5 Kiriman

Malam menjelang, menjadi raja di

dunia kegelapan. Ia menitih singgahsana sang surya yang akan mucul di saat

Fajar menjemput. Pada saat ini lah, semua jiwa mulai lelah dan memilih untuk

tidur. Melepaskan rasa penat agar besok bisa kembali beraktifitas seperti

biasanya. Namun, disisi lain, beberapa jiwa mulai terjaga, mereka mengeluarkan

taring untuk siap memangsa. Tentu tidak akan ada kisah manusia Srigala dan juga

Drakula yang haus akan darah. Yang ada, manusia yang haus akan nafsu dunia dan

dendam yang menumpuk di hati paling dalam.  Dengan sikap angkuh dan tamak seseorang, di

pastikan malam ini akan ada satu nyawa manusia lagi yang akan di pertaruhkan.

Seperti di kediaman rumah besar

dengan bangunan tua yang terlihat sepi. Kusuma kedatangan tamu yang sama sekali

tidak ia inginkan.

“Kusuma, maafkan saya bertamu

malam-malam.” Ia memasang wajah agak menyesal. Kusuma tau, itu hanyalah basa

basi belaka.

“Lansung saja ke inti, kali ini

maumu apa?” tanya wanita kepala empat dengan penampilan yang tidak biasa. Di

era dua ribu, ia masih setia mengenakan kebaya dengan atribut konde yang

menempel di kepalanya. Sebuah kesan yang menunjukkan jika dia memang wanita

yang tidak sembarangan.

“Kamu tau saja maksud dan

kedatangan saya. Ini yang saya suka darimu,  Kusuma.” Pria itu tertawa terbahak-bahak.

Kusuma tidak bergeming, wajahnya tetap tegas dan keras. Pria itu menghentikan

tawanya dan kemudian memasang wajah jahat.

“Haha...Saya ingin dia dan usahanya

hancur. Saya tidak suka ada pengganggu seperti dia.” Pria itu menyerahkan

selembar foto yang di belakangnya bertuliskan nama dan sebuah alamat.

“Tawaran apapun tidak bisa aku

tolak.” Jawab Kusuma. “Tapi, semua tindakan jahat ataupun baik memiliki

ganjaran yang setimpal.” Lanjutnya.

“Hahaha...!!” Pria itu tertawa,

dia paham apa maksud dan arah pembicaraan Kusuma. “Saya sudah siapkan.” Dia

memberi sebuah amplop yang berisikan sejumlah uang. “Cukup?” tanyanya.

“Bukan masalah uang.” Kusuma

kembali menegaskan. Pria tersebut terlihat bingung.

“Apa ini belum cukup? Atau perlukah

saya memberimu selembar cek kosong?”

Kusuma menggeleng. “Kali ini bukan

uang, melainkan hal lain. Sasaranmu yang sekarang cukup besar. Dia tidak

gampang di rubuhkan. Dia memiliki apa yang kau miliki juga. Dia memiliki

penjaga yang sama kuatnya denganmu. Jadi kau butuh pengorbanan yang cukup besar

agar penjagamu bisa lebih kuat darinya.” Jelas kusuma tegas.

“Apapun, akan aku terima

resikonya. Aku bukanlah orang yang bisa ditandingi. BIKIN DIA MENDERITA

KUSUMAAAAAA....!!” pria itu tertawa dan marah disaat bersamaan. Wajahnya terlihat

menyeramkan dengan gelak tawa yang menggema di tengah ruangan.

Sekali lagi, Kusuma tidak

bergeming. “Tidak ada kebahagiaan dari manusia serakah, kau akan mendapat apa yang

kau inginkan, dan kau akan kehilangan satu yang telah kau sia-siakan. Seperti

malam ini, kau tertawa dan marah di waktu bersamaan. Kemudian besok kau akan

menang sekaligus bersedih di waktu yang sama pula.”

“LAKUKAN SAJA KUSUMA, SAYA TIDAK

PEDULI DENGAN CERAMAHMU... TUNJUKAN KEAJAIBANMU. MENOLAK KAU AKAN MENDERITA.

ITULAH PERJANJIANMU DENGAN MEREKAKAN??” dia menekan Kusuma.

“Perintahmu tidak akan mampu aku

tolak.” Jawab Kusuma dengan wajah tanpa emosi.

