Bukankah cincin pernikahan itu di pakai oleh orang yang telah menikah? Biarlah orang mengatakannya gila karena ditinggal calon istri, Nizam sama sekali tidak peduli. Ia hanya ingin menutup diri sementara dari wanita mana pun dengan cincin itu. Satu hal yang tak pernah ia sangka, keberadaan cincin itu rupanya bisa membantu melancarkan aktingnya saat ini.
Dua pria bertubuh besar di hadapan Nizam kini saling pandang dengan kening yang berkerut. Jelas sekali jika saat ini mereka sedang kebingungan. "Tapi bos kami sudah membayar mahal untuk wanita itu." Salah satu dari mereka kembali berbicara.
"Berapa? Aku akan menggantinya!"
Kedua pria itu kembali saling pandang. "Lima puluh juta."
Nizam menatap datar kedua pria itu, tangannya meraih dompet di saku celana belakangnya. Kemudian sebuah kertas cek ia keluarkan dan menuliskan angka 50 juta di sana.
"Berikan kepada bos kalian, dan jangan pernah mengganggunya lagi." Nizam memberikan kertas cek itu lalu segera pergi, tak lupa ia memberikan kode kepada wanita di belakangnya agar segera pergi menjauhi mereka.
"Terima kasih, Pak. Saya akan berusaha mengganti uang Om secepatnya," ucap wanita itu tak mampu menyembunyikan senyuman lega di wajahnya. Ia berjalan cepat tidak jauh di belakang mengejar langkah kaki Nizam.
"Oh iya, Bulan!" panggil Nizam sedikit menoleh ke samping melihat posisi wanita itu dengan ekor matanya.
"I-iya, Pak?"
"Apa kamu masih memiliki keluarga?"
Gadis itu kini terlihat menunduk. "Kedua orang tua saya sudah wafat, saya tidak memiliki siapa-siapa lagi sekarang karena paman yang dulu saya anggap keluarga justru tega menjual saya ke bos dua orang tadi."
Nizam tiba-tiba menghentikan langkah hingga hampir membuat Bulan menabrak punggungnya. Mereka saat ini sedang berada di lorong rumah sakit yang tidak jauh dari ruang rawat di mana Bulan di rawat sebelumnya.
"Semoga Allah selalu menjagamu, Bulan. Mungkin cukup sampai di sini saya bisa membantumu," ujar Nizam.
"Terima kasih, Pak, mengenai uang tadi ...."
"Mengenai uang tadi, tak usah dipikirkan, itu adalah rezeki dari Allah untukmu, dan saya hanya perantaranya." Nizam menghentikan perkataannya sejenak.
"Masuklah ke ruang rawatmu, bagaimana pun kamu masih harus mendapatkan perawatan agar keadaanmu benar-benar pulih. Saya pamit." Nizam kemudian berbalik lalu melangkah pergi.
"Sekali lagi terima kasih banyak, Pak. Semoga Allah membalas kebaikan dan memberkahi kehidupan rumah tangganya. Maaf sudah membuat Bapak mengakui saya sebagai istri sementara Om sudah punya istri."
Nizam berhenti sejenak sambil tersenyum nanar. Ia kemudian kembali melanjutkan langkahnya hingga hilang dibalik pintu keluar rumah sakit.
Hari ini ia akan kembali ke kota B, tapi sebelum pergi ke bandara, Nizam menyempatkan diri mengunjungi makam Aura, cinta pertamanya yang kini telah pergi untuk selama-lamanya. Pria itu menyirami kuburan di depannya lalu mengucapkan doa keselamatan.
"Assalamu 'alaikum, Aura. Semoga kamu sedang bahagia di sana," ucap Nizam sambil mengusap batu nisan yang bertuliskan nama Aura Farhana binti Ali.
Pria itu tertunduk sejenak menahan gejolak di dadanya yang seakan ingin menerobos keluar.
"Kamu tahu Aura, dadaku terasa sesak saat ini, sepertinya rasa rindu yang selama ini kutampung tanpa bisa kusalurkan telah melebihi kapasitasnya. Apa yang harus kulakukan? Hah?" Nizam mengusap matanya yang mulai memburamkan pandangan.
"Mataku kelilipan, Ra. Seperti katamu, aku ini cowok maco, aku tidak mungkin menangis, malu sama otot, iya 'kan?" Nizam tertawa nanar sejenak dengan mata yang tetap saja memperlihatkan kesedihan.
Meski satu bulan sudah berlalu sejak kepergian Aura, kesedihan itu masih saja menyelimuti hatinya. Begitu sulit rasanya untuk ikhlas. Namun, ia tak memiliki pilihan selain berusaha keras membesarkan hatinya.
Dulu begitu mudah baginya menerima kedatangan Aura di hidupnya, tapi untuk melepaskan kepergian wanita itu, rasanya begitu menyiksa.
