merri segera menyalakan lampu kamar. Ia
melihat kembali ke arah kaca jendela yang tertutup tirai putih. Bukan jari,
yang mengetuk itu ranting pohon jambu yang ada disamping rumahnya. Merri
bernafas lega. Ia menuruni ranjangnya untuk mengambil selimutnya. Saat tangan
kurus itu mengambil selimut, Merri merasa ada yang aneh. Jari-jari kurusnya sama
seklai tidak menarik selimut putih motif bintang itu. Bukan. Ada yang bangkit
dari balik selimut teresebut. Sosok itu berdiri dan tingginya melebihi tinggi
badan Merri.
Dalam keadaan kaget, sekaligus
takut, Merri menarik selimutnya. Kosong. Tidak ada satupun sosok atau
sejenisnya di balik selimutnya. Tapi ia melihat sepasang jejak kaki yang basah.
Apapun itu sesuatu telah berdiri disini. Badan kecilnya seketika gemetaran.
Merri mundur hingga ia telah
berada kembali di atas ranjangnya. Ia menutup wajah dan dua daun telinganya.
Saat itu lampu seketika padam. Cahaya tersisa hanya pantulan sinar rembulan
yang masuk kejendala. Tapi hal itu lah yang semakin menakutkan bagi Merri.
Terlebih saat tirai jendela bewarna putih itu menggulung dan kemudian
memanjang. Tirai yang tidak lebih dari dua meter itu seolah semakin memanjang.
Ujung-ujung tirai menyentuh lutut. Merri meronta.
“SUDAH PERGI!!!” erang Merri.
Tapi kain itu terus membelit
tubunya.
“Kalian mau apa? Jangan ganggu
saya!!!” teriak Merri lagi. Tapi sia-sia, tubuhnya terbugkus tirai dengan sempurna.
Kemudian satu sosok mendekati nya. Bibir hitam dengan taring tipis seperti hiu
itu berbisik dengan cepat.
“Merri...!!”ia memanggil nama
Merri dengan suara serak.
Bulu kuduk Merri merinding. “Per...pergi...
hiks!” Merri menangis.
“Hadapi kenyataan ini... terima
takdirmu.... hadapi kenyataan ini, terima takdirmu, hadapi kenyataan ini terima
takdirmu!!”
“Jangan lagi, jangan...!!!!” Merri
memohon dalam tangisnya.
“Hadapi kenyataan ini, ini
takdirmu. Hadapi kenyataan, ini takdirmu. Hadapi kenyataan, ini takdirmu. Ini
takdirmu. Ini takdirmu. Hadapi kenyataan. Ini takdirmu.” Suara itu semakin lama
semakin cepat dan bisiskan itu seoah tidak dilakukan oleh ia sendiri. Suara itu
saling bersahutan dan membuat Merri semakin tidak berdaya.
“TIDAAAAKKK!!!” Merri berteriak,
tidak tahan dengan bisikan-bisikan itu.
Tubuh kecilnya kembali meronta
agar lepas dari lilitan kain. Berhasil. Tangannya bebas dan ia menurunkan kain
yang menutup matanya. Namun sayangnya, satu pemandangan yang sangat mengerikan
telah menunggunya.
Satu sosok dengan empat mata
bewarna hitam, sosok itu berambut hitam panjang tak terurus. Sosok itu juga
memiliki hidung seperti ikan pari dan senyum lebar dengan bibir hitam. Ia tertawa
saat bertatapan lansung dengan gadis itu.
“GYAAAAAAAAAA!!!!” Merri berteriak
kencang. Disanalah makhluk itu semakin mendekati wajahnya dan memasuki sesuatu
yang tidak bisa di pahami oleh akal sehat manusia normal. Yang jelas, Merri
sekarang di bawah kendalinya, dengan membawanya kesebuah pemadangan yang jauh
dari rumah..
.
.
.
Pemandangan dimana Merri dapat berpijak di dalamnya. Dapat merasakan
ketakutan yang terjadi di dalamnya. Di lorong panjang putih itu, beberapa orang
berseragam putih tengah berlari, mereka panik. Bahkan mereka tidak peduli sudah
menabrak tubuh kecil yang hanya memakai baju tidur tanpa alas kaki. Seolah ada
suatu hal yang lebih genting saat ini.
Merri bingung. Ia mengusap air mata yang masih membasahi pipinya. Di tegah
ketakutan dan kebingungan itu, ia mencoba mencari jalan keluar. Namun langkah
kakinya malah mengantarkannya kepada ruang UGD. Saat ia mencoba mencari jalan
lain, lagi-lagi pemberhentian itu selalu berakhir di depan ruangan UGD. Seolah jalan
di rumah sakit ini bagaikan labirin yang berakhir disana.
Takut dan penasaran, Merri mencoba memasuki ruangan itu. Disana telah
berkumpul orang-orang dengan seragam putih yang barusan menabraknya. Mereka tengah
menghadapi seorang remaja yang tengah mengalami kejang. Wajah gadis itu
menegang. Ia melotot tanpa berkedip dan meringis. Menahan sakit.