Pertemuan itu berakhir. Pria itu

pergi meninggalkan ruangan tersebut. Kusuma yang mendapat titah lansung menuju

sebuah ruangan yang tersembunyi. Ia mengambil satu wadah yang terbuat dari

aluminium kuning. Wadah tua dan tampaknya sering di pakai, sebab terlihat agak kusam.

Diatasnya telah tersedia beberapa bahan ramuan, seperti bunga dan daun-daun

hijau, akar-akar serabut, seutas benang berwarna hitam yang terlihat seperti

rambut, matak katak, dan bunga melati.

Wadah itu ia bawa kesebuah

ruangan, dimana ia harus menuruni anak tangga. Tempatnya agak tersembunyi dan

terpisah jauh dari halaman belakang rumah. Kusuma harus melewati kolam renang

yang sudah lama tidak diisi air. Ia harus melewati kebun bunga yang lebih

terlihat sekelompok semak belukar. Lalu kemudian masuk kesebuah rumah mungil

yang sepertinya berguna sebagai dapur tungku. Di dapur itulah, ia melewati satu

pintu yang mengarahkannya kepada sebuah tangga yang akan membawanya kepada

ruang bawah tanah. Ia meniti satu persatu tanpa merasa takut. Bahkan ia

bersenandung membiarkan tubuhnya tenggelam dalam kegelapan.

“Nana...nana...nanana...”

Angin membawa irama dari sandungan

khas sinden Jawa. Membiarkan suara itu bergema dan menguasai malam itu. semakin

jauh ia melangkah, semakin gelap tempat itu, maka angin pun semakin kencang

berhembus. Menggoncangkan ranting pohon sekitar rumahnya. Anehnya, suasana

angin ribut itu hanya terjadi di rumahnya saja. Seolah menggambarkan jika itu

bukan angin sembarangan.

Akhirnya kakinya menapaki anak

tangga terakhir. Pintu kayu yang disegel itu ia buka. Gelap itu pun berganti

dengan cahaya kuning kemerahan. Warna dari lampu yang telah menyala di ruangan

tersebut. Bukan ruangan yang besar. Hanya ukuran kecil, ukuran tiga kali empat

meter. Tanpa jendela, hanya fentilasi. Di bawahnya tergantung kepala bangkai

rusa yang telah di awetkan. Kepala kambing jantan, topeng-topeng dengan

berbagai ekspresi dan juga rangda.

Selebihnya benda-benda tua yang tidak bisa di pahami apa dan fungsinya.

Di tengah ruangan itu terdapat

meja kayu beralas terpal merah yang setiap ujung juntainya terukir motif

beraksara sangserkerta. Diatasnya juga terdapat beberapa piring dan wajan

bewarna kuning perak. Didalamnya ada berbagai ramuan. Bahkan disana kita bisa

melihat ada sisa kepala tikus dengan badannya entah tau dimana.

Kusuma bersenandung panjang.

Membuat ruangan itu seakan panggungnya. Lampu berkelap-kelip, lilin yang padam

bergoyang yang lambat laut menyalakan lilin diatasnya. Kusuma duduk dibelakang

meja kayunya, lagu pun berakhir saat ia mendaratkan pantatnya di atas karpet

bewarna merah dan hijau.

Pintu kayu yang terhubung dengan

dimensi lain itu berguncang. Kusuma menarik nafas dalam. Ia tau, undangannya

telah tersampaikan. Dia (kau tidak akan tau siapa) datang. Pintu kayu terbuka

pelan, lalu kemudian tertutup. Kusuma menundukkan kepalanya, ia memberi salam

hormat kepada tamunya.

“Padamu kupersembahkan anggur yang

lebih merah dari buah saga, wangi dan juga manis. Teguklah persembahan dari

anak cucumu, dan biarkan kami melihat kebijaksanaanmu.” Kusuma bersujud. Batang

hidungnnya menyentuh karpet dan ia membiarkan dirinya seperti itu untuk sesaat.

Terlihat jelas, jika Kusuma sangat menghormatinya.  Tapi siapakah dia, Kusuma sendiri tidak pernah

melihatnya lansung.

Sosok itu mengenakan pakaian

putih, ada rambut panjang bewarna putih perak yang sangat panjang. Saking panjangnya,

rambut itu menjuntai hingga ke lantai. Aromanya khas melati. Ia memiliki bentuk

kaki yang mirip seperti kaki kuda. Kadang ia juga memperlihatkan jari-jari

kakinya layaknya manusia. Namun sejak awal di perkenalkan dengan sosok

tersebut, Kusuma disuruh untuk tidak menatap wajahnya, begitulah ibunya

mengingatkannya.