☘☘☘
Sementara di rumah sakit, Bulan tengah beristirahat kembali di kamarnya. Rasa lega karena masalah yang menjeratnya telah selesai membuat senyuman tipis terbit di wajah gadis berusia 20 tahun itu. Ia sangat bersyukur karena Allah telah mempertemukan dia dengan orang baik yang ia tahu namanya Nizam.
Bulan meminta suster untuk memasang kembali infus baru karena tubuhnya begitu lemah saat ini, di tambah rasa nyeri di tubuhnya yang begitu menyiksa. Hari ini ia benar-benar ingin memulihkan dirinya sebelum besok ia akan kembali bekerja dan mencari tempat tinggal baru.
Keputusannya untuk tinggal sendiri kali ini sudah bulat, itu lebih baik daripada tinggal bersama pamannya yang kejam. Bayangan bagaimana sang paman yang selama ini memperlakukannya dan sang kakak dengan buruk kembali berputar di pikirannya hingga menjadi pengantar tidur Bulan. Rasa lelah dan efek obat yang disuntikkan melalui cairan infus, membuat mata gadis itu terasa berat hingga akhirnya mulai terlelap.
Namun, baru beberapa saat matanya terpejam, aroma parfum maskulin yang menyapa indera penciuman, memaksa kedua netra Bulan terbuka.
"Kau sudah bangun, Sayang?" Kedua mata Bulan seketika belebar sempurna saat mendengar suara yang tidak asing di dekatnya.
Jantung Bulan semakin berdegup kencang ketika netranya mendapati sosok pria berjambang dengan tato naga di leher sedang berada tepat di sampingnya. Tak hanya itu, tubuh wanita itu pun mulai bergetar dan keringat dingin mulai membasahi keningnya saat lagi-lagi rasa takut mulai menguasai.
Namanya Marcel, pria yang sudah membawanya ke hotel kemarin saat ia tidak sadarkan diri akibat pengaruh obat, tentu saja atas persetujuan Simon, pamannya. Tak hanya di sekap selama satu hari, kekerasan demi kekerasan harus ia terima karena selalu menolak ajakan pria itu untuk berhubungan. Hingga akhirnya ia berhasil meloloskan diri setelah memukuli kepala pria itu dengan vas bunga, dan bertemu dengan Nizam di tengah jalan.
"Aku sudah tidak memiliki urusan lagi denganmu, pergi kalian semua!" usir Bulan tegas kepada Marcel.
"Aku akan pergi jika kau ikut denganku, Sayang," ujar Marcel begitu santai.
"Jangan mimpi. Aku sudah memiliki suami, anak buahmu sudah melihatnya tadi," balas Bulan dengan tatapan tajam, sebisa mungkin ia meredam ketakutannya saat ini.
Marcel tertawa mendengar perkataan Bulan yang begitu meyakinkan. "Dan pria itu juga baru saja pergi ke bandara untuk meninggalkan kota ini."
Mata Bulan membola mendengar perkataan Marcel. "Apa maksudmu?"
Pria itu tertawa sejenak. "Apa perkataanku kurang jelas? Pria yang mengaku suamimu itu sudah pergi. Mana ada suami seperti itu? Meninggalkan istrinya yang sedang sakit. Lagi pula ...." Marcel hendak meraih tangan kanan Bulan, tapi langsung di tepis oleh wanita itu.
"Jangan pernah menyentuhku!"
Marcel tersenyum meremehkan. Ia kemudian melipat kedua tangannya di depan dada. "Lagi pula, kau tak memiliki cincin yang sama dengan pria itu. Hanya orang bodoh yang percaya jika kalian itu sudah menikah."
"Lalu kenapa? Bukankah uangmu juga sudah diganti? Jadi jangan menggangguku lagi!" Bulan membuang pandangannya ke sembarang arah, rasanya begitu muak melihat wajah pria tua brengs*k seperti Marcel.
"Itu menurutmu, tapi itu tidak berlaku untukku. Jika aku bisa memiliki dua sekaligus, kenapa harus memilih satu?"
Bulan menautkan kedua alisnya lalu menatap Marcel dengan tatapan mendelik. "Pergi kamu!"
Marcel tersenyum miring, pria itu memberikan kode kepada anak buahnya yang menunggu di luar kamar untuk membawa pergi Bulan saat itu juga. Gadis itu memberontak hebat agar tak ada yang menyentuhnya. Namun, pada akhirnya ia pingsan karena sebuah pukulan yang tepat mengenai titik antara pundak dan lehernya.
"Bawa dia ke rumahku! Aku sudah tahu bagaimana caranya agar dia tidak lari lagi dariku."
-Bersambung-
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
Mia Roses
Ihh gemes bgt aku, udh tua masih gila aja. Om Marcel tiati om, ga usah kebanyakan gaya, jgn mikirn hidup enak mulu, mikirkn gmn mati enak jg 😡😡
2023-08-06
1
Ria Dardiri
kasihan sekali nasipmu bulan
2023-08-06
1