Bella menatap dirinya depan kaca, rambutnya yang terurai sudah ia ikat ke belakang, pakaian sekolahnya yang sudah agak kusam tapi masih layak dipakai sudah ia kenakan. Setelah puas dengan penampilannya, Bella keluar dari kamarnya dan menuju kamar Jocelyn. Bella dengan hati-hati melangkah masuk, mendekati Jocelyn yang masih tertidur pulas di ranjang.
Bella masih ingat wajah Jocelyn semalam yang hampir kehilangan nyawanya. Tapi Jocelyn tidak akan mengingat apa pun. Saat Jocelyn sangat mabuk, ia hanya akan berpikir itu sebuah mimpi buruk.
Bella menyingkirkan rambut Jocelyn yang menutupi wajahnya, tidak ingin membangunkannya. "Ma, Bella berangkat ya," katanya dengan sangat pelan.
Tidak ada yang spesial di pagi ini, selain karena cuacanya yang sedikit mendung. Setidaknya tidak hujan seperti hari-hari sebelumnya. Bella sampai di depan gerbang sekolahnya. Ia menarik napas panjang dan mengembuskannya. Ekpresinya menunjukkan kekhawatiran.
Setelah kepergian Arro semalam, Bella tidak bisa tidur. Ia khawatir dengan apa yang akan terjadi hari ini. Ia berharap Cyntia dan gengnya tidak mengganggunya, atau kalaupun mereka mengganggu, dia hanya akan mengendalikan perasaannya untuk tidak terluka. Mengabaiakan adalah satu-satunya pilihan yang bisa ia buat sekarang.
Saat di kelas, ia lega teman-temannya masih sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Bella mengeluarkan buku tulisnya dan membaca ulang materi yang telah ia catat sebelumnya. Tapi sebuah kertas yang telah diremas kusut membentuk bola mengenai belakang kepalanya. Bella yang kaget, refleks berbalik ke arah datangnya lemparan itu. Tapi semua tampak berpura-pura tidak terjadi apapun dan hanya tertawa lepas. Bella sekali lagi, menghirup udara banyak, menenangkan perasaannya dan kembali fokus pada apapun yang ada di buku tulisnya.
Setelah pelajaran kedua berakhir, waktu yang dikhawatirkan Bella akhirnya tiba. Bella dengan tidak tenang memakan rotinya. Sambil sesekali menatap ke arah pintu. Sampai bunyi bell tanda pelajaran akan dimulai kembali, Cintya tidak juga muncul. Bella tersenyum lega, ia mengeluarkan bukunya untuk memulai pelajaran baru.
Tapi tiba-tiba seorang siswa yang ia kenal bernama Jason sebagai perwakilan kelas menginformasikan kalau pelajaran selanjutnya akan dibatalkan karena dewan sekolah sedang berkunjung. Saat itulah, ia melihat Cintya dan gengnya berjalan masuk dan menuju ke mejanya.
"Hello Bella, Sayang," sapaan khas Cintya untuknya. Bella menundukkan wajahnya, ia berharap dalam hati ini akan segera berakhir.
"Cintya, aku akan menerima semua perlakuanmu tapi jangan hari ini." Bella mengatakannya pelan, ia masih menunduk dalam. Ia tidak ingin melihat wajah Cintya.
"Kau bicara apa sialan? Aku tidak dengar sama sekali." Cintya mendekatkan wajahnya pada Bella. Tapi Bella yang tidak melihat pergerakan itu, mengangkat kepalanya tiba-tiba, membuat kepala Bella memukul keras wajah Cintya.
Cintya terdorong ke belakang, sambil menutup wajahnya. Ia meringis kesakitan. Saat tangannya ia jauhkan, mereka bisa melihat darah yang keluar dari hidung Cintya.
Bella yang melihatnya berdiri terkejut dan ingin menghampiri Cintya, "Cintya, aku minta maaf. Aku tidak bermaksud unt-" ucap Bella terpotong saat Cintya sudah duluan maju ke arahnya dan … bunyi tamparan itu menggema di kelasnya.