Yang jelas, setiap makhluk itu

hadir, angin bertiup lebih kencang dari sebelumnya. Seolah ada yang lewat dan

terbang, pintu itu kembali terbuka pelan dan tertutup dengan kencang.

Dalam diamnya, Kusuma mulai

berkeringat dingin. Darah mengalir dari hidungnya itu tanda pesannya telah

tersampaikan dan keinginannya akan segera di kabulkan. Kemudian lilin memadam

kan apinya, dan ruangan hening seperti semula. Kusuma bangkit dengan darah

mengalir dari hidung dan juga air mata kesedihan. Ia tau, ini adalah tugas yang

tidak ia inginkan namun tidak bisa ia tolak. Itulah kelemahan dari ilmu yang ia

peroleh dari keluarga ibunya.

.

.

.

.

Angin semakin bertiup kencang. Menggoyangkan

ranting pohon jambu yang tumbuh tinggi di pekarangan rumah besar itu. Saking kencangnya,

ranting itu memukul jendela kamar yang berada di lantai dua rumah tersebut.

Merri yang belum sepenuhnya

tertidur pulas, setiap saat mencoba memejamkan mata dan mengubah posisi

tidurnya. Ia mencoba menarik selimutnya hingga menutupi lehernya. Tapi entah

siapa yang usil. Selimut itu di tarik. Merri mencoba menarik kembali selimut

tersebut. Ia ingin tidur malam ini. Ia tidak mau di ganggu. Tapi sekali

lagi,  selimutnya di tarik kencang hingga

jatuh ke lantai kamarnya.

“HAH!!!” Merri terbangun dalam

keadaan kaget. Ia segera duduk dan melihat sekitar. Senyap, sepi. Tidak ada

siapa-siapa.

Tuk Tuk Tuk...

Jendela kamarnya di ketuk oleh

jari yang panjang. Dalam keadaan takut Merri segera menyalakan lampu kamar. Ia

melihat kembali ke arah kaca jendela yang tertutup tirai putih. Bukan jari,

yang mengetuk itu ranting pohon jambu yang ada disamping rumahnya. Merri

bernafas lega. Ia menuruni ranjangnya untuk mengambil selimutnya. Saat tangan

kurus itu mengambil selimut, Merri merasa ada yang aneh. Jari-jari kurusnya sama

seklai tidak menarik selimut putih motif bintang itu. Bukan. Ada yang bangkit

dari balik selimut teresebut. Sosok itu berdiri dan tingginya melebihi tinggi

badan Merri.

Dalam keadaan kaget, sekaligus

takut, Merri menarik selimutnya. Kosong. Tidak ada satupun sosok atau

sejenisnya di balik selimutnya. Tapi ia melihat sepasang jejak kaki yang basah.

Apapun itu sesuatu telah berdiri disini. Badan kecilnya seketika gemetaran.

Merri mundur hingga ia telah

berada kembali di atas ranjangnya. Ia menutup wajah dan dua daun telinganya.

Saat itu lampu seketika padam. Cahaya tersisa hanya pantulan sinar rembulan

yang masuk kejendala. Tapi hal itu lah yang semakin menakutkan bagi Merri.

Terlebih saat tirai jendela bewarna putih itu menggulung dan kemudian

memanjang. Tirai yang tidak lebih dari dua meter itu seolah semakin memanjang.

Ujung-ujung tirai menyentuh lutut. Merri meronta.

“SUDAH PERGI!!!” erang Merri.

Tapi kain itu terus membelit

tubunya.

“Kalian mau apa? Jangan ganggu

saya!!!” teriak Merri lagi. Tapi sia-sia, tubuhnya terbugkus tirai dengan sempurna.

Kemudian satu sosok mendekati nya. Bibir hitam dengan taring tipis seperti hiu

itu berbisik dengan cepat.

“Merri...!!”ia memanggil nama

Merri dengan suara serak.

Bulu kuduk Merri merinding. “Per...pergi...

hiks!” Merri menangis.

“Hadapi kenyataan ini... terima

takdirmu.... hadapi kenyataan ini, terima takdirmu, hadapi kenyataan ini terima

takdirmu!!”

“Jangan lagi, jangan...!!!!” Merri

memohon dalam tangisnya.

