Nizam baru saja tiba di kantor polisi yang menangani kasus kecelakaan Aura di kota A. Ia sangat terkejut saat mengetahui bahwa kasus itu ternyata sudah di tutup karena dianggap murni kecelakaan.
"Pak, tolong periksa sekali lagi, kebocoran bensin itu di sengaja, ada yang sengaja melakukannya."
"Mana buktinya? Kami sudah memeriksa CCTV di area parkir rumah sakit tempat korban sebelum pergi, dan tidak ada satu pun yang mencurigakan. Korban datang sendiri dan pergi pun sendiri. Lalu siapa yang ingin anda salahkan?"
Nizam mengepalkan tangannya begitu tidak terima dengan perkataan polisi itu. Rasanya ingin sekali ia memaki, tapi tertahan saat Arfan memegang pundaknya.
"Tenang, Zam. Jika mereka tidak bisa menyelesaikannya, kita bisa selesaikan dengan cara kita. Jangan habiskan tenagamu untuk hal yang sia-sia ini."
Nizam menarik napas dalam dan membuangnya perlahan beberapa kali untuk menenangkan pikirannya. Ia memutuskan berjalan keluar dari kantor polisi walau dengan perasaan kecewa.
"Bawa aku ke kantor Diki, Fan," titah Nizam setelah duduk di dalam mobil.
Arfan tidak langsung menjawab, pria itu melihat ponselnya yang berdering dan langsung mengangkatnya. Beberapa saat berbicara, dia menoleh ke arah Nizam, "Zam, ada panggilan dari pamanmu."
Nizam menerima ponsel yang diberikan oleh Arfan dan langsung mengangkatnya.
"Assalamu 'alaikum, Paman David."
"Wa'alaikum salam, kamu di mana, Zam? Aku menelepon ke kantormu, tapi kata sekretarismu kamu lagi punya urusan diluar."
"Iya, Paman, Nizam sedang di luar kota sekarang, ada beberapa hal yang harus di urus," ucap Nizam tak berterus-terang, tapi juga tak berbohong.
"Apa Malaga ada masalah?"
Malaga adalah nama anak perusahaan dari Anderson Group, perusahaan yang dirintis oleh mendiang Kakeknya yang bernama Anderson dan sekarang di pegang oleh sang Paman bernama David yang tidak lain adalah keponakan mendiang Kakeknya.
Kenapa bukan ayah dari Nizam yang memegangnya? Ya, karena ayah Nizam yang bernama Boy Anderson itu ingin fokus mengurus pesantren yang kini menjadi tanggung jawabnya setelah kepergian Kiai Rahman, sang pendiri sekaligus orang tua angkatnya.
Lagi pula, lokasinya yang berbeda kota juga menjadi salah satu kendala bagi Boy. Perusahaan di kota A, dan pesantren sekaligus tempat tinggal Boy di kota B. Butuh waktu dua hari untuk melakukan perjalanan jika melalui jalur darat, dan satu setengah jam jika melalui jalur udara.
Malaga sendiri adalah perusahaan distribusi obat yang berdiri di kota B. Di dirikan atas kerja sama antara David, Nizam, Boy, dan Khaira, sang ibu yang berprofesi sebagai dokter di kota B.
"Tidak, Paman. Malaga baik-baik saja. Ini hanya sedikit masalah pribadi," balas Nizam.
"Oh, baiklah, uruslah masalahmu dulu, aku hanya ingin mendengar kabarmu tadi."
Setelah saling mengucapkan salam, panggilan pun berakhir.
Tak terasa langit telah menjadi gelap saat Nizam dan Arfan tiba di sebuah kantor polisi yang memang agak jauh dari kantor polisi di pusat kota.
"Maaf, Zam. Aku tidak bisa. Kasus ini berada di luar lingkungan kerja kami."
"Tolonglah aku, Dik. Lihatlah ini, apa yang kau pikirkan saat melihat gambar ini?" Nizam memperlihatkan gambar yang ia dapatkan dari Arfan.
"Ya, ini memang terlihat seperti sengaja dilubangi."
"Nah, kan-"
"Tapi maaf, Zam. Aku benar-benar tidak bisa."
"Ayolah, Dik. Aku akan membayarmu, berapa pun yang kamu minta."
"Maaf, Zam. Ini bukan masalah uang. Aku bahkan tidak akan menerima bayaran apa pun jika memang itu berada di lingkungan kerjaku."
"Kumohon, Dik. Kalau begitu bicaralah pada rekan kerjamu di kantor pusat, barangkali mereka ingin mendengarmu. Kumohon, aku tidak ingin mereka yang telah membunuh Aura bebas berkeliaran tanpa beban apa pun. Kejahatan tetap harus diberantas, Dik. Kau jelas tahu itu."
Diki terdiam, pria itu tampak merenungi apa yang dikatakan Nizam, temannya sejak SMA bersama Arfan.
"Baiklah, aku akan mencoba berbicara dengan temanku, tapi aku tidak bisa berjanji bahwa mereka akan mengabulkan permintaanku ini."
