"Maaf, mereka tetap ingin menutup kasus itu."
Nizam tertunduk lesu mendengar perkataan Diki melalui sambungan telepon. Ia begitu kecewa dengan sikap polisi di kantor pusat, seolah mereka tidak ingin tahu akan kebenaran yang sesungguhnya.
"Tapi karena kau temanku, aku akan membantumu menyelidikinya, walau ini di luar tugasku," ujar Diki setengah berbisik agar tak ada yang mendengarnya di seberang sana. "Tapi mungkin akan membutuhkan waktu lama karena aku tetap harus mengutamakan tugasku di sini," sambungnya.
"Benarkah? Terima kasih banyak, Dik. Aku akan sabar menunggu, semoga Allah memudahkan segala urusanmu."
Nizam mengakhiri panggilannya dengan Diki malam itu. Ia terpaksa membatalkan rencananya ke tempat Diki karena kejadian tak terduga beberapa menit lalu. Pria itu juga tak bisa menjelaskan apa yang menimpanya saat ini kepada temannya itu sebelum ia mengetahui dengan jelas apa yang terjadi dengan wanita yang baru saja ia bawa ke rumah sakit saat ini.
"Maaf, apa Bapak wali dari pasien tadi?" tanya seorang dokter wanita yang baru keluar dari ruang IGD.
"Saya bukan wali, saya yang tadi tidak sengaja menabraknya," jawab Nizam, meskipun ia tidak yakin telah menabraknya, tapi keadaan wanita itu yang tidak sadarkan diri di depan mobilnya membuat pria itu membuat kesimpulan sendiri.
"Oh, apa Bapak memiliki tanda pengenalnya atau ponsel yang bisa digunakan untuk menghubungi keluarganya? Keadaan pasien sungguh memprihatinkan."
Nizam mengerutkan dahinya. "Tidak ada, Dok. Seingat saya, sejak awal dia tidak membawa apa pun, bahkan dia tidak memakai alas kaki sama sekali," jelas Nizam. "Kalau boleh tahu, apa yang terjadi dengan wanita itu?" tanya Nizam melanjutkan.
"Dia mengalami trauma akibat kekerasan fisik. Begitu banyak luka di tubuh dan lehernya. Saat ini dia masih akan melanjutkan proses pemeriksaan lanjutan untuk mengetahui apakah dia juga mengalami kekerasan s*ksual."
"Innalillah, kasihan sekali dia," gumam Nizam ikut bersimpati. "Apa perlu saya laporkan ke polisi?"
"Tunggu pasiennya sadar dulu yah, Pak. Agar kita tahu apa yang terjadi sebenarnya." Dokter itu kemudian pergi dari hadapan Nizam.
Malam semakin larut, Nizam memutuskan untuk menunggu hingga wanita itu sadar di luar ruang rawatnya. Pria itu membiarkan perawat wanita yang mengurusnya, ia tidak berani sedikit pun memasuki kamar itu mengingat saat ini mungkin wanita itu sedang tidak memakai kerudung, ia ingin menjaga batasan agar tak membuat wanita itu tidak nyaman.
Suara adzan subuh yang berkumandang membuat Nizam mengerjapkan matanya. Ia berdiri sambil merenggangkan ototnya yang terasa sedikit sakit karena tidur dalam posisi duduk semalaman.
Bersamaan dengan itu, seorang perawat wanita keluar dari ruang rawat wanita yang sampai sekarang tidak ia ketahui identitasnya.
"Pak, Nizam. Pasien sudah sadar dan dia ingin berbicara dengan anda."
"Saya?" Nizam yang baru saja bangun itu menunjuk dirinya sendiri untuk memastikan jika ia tidak salah tangkap.
"Benar, Pak."
Nizam memperbaiki kacamatanya lalu berjalan mendekati pintu kamar itu, tapi tangannya sedikit ragu untuk membuka pintunya.
"Tenang saja, Pak. Pasien sudah kembali memakai kerudungnya," ujar sang perawat seolah memahami apa yang dikhawatirkan oleh Nizam.
"Suster ikut masuk, 'kan?"
"Iya, Pak. Tentu saja. Mari Pak." Perawat itu berjalan lebih dulu dan memasuki kamar lalu diikuti Nizam di belakang.
"Nona, ini Pak Nizam yang membawa Nona ke sini."
Bulan yang tadinya berbaring kini berusaha untuk duduk dengan dibantu perawat.
"Maaf, telah merepotkan, Pak. Terima kasih telah menolong saya malam itu. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi pada saya jika ...." Suara wanita itu tercekat. Air matanya kembali membasahi pipi, tapi dengan cepat ia menyekanya dengan kerudung miliknya.
"Maaf, Pak. Saya jadi baper," ucap wanita itu tertawa pelan, menutupi luka batin yang coba ditutupi.
Nizam hanya diam menatap sejenak wanita itu. Rasanya begitu tidak asing melihat mata wanita itu, sepertinya ia pernah melihat wanita dengan mata sembab dan sorot mata penuh kesedihan yang sama, tapi ia lupa kapan dan di mana.
"Ya, tidak masalah," jawab Nizam singkat.
"Mengenai biaya perawatannya, tolong tinggalkan nomor rekeningnya, Pak. Insya Allah saya akan segera menggantinya," ucap wanita itu dengan suara yang sedikit serak.
"Tidak perlu, saya ikhlas membantu," tolak Nizam lagi-lagi dengan bahasa yang singkat.