“Hadapi kenyataan ini, ini

takdirmu. Hadapi kenyataan, ini takdirmu. Hadapi kenyataan, ini takdirmu. Ini

takdirmu. Ini takdirmu. Hadapi kenyataan. Ini takdirmu.” Suara itu semakin lama

semakin cepat dan bisiskan itu seoah tidak dilakukan oleh ia sendiri. Suara itu

saling bersahutan dan membuat Merri semakin tidak berdaya.

“TIDAAAAKKK!!!” Merri berteriak,

tidak tahan dengan bisikan-bisikan itu.

Tubuh kecilnya kembali meronta

agar lepas dari lilitan kain. Berhasil. Tangannya bebas dan ia menurunkan kain

yang menutup matanya. Namun sayangnya, satu pemandangan yang sangat mengerikan

telah menunggunya.

Satu sosok dengan empat mata

bewarna hitam, sosok itu berambut hitam panjang tak terurus. Sosok itu juga

memiliki hidung seperti ikan pari dan senyum lebar dengan bibir hitam. Ia tertawa

saat bertatapan lansung dengan gadis itu.

“GYAAAAAAAAAA!!!!” Merri berteriak

kencang. Disanalah makhluk itu semakin mendekati wajahnya dan memasuki sesuatu

yang tidak bisa di pahami oleh akal sehat manusia normal. Yang jelas, Merri

sekarang di bawah kendalinya, dengan membawanya kesebuah pemadangan yang jauh

dari rumah..

.

.

.

Pemandangan dimana Merri dapat berpijak di dalamnya. Dapat merasakan

ketakutan yang terjadi di dalamnya. Di lorong panjang putih itu, beberapa orang

berseragam putih tengah berlari, mereka panik. Bahkan mereka tidak peduli sudah

menabrak tubuh kecil yang hanya memakai baju tidur tanpa alas kaki. Seolah ada

suatu hal yang lebih genting saat ini.

Merri bingung. Ia mengusap air mata yang masih membasahi pipinya. Di tegah

ketakutan dan kebingungan itu, ia mencoba mencari jalan keluar. Namun langkah

kakinya malah mengantarkannya kepada ruang UGD. Saat ia mencoba mencari jalan

lain, lagi-lagi pemberhentian itu selalu berakhir di depan ruangan UGD. Seolah jalan

di rumah sakit ini bagaikan labirin yang berakhir disana.

Takut dan penasaran, Merri mencoba memasuki ruangan itu. Disana telah

berkumpul orang-orang dengan seragam putih yang barusan menabraknya. Mereka tengah

menghadapi seorang remaja yang tengah mengalami kejang. Wajah gadis itu

menegang. Ia melotot tanpa berkedip dan meringis. Menahan sakit.

“GYAaaaaa.....!!!!” tiba-tiba pasien itu berteriak. Menggeliat. Dokter

berusaha menahannya.

“Dok bagaimana ini? Semua organ vitalnya dalam keadaan stabil.” tanya

perawat. Mereka berusaha bersikap profesional meski mereka sadar hal ini di

luar akal dan logika.

“GYAAAAAAA!!!!”  pasien itu

kembali meronta. Kali ini matanya yang bulat besar da sangat menakutkan melihat

ke arah Merri. Tangannya menunjuk Merri, “TOOOOOOLLOOONG......!!!!!”

“Berikan suntikan penenang!” perintah dokter. “Hanya itu yang bisa kita

lakukan sekarang.”

“GYAAAAAAAAKK!!!” pasien wanita yang mungkin seusia dengan Merry itu

kembali mengerang kessakitan. Matanya mendongak ke langit-langit.

Merri yang berdiri tepat di depan pintu UGD juga mengekori arah

pandangnya. “AAAAAAAAAA!!!!!” Merri menutup kedua mulutnya. Ia tidak bisa

menduga jika melihat pemandangan yang jauh lebih mengerikan.

Diatas gadis itu satu sosok wajah yang tidak kalak mengerikan tengah

berdiri didinding tepat dimana gadis itu tengah berbaring. Dia dengan wajah

lebar berkumis tebal, mata bula bewarna merah. Wajah itu mirip Harimau, tapi

dengan hidung botol seperti hidung ****, di bawahnya ada kumis tebal yang dihiasi

taring panjang dan tajam. Kumis itu tersambung dengan rambut gondrong. Lalu badannya

persis seperti kera. Kera dengan kuku-kuku yang panjang dan hitam. Jari-jari

itulah yang sedari tadi menarik rambut remaja tersebut yang kemudian dia

mengulumnya sambil sesekali menariknya.