Nizam akhirnya tersenyum lega dan menjabat tangan Diki. "Terima kasih, Dik. Semoga permintaanmu diterima."
Usai berbicara dengan Diki, Nizam dan Arfan memutuskan untuk kembali ke hotel yang berada di pusat kota. Meski lelah, ia tetap harus mencari kebenaran dan pelaku dibalik kecelakaan yang telah merenggut nyawa calon istrinya itu.
"Zam, sampai kapan kau akan di sini? Dion sejak tadi menghubungiku, katanya ada beberapa undangan kegiatan yang sedang menunggumu di Kota B," tanya Arfan memecah keheningan di dalam mobil itu.
"Aku tidak tahu, kau pulanglah lebih dulu ke kota B, kau bisa mewakilkan aku di acara-acara itu," jawab Nizam sambil memejamkan matanya walau tidak tidur.
"Tapi, Zam ...."
"Sebentar saja, Fan. Jika aku mendapat titik terang, aku akan langsung kembali ke kota B."
Arfan membuang napas kasar, "Baiklah jika itu perintahmu, Bos."
Hening sesaat.
"Fan, tolong carikan aku lokasi dari gudang ini." Nizam memberikan foto Aura yang berdiri di depan gudang kepada Arfan.
"Untuk apa?"
"Carikan saja dulu, ada sesuatu yang ingin kucari tahu."
"Baik, Bos."
...
Nizam duduk di atas tempat tidur yang berada di kamar hotel. Pria berkacamata itu tampak fokus memperhatikan foto demi foto milik Aura yang ia curigai. Entah, dari mana ia harus memulai, tapi ia merasa kecelakaan Aura memiliki hubungan dengan foto-foto tersebut.
Suara ponsel Nizam berbunyi, rupanya itu adalah pesan yang dikirim Arfan mengenai lokasi dari gudang tua yang berada di belakang Aura dalam foto. Tak ingin tinggal diam, malam iti juga Nizam menarik jaket dan menyewa sebuah motor untuk ia gunakan pergi ke sana.
Suasana gudang tua itu tampak gelap dan sepi. Nizam hanya mengamati dari jauh karena terdapat pita polisi di depan jalan menuju gudang tersebut yang bertuliskan "do not cross."
Ketika hendak pergi, suara beberapa motor dari kejauhan terdengar mendekat. Nizam yang menyadari hal itu segera bersembunyi dan memperhatikan gerombolan motor dan pengendaranya yang memakai pakaian serba hitam.
Terlihat mereka berhenti di depan gudang, di mana seorang pria berlari masuk ke dalam gudang. Tak lama setelah itu, pria tersebut keluar dengan membawa beberapa barang dalam tas hitam, entah apa isinya. Beberapa saat kemudian, gerombolan motor itu kembali melaju.
Tanpa rasa takut sedikit pun, Nizam mengikutinya hingga sampai di tempat yang cukup sepi. Di sana sudah menunggu dua orang berbaju serba hitam, dan satu berbaju merah.
Satu satu pria bertubuh besar dengan wajah tertutup helm turun dari motor dan langsung memukul pria berbaju merah. Tak hanya satu kali, bahkan beberapa pukulan diterima pria itu hingga tak berdaya di tanah. Mereka juga terlibat percakapan beberapa saat. Meskipun Nizam tidak mengetahui apa yang mereka bicarakan, tapi dari nada suaranya, ia tahu jika pria bertubuh besar itu sedang marah.
Setelah puas memukul dan memarahi, pria bertubuh besar itu pergi dengan motornya diikuti dengan beberapa gerombolan motor lainnya dibelakang. Nizam yang merasa kondisi sudah aman akhirnya langsung menghampiri pria berbaju itu dan membawanya ke rumah sakit karena kasihan.
Di rumah sakit, Nizam baru saja membayar biaya administrasi pria berbaju merah. Namun, ketika ia kembali ke IGD, pria itu sudah tidak ada.
"Maaf, Pak. Pria tadi pergi usai kami mengobati lukanya. Kami berusaha menahan, tapi dia memberontak." Nizam hanya bisa membuang napas kasar mendengar penuturan sang perawat. Padahal ia cukup penasaran dengan apa yang baru saja terjadi kepada pria itu.
☘☘☘
Keesokan harinya, Arfan benar-benar pulang lebih dulu untuk menggantikan Nizam memenuhi undangan beberapa acara. Sementara Nizam masih memilih tinggal di kota A untuk kembali menemui Diki yang memintanya kembali datang sore itu.
Chiiiit
Nizam menghentikan mobilnya secara mendadak saat tiba-tiba seorang wanita berhijab dengan pakaian yang sedikit berantakan berlari ketakutan ke depan mobilnya yang sementara berjalan.
"Astaghfirullah!"
-Bersambung-
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
Keyla Khasanah
klo jodoh GK kemana,,lnjut up kak
2023-08-04
1
Ria Dardiri
lanjut kak
2023-08-03
1
Ria Dardiri
si bulan kah🤔🤔
2023-08-03
1