Bella yang tertampar kuat hanya bisa terdiam karena terkejut. Semua siswa dalam ruangan itu pun sama terkejutnya. Tapi mereka memilih untuk tidak ikut campur.
"DASAR ******! KAU PIKIR KAU SIAPA HAA?!" Cintya berteriak marah, tangannya merogoh kantung tasnya dan tersenyum saat mendapatkan apa yang ia cari. "Darah dibayar darah, bagaimana?" ia mengeluarkan cutter dan membuka mata pisaunya.
Teman-temannya yang berdiri disampingnya tampak khawatir. Mereka tau, Cintya tidak sedang bercanda.
"Cin, jangan berlebihan." Salah satu temannya menahan tangan Cintya, memperingatkannya.
"DIAM!" perintah Cintya dengan nyalang. Matanya masih dipenuhi amarah. Belum pernah ia merasakan terhina seperti ini. Apalagi karena seorang Bella. Seorang pecundang yang jauh lebih rendah darinya.
Bella hanya berdiri diam, ia takut. Tapi ia bukanlah takut dengan apa yang akan Cintya lakukan, tapi ia takut dengan apa yang akan terjadi setelah ini.
Saat sedang dalam pikirannya, Cintya sudah maju dan melayangkan cutter itu menggores lengan Bella. Darah mengalir dari lengannya, Bella meringis perih merasakan goresan itu, ia refleks menutup lukanya dengan tangan.
Saat Cintya akan melayangkan goresan kedua, seketika itu juga tiba-tiba kilatan petir hebat yang disusul dengan suara guntur yang menggelegar, sepersekian detik kemudian, ledakan dari lampu-lampu kaca di atas mereka mengejutkan seisi kelas itu. Semua yang menyaksikan apa yang terjadi berteriak kaget dan menundukkan kepala mereka. Menghindar dari jatuhan pecahan di atas mereka.
Awan yang semula hanya berupa lapisan tipis kini berubah menjadi semakin tebal dan bergerak cepat menutup cahaya matahari, membuat suasana dalam ruangan itu menggelap dan berubah mencekam.
Bella yang tau itu perbuatan Arro segera menutup matanya. Dia berteriak dalam hati memohon kepada Arro untuk tidak melakukan apapun.
"Arro, aku tau kau mendengarkan ini. Aku mohon jangan lakukan apapun!" Bella mengulang-ulang kalimat itu dalam hatinya. Sekali lagi, Petir menyambar hebat disertai angin kencang. Seperti seseorang di sana sedang menyatakan kemurkaannya.
"Arro, aku mohon." Bella terus memohon dengan lirih dalam hatinya. Air matanya jatuh. Ia sangat tidak ingin hal buruk terjadi. “Arro, tolong berhentilah!” seru Bella lagi dengan matanya yang masih terpejam.
Angin yang tadinya sangat kencang pun perlahan berhenti berhembus dan awan kembali membiarkan matahari mengeluarkan cahayanya. Suasana dalam kelas tampak mulai terang kembali.
Cintya yang juga masih terkejut dengan apa yang terjadi, mundur dengan ketakutan lalu berlari keluar ruangan itu.
Saat Bella membuka matanya, ia melihat semua orang menatapnya aneh. Bella tersenyum getir. Ya, setidaknya untuk sementara tidak akan ada yang berani mengganggunya lagi. Ia pun keluar menuju ruang kesehatan, luka dilengannya sudah semakin perih.
...-----...
Pelajaran terakhir sudah berakhir 15 menit yang lalu, tapi Bella masih berdiam diri di kursinya. Ia meletakkan kepalanya di atas meja, napasnya berembus berat, ia cukup lelah dengan apa yang terjadi.
Setidaknya, dulu jika seseorang menyakitinya ia hanya akan melupakannya dan tetap menjalani hari seperti biasa. Toh dia sudah terbiasa seperti itu. Tapi setelah perjanjiannya dengan Arro, dia harus memastikan keselamatan orang yang menyakitinya.