Merri terduduk. Kakinya gemetar dahsyat. Ini pemandangan apa lagi?

mungkin itulah kata-kata yang terucap atas air matanya yang menetes.

“Ja.. ja..jangan lakukan...!!!” Merri memohon. Entah kepada siapa. Dia

hanya bicara kepada dirinya sendiri. Ia terlalu takut berhadapan dengan makhluk

itu lebih dekat lagi.

Saat bersamaan, si pasien semakin meronta. “GYAAAAAAAAA..... TIDAAAAKKKK...

GYAAAAAA!!!” dia meronta kesakitan, dia ketakutan. Tapi sayangnya tidak ada

yang bisa membantunya.

Senyum makhluk itu semakin melebar. Garis bibirnya menyentuh hingga ke

atas kepalanya, melebihi letak dua matanya yang berwarna merah.

“GYAAAAAAAaaaaaAAAAAAA.....!!!!” teriakan panjang itu mungkin akhir

dari penderitaannya di dunia.

“GYAAAAAAaaaaaaaaaaaaaaaAAAA...!!!” begitupun Merri yang tidak kuasa

melihat.

Tanpa ampun dan kasihan, makhluk itu menarik rambutnya dengan cepat dan

menyimpan jiwa remaja yang terpisah dari raga ke dalam mulutnya. Ia menyeringai

dan kemudian melihat ke arah Merri.

Merri yang sudah di makan rasa takut tidak tau harus berbuat apa-apa. Kakinya

tak kuasa untuk berdiri apalagi berlari. Sepanjang lorong itu ia merangkak

secepat mungkin. Saat dikira agak jauh, ia mencoba berdiri dan berlari secepat

ia bisa. Lorong rumah sakit itu semakin lama menyempit. Ia tidak peduli dengan

Kedua kaki telanjangnya. Ia terus berusaha meninggalkan tempat menakutkan itu.

Meski jauh, ia bisa melihat makhluk itu masih mematung dan memperhatikannya.

.

.

.

Pagi datang menjelang. Merri

terduduk di kamarnya. Matanya gelap. Setelah menerima pemandangan yang sangat

mengerikan itu, ia tidak berani memejamkan mata. Remaja itu, kemudian makhluk

itu masih tersimpan dengan jelas di benaknya.

“Bangun, saatnya berangkat

sekolah.” Ibunya masuk kekamarnya. Ia membuka jendela kamar Merri.

“Ibu masih menerimanya? Membunuh

orang?” tanya Merri.

Kusuma menoleh ke arah Merri. Ia tersadar,

anaknya dalam keadaan tidak baik-baik saja. Merri menangis dan kedua matanya

sembab karena itu.

“Kenapa ibu tidak bisa menolak

permintaan mereka?” tanya Merri lagi.

Kusuma mendekati wajah Merri yang

semakin pucat, ia memeluknya seraya berkata, “Maafkan ibu, Nak!”

Terpopuler

Comments

Nova Shi

Nova Shi

Ohhhh jadi setiap Kusuma menerima tamu, Merri yang kena imbasnya.

2021-01-10

4

Firchim04

Firchim04

Hai author semangat😊

Salam dari "Dosenku Sahabatku" dan "Suamiku Adik Kelasku"

