⚠️BIASAKAN KOMEN UNTUK MEMBUAT AUTHOR SEMANGAT⚠️
Mereka makan sambil bercanda, tapi tidak dengan Oliv yang tersenyum tipis.
"Kenapa, Lu? Sakit?"
"Engga," jawab Oliv singkat.
Gadis itu sibuk makan dan pura-pura tidak mendengar saja, pikirannya menerawang jauh kala itu. Andai ... hanya andai saja tidak berharap lebih.
Pak Harun yang menyadari perubahan raut wajah Oliv, memberi kode pada Gita dan Bu Santi. Namun, Gita mengedikkan bahunya tanda tidak tahu.
"Woy!"
Bukan hanya Oliv yang kaget, dengan kesal dia menjitak sahabatnya itu tanpa ampun.
"Oliv!"
"Bisa engga sih Lu jangan kaya Tarzan, lama-lama kuping Gue bisa sakit."
"Sadis amat, Bu. PMS, Lu?"
Oliv mendelik tajam ke arah sahabatnya itu, tidak bisakah diam barangkalis sejenak saja. Eh, dia juga begitu'kan. Haduh, Oliv ... Oliv.
Terlihat jelas meski pun mereka bar-baran, cuek akan penampilan mau seperti apa. Tetapi, untuk urusan kebersihan mereka itu juara. Buktinya usai makan mereka langsung membereskannya dan membuang langsung ke depan. Saking rajinnya itu.
Karena tidak ada kegiatan kedua gadis itu tadi sudah bilang, kalau ingin keliling perusahaan ini. Tetap saja mereka takjub melihatnya.
"Liv, Lu yakin ga mau ngerjain ni perusahaan."
"Lu engga mikirin Pak Harun?"
"Hehehe."
"Kaga lucu," ucap Oliv skartis.
Tentu saja itu membuat Gita mengerucutkan bibirnya menjadi lima centi, bentar emang bisa, ya? Wkwkwk abaikan!
"Gue merasa seperti ada keluarga di sini, Git," kata Oliv menatap bangunan di hadapannya.
Gita kembali mencebik kesal mendengar panggilan sahabatnya itu. "Bisa engga jangan panggil, Git! Ita atau Ta lebih baik."
Oliv hanya menoleh malas dan meninggalkan gadis itu masuk ke dalam, niat keluar ingin tenang agar tidak stres. Ini malah dibuat kesal oleh Gita.
Entah kenapa suasana hati Oliv tidak baik, apa mungkin karena makan bersama tadi atau entahlah. Hanya Oliv yang tahu akan rasa itu.
-----
Arka yang penat menatap layar komputer saja, mulai menggerakkan lehernya ke kanan dan kiri. Tangannya pun direnggangkan karena pegal, dia pun bangkit berjalan menuju ke arah jendela.
Semua terlihat kecil dari sini, apa lagi dengan bangunan yang tinggi. Arka masih tidak menyangka kalau perusahaannya akan sebesar ini, butuh waktu tiga tahun lebih dia membuatnya sampai sekarang. Mengingat itu rasanya seperti mimpi, apa lagi saat melihat kelakuan dua anak magang tadi.
Dia tersenyum tipis melihat mereka berdua itu, Arka baru tahu kalau ada beberap sekolah yang hari ini magang. Padahal tadi saat bertanya pada sekretarisnya, katanya sudah memberi tahu. Ada tiga kalau tidak salah, tapi sayang pemuda itu lupa.
Saat melihat Oliv dia seperti tidak asing, entah perasaan apa yang dirasakannya. Namun, saat mengingat tingkahnya tadi Arka jadi kesal sendiri.
"Ingin cari gara-gara kamu," gumamnya dingin. "Dasar bocil."
Arka terus saja memperhatikan mereka sampai mereka masuk, rasanya dia benar-benar penat akan kegiatan ini. Namun, mau bagaimana lagi perusahaan ini sudah diberikan padanya.
Mau tidak mau dia harus siap akan semuanya, sebagai seorang pria harus menjadi orang yang bertanggung jawab. Mungkin itulah yang membuatnya menjadi dingin, seperti membangun sekat ke orang sekitar. Dengan begitu Arka tidak heran kalau dirinya dikenal sebagai pria dingin.
Namun, hari ini semua tidak lagi sama. Begitu pun seterusnya akan banyak hal baru, yang akan membuat para karyawan heran.
Suara dering Hpnya membuatnya kesal, apa lagi saat tahu Oliv masuk tadi. Hpnya terus berdering berulang kali, saat melihat nama yang tertera dengan cepat dia mengangkatnya.
"Iya, Ma," jawab Arka setelah mengucap salam.
"Kamu ini dari mana? Kenapa baru diangkat?"