Bella bukan seorang yang munafik, terkadang ia memang sangat ingin membuat Cintya, Jocelyn, dan orang-orang yang menyakitinya hilang dari hidupnya. Tapi bukan berarti mati. Ia hanya ingin mereka berhenti menyakitinya atau cukup mengabaikan eksistensinya.
Kaki Bella melangkah keluar dari lingkungan sekolah. Tapi sedari tadi seperti ada yang memperhatikannya. Bella menoleh kiri dan kanan, mencari dari mana perasaan tidak nyaman itu. Tapi yang bisa ditangkap oleh matanya, hanya seorang pria tinggi dengan pakaian hitam, serta masker yang menutupi wajahnya.
Bella memperhatikan gerak gerik pria itu. Tidak ada yang mencurigakan. Pria itu hanya berdiri di sana. Di ujung gerbang sekolahnya. Bahkan saat Bella melintas di depannya, pria itu hanya melihatnya tanpa melakukan apapun. Bella pun berjalan tanpa menengok lagi ke belakang.
Sesampainya di rumah, Bella tau ia tidak seharusnya pulang di jam segini, tapi ia sunguh lelah. Ia tidak lagi mempermasalahkan Jocelyn yang akan memaki dirinya.
Ia melepaskan tas punggungnya dan melemparnya ke sembarang arah, lalu menghempaskan tubuhnya ke ranjang. Bella ingin tidur. Ia ingin beristirahat sejenak, sebelum Jocelyn menyadari kepulangannya.
Bella yang sedang terlelap, terganggu dengan sebuah usapan lembut diatas perbannya. Ia dengan pelan membuka matanya dan disana Arro sudah berdiri. Bella yang terkejut, langsung mengambil selimut untuk menutupi pahanya. Rok sekolahnya tersingkap saat ia tertidur.
"Sepertinya kau harus belajar sopan santun." Bella tampak terganggu dengan kehadiran Arro.
"Dan sepertinya kau harus belajar mengunci jendelamu," jawab Arro tanpa ekspresi.
Bella melihat ke arah jendelanya yang sudah terbuka lebar. Padahal ia ingat betul tidak membuka kunci jendelanya saat pulang sekolah tadi.
Arro tidak mengatakan apapun lagi, ia hanya berdiri di sana dan kembali mengusap perban Bella.
"Ini sudah tidak sakit. Hanya goresan kecil," ucap Bella berbohong. Ia masih bisa merasakan sedikit perih di lengannya.
“Kau masih bisa berbohong?" Arro menyeringai, Bella lupa perkataan Arro semalam.
"Arro … aku mohon. Aku bersungguh-sungguh dengan apa yang aku minta siang tadi.”
"Aku tau. Karena itu, aku tidak membunuhnya." Arro mengatakannya seperti orang yang kecewa.
Mata Bella membelalak mendengar perkataan Arro, "Arro, aku tidak ingin siapa pun terluka." Netra Bella sudah berkaca-kaca. "Aku sudah terbiasa dengan keadaan ini, aku hanya perlu mengabaikan mereka dan melanjutkan hidup." Bella menatap Arro. Arro bisa melihat dan merasakan sakit dalam hati Bella.
"Sekarang tidurlah!" perintah Arro, mengabaikan perkataan Bella. Ia mendekat dan mengusap lembut surai Bella.
Bella tidak menjawab lagi, ia hanya melihat Arro yang sudah menghilang di kegelapan malam. Saat itu, Bella merasakan sesuatu yang aneh. Kenapa sangat hening? Seharusnya Bella hanya bisa tertidur 5 menit sebelum Jocelyn menggedor kasar pintu kamarnya.
Bella turun dari tempat tidurnya, membuka kunci kamar, lalu mengintip dari balik pintu. Semua ruangan gelap gulita. Seperti tidak ada aktivitas sejak ia pulang sekolah.