2020-09-22

0

lihat semua
Episodes
1 PERTIKAIAN
2 2 Salam
3 3 Anak Baru
4 4 Anak Aneh
5 5 Kiriman
6 6 Kematian Mikha
7 7 Beauty Dream
8 8 The Cranberries
9 9 Sebuah rencana dan Persiapan
10 10 Dua Anugrah dan Malapetaka
11 Pesta Jailangkug Pertama
12 Hukuman dan Ancaman serta Malapetaka #1
13 Hukuman dan Ancaman serta Malapetaka #2
14 Hukuman dan Ancaman serta Malapetaka #3
15 15 Mencari Jawaban
16 16 Tanah Pusara
17 17 Pertengkaran Rohi dan Merri dalam dua hari
18 18 Layar Monokrom
19 19 Misi Karin dan Rahasia Arinda (1)
20 20 Misi Karin dan Rahasia Arinda (2)
21 21 Misi Karin dan Rahasia Arinda (3)
22 22 Misi Karin dan Rahasia Arinda (4)
23 23 Kenangan Merri dan Keinginan Rohi
24 24 Buku Petunjuk Mbah Uti
25 25 Indigo
26 26 Sebuah Fakta dan Cerita
27 27 Gosip dan Ghost Sip
28 28 Alisya (01)
29 29. Alisya (2)
30 30 Kesurupan
31 31 Pesan dari Neraka
32 32 Permainan Setan
33 33 Lengkingan
34 34 Penuntasan
35 35 Kebohongan Dari Sebuah Kebenaran
36 36 Kerasukan
37 37 Pertarungan Dua Iblis dan Manusia
38 38 Kesalahan Masa Lalu
39 39 Kebohongan Pertama Merri
40 40. Persiapan Boneka Jailangkung
41 41. Gelas Aluminium dan Lusinan pensil warna
42 42. Tantangan Karin untuk Merri
43 43. Kesurupan Massal
44 44. Kelas Terkutuk
45 45 mozaik dari masa lalu
46 46 Makan Besar dan Kejujuran Sahabat
47 47 Kilas Balik Pesta Jailangkung jilid 1
48 48 Jebakan Ombak
49 49 Empat Serangkai
50 50 Menangkap si Pencuri
51 51 Boys no Cry
52 52 Pria Tua Malang
53 53 Akhir Hidup Pria Tua Malang
54 54 Pesta Jailangkung Kembali
55 55 Pesta jailangkung is Back
56 56. Sampai Bertemu August
57 57 mBAH uTI kEMBaLi (?)
58 58 Kilas Balik Permainan Jailangkung
59 Persimpangan Mbah Uti dan Merri
60 Permata Hitam
61 DONE
62 Pasien Sebelah Itu
63 Pesan-Pesan
64 EPILOG
Episodes

Updated 64 Episodes

1
PERTIKAIAN
2
2 Salam
3
3 Anak Baru
4
4 Anak Aneh
5
5 Kiriman
6
6 Kematian Mikha
7
7 Beauty Dream
8
8 The Cranberries
9
9 Sebuah rencana dan Persiapan
10
10 Dua Anugrah dan Malapetaka
11
Pesta Jailangkug Pertama
12
Hukuman dan Ancaman serta Malapetaka #1
13
Hukuman dan Ancaman serta Malapetaka #2
14
Hukuman dan Ancaman serta Malapetaka #3
15
15 Mencari Jawaban
16
16 Tanah Pusara
17
17 Pertengkaran Rohi dan Merri dalam dua hari
18
18 Layar Monokrom
19
19 Misi Karin dan Rahasia Arinda (1)
20
20 Misi Karin dan Rahasia Arinda (2)
21
21 Misi Karin dan Rahasia Arinda (3)
22
22 Misi Karin dan Rahasia Arinda (4)
23
23 Kenangan Merri dan Keinginan Rohi
24
24 Buku Petunjuk Mbah Uti
25
25 Indigo
26
26 Sebuah Fakta dan Cerita
27
27 Gosip dan Ghost Sip
28
28 Alisya (01)
29
29. Alisya (2)
30
30 Kesurupan
31
31 Pesan dari Neraka
32
32 Permainan Setan
33
33 Lengkingan
34
34 Penuntasan
35
35 Kebohongan Dari Sebuah Kebenaran
36
36 Kerasukan
37
37 Pertarungan Dua Iblis dan Manusia
38
38 Kesalahan Masa Lalu
39
39 Kebohongan Pertama Merri
40
40. Persiapan Boneka Jailangkung
41
41. Gelas Aluminium dan Lusinan pensil warna
42
42. Tantangan Karin untuk Merri
43
43. Kesurupan Massal
44
44. Kelas Terkutuk
45
45 mozaik dari masa lalu
46
46 Makan Besar dan Kejujuran Sahabat
47
47 Kilas Balik Pesta Jailangkung jilid 1
48
48 Jebakan Ombak
49
49 Empat Serangkai
50
50 Menangkap si Pencuri
51
51 Boys no Cry
52
52 Pria Tua Malang
53
53 Akhir Hidup Pria Tua Malang
54
54 Pesta Jailangkung Kembali
55
55 Pesta jailangkung is Back
56
56. Sampai Bertemu August
57
57 mBAH uTI kEMBaLi (?)
58
58 Kilas Balik Permainan Jailangkung
59
Persimpangan Mbah Uti dan Merri
60
Permata Hitam
61
DONE
62
Pasien Sebelah Itu
63
Pesan-Pesan
64
EPILOG

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!