“GYAaaaaa.....!!!!” tiba-tiba pasien itu berteriak. Menggeliat. Dokter
berusaha menahannya.
“Dok bagaimana ini? Semua organ vitalnya dalam keadaan stabil.” tanya
perawat. Mereka berusaha bersikap profesional meski mereka sadar hal ini di
luar akal dan logika.
“GYAAAAAAA!!!!” pasien itu
kembali meronta. Kali ini matanya yang bulat besar da sangat menakutkan melihat
ke arah Merri. Tangannya menunjuk Merri, “TOOOOOOLLOOONG......!!!!!”
“Berikan suntikan penenang!” perintah dokter. “Hanya itu yang bisa kita
lakukan sekarang.”
“GYAAAAAAAAKK!!!” pasien wanita yang mungkin seusia dengan Merry itu
kembali mengerang kessakitan. Matanya mendongak ke langit-langit.
Merri yang berdiri tepat di depan pintu UGD juga mengekori arah
pandangnya. “AAAAAAAAAA!!!!!” Merri menutup kedua mulutnya. Ia tidak bisa
menduga jika melihat pemandangan yang jauh lebih mengerikan.
Diatas gadis itu satu sosok wajah yang tidak kalak mengerikan tengah
berdiri didinding tepat dimana gadis itu tengah berbaring. Dia dengan wajah
lebar berkumis tebal, mata bula bewarna merah. Wajah itu mirip Harimau, tapi
dengan hidung botol seperti hidung ****, di bawahnya ada kumis tebal yang dihiasi
taring panjang dan tajam. Kumis itu tersambung dengan rambut gondrong. Lalu badannya
persis seperti kera. Kera dengan kuku-kuku yang panjang dan hitam. Jari-jari
itulah yang sedari tadi menarik rambut remaja tersebut yang kemudian dia
mengulumnya sambil sesekali menariknya.
Merri terduduk. Kakinya gemetar dahsyat. Ini pemandangan apa lagi?
mungkin itulah kata-kata yang terucap atas air matanya yang menetes.
“Ja.. ja..jangan lakukan...!!!” Merri memohon. Entah kepada siapa. Dia
hanya bicara kepada dirinya sendiri. Ia terlalu takut berhadapan dengan makhluk
itu lebih dekat lagi.
Saat bersamaan, si pasien semakin meronta. “GYAAAAAAAAA..... TIDAAAAKKKK...
GYAAAAAA!!!” dia meronta kesakitan, dia ketakutan. Tapi sayangnya tidak ada
yang bisa membantunya.
Senyum makhluk itu semakin melebar. Garis bibirnya menyentuh hingga ke
atas kepalanya, melebihi letak dua matanya yang berwarna merah.
“GYAAAAAAAaaaaaAAAAAAA.....!!!!” teriakan panjang itu mungkin akhir
dari penderitaannya di dunia.
“GYAAAAAAaaaaaaaaaaaaaaaAAAA...!!!” begitupun Merri yang tidak kuasa
melihat.
Tanpa ampun dan kasihan, makhluk itu menarik rambutnya dengan cepat dan
menyimpan jiwa remaja yang terpisah dari raga ke dalam mulutnya. Ia menyeringai
dan kemudian melihat ke arah Merri.
Merri yang sudah di makan rasa takut tidak tau harus berbuat apa-apa. Kakinya
tak kuasa untuk berdiri apalagi berlari. Sepanjang lorong itu ia merangkak
secepat mungkin. Saat dikira agak jauh, ia mencoba berdiri dan berlari secepat
ia bisa. Lorong rumah sakit itu semakin lama menyempit. Ia tidak peduli dengan
Kedua kaki telanjangnya. Ia terus berusaha meninggalkan tempat menakutkan itu.
Meski jauh, ia bisa melihat makhluk itu masih mematung dan memperhatikannya.
.
.
.
Pagi datang menjelang. Merri
terduduk di kamarnya. Matanya gelap. Setelah menerima pemandangan yang sangat
mengerikan itu, ia tidak berani memejamkan mata. Remaja itu, kemudian makhluk
itu masih tersimpan dengan jelas di benaknya.
“Bangun, saatnya berangkat
sekolah.” Ibunya masuk kekamarnya. Ia membuka jendela kamar Merri.
“Ibu masih menerimanya? Membunuh
orang?” tanya Merri.
Kusuma menoleh ke arah Merri. Ia tersadar,
anaknya dalam keadaan tidak baik-baik saja. Merri menangis dan kedua matanya
sembab karena itu.
“Kenapa ibu tidak bisa menolak
permintaan mereka?” tanya Merri lagi.
Kusuma mendekati wajah Merri yang
semakin pucat, ia memeluknya seraya berkata, “Maafkan ibu, Nak!”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments
Nova Shi
Ohhhh jadi setiap Kusuma menerima tamu, Merri yang kena imbasnya.
2021-01-10
4
Firchim04
Hai author semangat😊
Salam dari "Dosenku Sahabatku" dan "Suamiku Adik Kelasku"
2020-09-22
0