"Terima kasih banyak atas semuanya."
"Baiklah, kalau begitu saya permisi sholat subuh dulu. Nizam hendak berbalik untuk keluar dari kamar itu.
"Tunggu, Pak. Boleh saya minta tolong?"
Nizam menghentikan langkahnya, lalu kembali berbalik ke arah wanita itu. "Minta tolong apa?"
"Nama saya Bulan, saya ...." Wanita bernama Bulan itu tampak sedikit ragu untuk melanjutkan perkataannya. Ia menarik napas dalam sebelum mulai membuka suara, "Jika Bapak belum menikah, boleh saya minta tolong Bapak nikahi saya?"
Nizam sangat terkejut mendengar permintaan Bulan. "Apa maksudmu?"
"Hanya sementara, Pak. Saya butuh status itu sekarang agar ...."
"Kamu pikir pernikahan itu candaan yang bisa dilakukan sementara?" Nizam memotong perkataan Bulan dengan cepat. Tatapan pria yang tadinya penuh dengan rasa simpati seketika berubah dingin. "Maaf, saya tidak bisa. Saya permisi dulu."
Nizam undur diri tanpa memedulikan raut kekecewaan di wajah wanita itu. Yang benar saja, ia masih patah hati karena gagal menikah dan sekarang ia bertemu wanita asing yang tiba-tiba minta dinikahi. Sungguh ia tidak habis pikir dengan pola pikir wanita yang bernama Bulan itu.
Tak ingin pusing, Nizam segera keluar lalu segera berjalan cepat menuju masjid yang lokasinya tidak jauh dari rumah sakit.
☘☘☘
Matahari telah menampakkan diri di kaki langit saat Nizam keluar dari masjid. Pria itu berjalan kembali menuju rumah sakit untuk segera pamit. Rencananya pagi ini, ia akan kembali ke kota B sampai Diki menyelesaikan penyelidikannya.
Langkah kaki pria itu terhenti tepat di depan gerbang rumah sakit ketika dari jauh ia melihat Bulan yang tadi terbaring lemah di tempat tidur kini sedang berlari terseok-seok sambil memegangi tangannya yang mengeluarkan darah. Bisa ia pastikan jika wanita itu baru saja melepaskan infusnya secara paksa.
Tapi, kenapa wanita itu berlari?
Nizam terus memperhatikan wanita itu dan sekitarnya, hingga terjawablah alasan Bulan berlari. Dua pria bertubuh besar rupanya tengah mengejarnya dari belakang.
Entah apa masalahnya, tapi Nizam tidak tega melihat wanita itu berlari dalam keadaan lemah dan wajah pucat. Ia memilih diam saat melihat wanita itu telah berada di halaman rumah sakit dan berlari ke arahnya.
Nizam berencana menghalangi dua laki-laki itu agar tak lagi mengejar Bulan. Namun, ia cukup terkejut saat wanita itu justru langsung bersembunyi di belakang sambil memegangi baju kemeja yang ia gunakan.
"Tolong saya, Pak," ucap Bulan dengan suara begetar dan napas yang tidak beraturan, bahkan tangan yang memegangi bajunya terasa ikut bergetar dengan cengkeraman yang terasa melemah.
"Ada apa? Siapa mereka?" tanya Nizam, tapi tak mendapat jawaban karena kedua pria bertubuh besar itu telah tiba di hadapannya.
"Hey, serahkan wanita itu?" Salah satu dari pria itu berjalan ke arah Nizam dengan tatapan yang mengarah ke Bulan yang berada di belakangnya.
Nizam merentangkan tangannya menghalangi langkah pria itu, ia sadar jika Bulan saat ini sedang dalam bahaya, mengingat perkataan dokter mengenai luka di tubuh wanita itu. "Tidak! Katakan dulu kalian siapa!"
Pria bertubuh besar itu kini menatap tajam ke arah Nizam dan berjalan mendekatinya. "Kau jangan ikut campur jika ingin nyawamu selamat. Dia milik bos kami, bos kami telah membeli dia dari pamannya."
Mata Nizam membulat mendengar ucapan pria besar itu. "Milik Bos kalian?" ulang Nizam.
"Dia membeliku hanya untuk memuaskan napsunya tanpa menikah, tolong selamatkan aku," ucap wanita itu dari belakang dengan suara pelan sehingga hanya Nizam yang bisa mendengarnya.
"Iya, dia milik bos kami."
Nizam terdiam, untuk sesaat ia bingung harus berkata apa agar bisa menyelamatkan wanita di belakangnya ini. Bertarung melawan dua orang itu tentu saja bisa ia lakukan, tapi belum tentu masalah akan selesai, justru masalah akan semakin besar jika ia melakukan itu terlebih saat ini ia sedang berada di rumah sakit.
"Kamu salah. Dia milikku. Aku suaminya, jadi aku yang berhak memilikinya," Nizam benar-benar tidak percaya dengan apa yang baru saja ia katakan saat ini.
"Jangan bohong kau. Pamannya mengatakan jika dia belum menikah."
"Cincin ini buktinya." Nizam mengangkat tangan kanannya dimana cincin berwarna silver melingkar di sana.
-Bersambung-
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
Ria Dardiri
penasaran sm si bos apa ada sangkut pautnya sm masa lalu🤔🤔🤔
2023-08-04
1
Ria Dardiri
lanjut
2023-08-04
1
Ria Dardiri
bakal seru nih kak
2023-08-04
2