“MAA!” Teriak Bella, ketakutan tiba-tiba menghantui perasaannya. Jangan-jangan Arro mengingkari janjinya dan menyakiti Jocelyn. “MAA…!” teriak Bella lagi, saat ia tidak menemukan Jocelyn di kamarnya.
Langkah Bella terhenti saat melihat tubuh Jocelyn tergeletak di dapur. Bella berlari menghampiri Jocelyn. Air matanya sudah jatuh. “Tidak! … Maaa?” Bella menepuk-nepuk pipi Jocelyn pelan. Lalu, ia mendengar suara dengkuran halus dari mulut Jocelyn dengan sisa makanan yang belum tertelan. Saat itulah Bella sadar, Arro sudah membuat Jocelyn tertidur di dapur.
...-----...
Keesokan harinya, Bella yang sudah bersiap dengan seragam sekolahnya mendengar Jocelyn mengomel karena tidak menemukan botol alkohol yang masih terisi.
"Heh anak sial! Beli alkohol di depan sana!" perintah Jocelyn sambil melemparkan uang kertas ke arah Bella.
"Ma, aku sudah pakai seragam, pasti nggak bakal di kasih sama pegawainya," jelas Bella lembut.
"Saya tidak peduli. Curi saja kalau tidak bisa," bentak Jocelyn.
"Ma …."
"MASIH MAU MEMBANTAH HAA?!" Jocelyn berteriak marah, tangannya sudah terangkat untuk menampar Bella. Tapi tangannya terhenti di udara, ia menginggat kejadian mengerikan di ‘mimpi’nya.
Bella yang melihat Jocelyn tidak melakukan apa-apa lagi sedikit lega. Ini masih pagi, ia tidak ingin ke sekolah dengan merah di pipinya.
"Aku berangkat ma." Bella berjalan keluar pintu. Jocelyn hanya melihatnya tanpa mengucapkan apa pun lagi.
Setibanya di sekolah, Bella langsung memasuki kelasnya. Seperti biasa, ia duduk tenang tanpa memperdulikan apa pun yang terjadi di sekitarnya.
Hingga ia mendengar suara dari Jason dari depan sana. "Teman-teman, mohon doanya untuk Cintya Eloise. Semalam dia masuk ke Rumah Sakit dan masih kritis hingga sekarang."
Bella yang mendengar kabar itu terkejut sambil menutup mulutnya yang terbuka lebar. Matanya sudah memerah menahan tangisan, sungguh ia tidak ingin ini terjadi.
"Katanya dia loncat dari kamar apartementnya."
"Kenapa tiba-tiba dia ingin bunuh diri? Padahal dia adalah seorang perundung."
"Dari berita yang beredar, ada yang mengatakan kalau dia menggunakan obat-obat terlarang, dan sepertinya.…"
Suara bisik-bisik itu terdengar oleh Bella. Ia sudah tidak tahan lagi, pikirannya kacau, ia tau siapa yang harus disalahkan. Bella segera berdiri dan berlari menuju rooftop.
"ARRO!!!!" teriak Bella sekencang mungkin. "Aku tau kau mendengarku, jika kau tidak datang, aku akan loncat dari gedung ini," ancam Bella.
Dari arah belakang, Bella mendengar suara kepakan sayap. Ia berbalik cepat, "Apa yang su-" ucapan Bella terhenti, wajahnya menunjukkan keheranan. Pria yang berdiri dihadapannya bukanlah Arro. Tapi pria yang mengintainya kemarin.
"Haii..." Senyumnya ramah, tapi entah kenapa Bella merasakan dinginnya tatapan itu. Bella ingin segera berlari menjauh dari pria itu.
...-----...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments
Doubi
Dia sangat banget sama mamanya🥺
2023-08-18
0
Fatmah Rizkidiniah
Aduh cintya, bikin emosi…
2023-08-12
1
Maria Fernanda Gutierrez Zafra
Hiks, udah abis. Pengen lagi baca semua karya author luar biasa ini!
2023-07-30
1