Arka langsung menjauhkan telinganya dari Hp, tidak biasanya Fitria-sang mama menelpon saat begini.
"Arka," panggil suara dari Hpnya.
"Apa, Ma," jawab Arka pelan.
"Kamu dengar engga sih Mama bilang apa?" omel mamanya kesal.
Baru saja Arka ingin menjawab.
"Kamu itu, ya memang kebiasaan. Orang tua bicara tidak pernah didengarkan. Apa lagi kalau istri cerita nanti," lanjut mamanya.
'Huft, sabar Arka ... sabar.'
"Arka!" pekik mamanya kesal.
"Ma, Arka lagi sibuk nanti lagi, ya. Love you, Ma salam buat Papa," kata Arka dengan cepat mengucap salam dan lansung mematikan panggilan.
Data dan wifi langsung dioffkannya semua, bisa-bisa mamanya akan membahas soal nikah kalau diladeni.
Padahal dia baru berusia dua puluh empat tahun, tapi mamanya selalu saja membahas soal nikah. Pikirannya sekarang bukan nikah, baginya selama ini perempuan yang mendekati hanya karena dia kaya. Juga ketampanannya yang mampu membuat kaum hawa terpesona.
Walau pun sifatnya dingin dan terkesan arogan, tapi dengan keluarga terutama mamanya dia akan manja dan menurut. Itulah anak laki-laki yang sebenarnya, mereka tidak akan mudah menujukkan sifat asli. Kecuali pada yang dipercaya, mau seramah apa pun itu mereka.
Tetap akan menjaga dan dingin, tapi jika sifat itu hilang dan berubah karena wanita. Pasti wanita itu orang spesial dalam hidupnya.
Tidak ingin memusingkan tentang pernikahan, karena memang Arka masih ingin menikmati kesendirian ini. Sampai dia bisa menemukan orang yang tepat, bisa menerimanya penuh ketulusan bukan karena kekayaan.
Baru saja mau fokus telpon kantor sekarang berdering.
"Arka."
Pemuda itu menepuk jidatnya, ternyata orangtuanya terus saja meneror. Jika, tadi dia ditelpon mamanya, kini Dermawan-papanya yang menelpon.
"Iya, Pa," jawab Arka sopan.
"Katanya kantor kamu ada anak magang, ya?"
"Iya, Pa. Kenapa?"
"Ada yang cantik engga? Terus ada yang kamu taksir tidak? Atau,-"
Telpon langsung ditutup oleh Arka, tidak bisakah mereka membiarkan dirinya tenang? "Kenapa sih mama sama papa ngebet banget pengen gue nikah? Apa karena usia? Lagian juga gue masih muda," gerutunya kesal.
Yap, itulah Arka kalau kesal maka mengomel akan menjadi pilihannya. Jadi sisi pria kejam itu tidak selamanya kejam, contohnya Arka yang terkenal dingin. Saat sendiri dia bisa begitu narsis.
Ingin mematikan Hp nanti ada clien, akhirnya data yang tadi dimatikan di nyalakan kembali. Tentunya setelah mengubah pengaturan menjadi silent, dia ingin melanjutkan kegiatannya dulu.
Pemuda itu kembali fokus pada komputer di hadapannya, sesekali dia menggeliat menggerakkan tangannya. Mungkin dia merasa kram.
Dia benar-benar menghentikan kegiatannya saat azan Asar berkumandang, sekarang dia tinggal mengecek kemana besok akan meeting.
Segera dia bangkit melaksanakan perintah-Nya.
Saat di dalam lift dia bertemu sekretarinya Clara, Arka tahu wanita itu tertarik padanya. Pemuda itu hanya membalas senyum singkat, tidak berniat menjawab pertanyaan yang tidak penting menurutnya.
Rasanya untuk sampai ke lantai bawah lama sekali. "Kamu kenapa Arka?" tanya Clara lembut, sayangnya pemuda itu malah bergidik ngeri mendengar suaranya.
"Engga," jawab Arka cuek.
Padahal kalau dilihat-lihat Clara cantik, dengan rambut sebatas tulang rusuk. Belum lagi wajahnya yang cantik, tapi hal itu sama sekali tidak membuat Arka tertarik.
'Akhirnya sampai juga,' batin Arka.
Segera dia keluar dari lift meninggalkan Clara, tapi tampaknya gadis itu keukuh mengikutinya. Saat sampai di mushola banyak yang sudah bersiap, tampak Oliv dan Gita yang sudah selesai berwudhu berjalan masuk.
Arka langsung mengambil wudhu, dinginnya ari mampu menenangkan pikirannya. Pemuda itu langsung masuk, karena semua seperti menunggunya untuk berjamaah.
----
Jadi pengen deh berjamaah sama Arka, eh. Hehe.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments