After The Divorce
Malam ini begitu mendung, suasana yang seharusnya hangat tiba-tiba berubah muram. Rumah kontrakan yang sudah enam tahun ia tinggali berubah menjadi rumah yang tidak nyaman.
Nina merasa dunianya hancur saat sebuah kata keluar dari mulut sang suami yang sudah lima bulan ini tidak pulang.
"Kita pisah ya." ucapan itu terasa begitu enteng meluncur dari bibir laki-laki yang telah menikahinya selama enam tahun itu.
"Maksud mas Kamal apa?" perasaan Nina sudah mulai tidak enak. Nina menyusul suaminya yang duduk di tepi ranjang itu dan memastikan apa yang ia pikirkan tidak sama dengan maksud dari ucapan suaminya.
"Kita cerai, aku akan urus semuanya!"
Jedarrrrrr
Bak petir yang menyambar hingga mengoyak tubuh serta hari Nina, ia berharap ini hanya mimpi yang akan hilang saat ia bangun besok pagi.
"Mas lagi ngeprank Nina ya?" Nina masih berusaha tersenyum meskipun bibirnya bergetar. Tampak sekali ia sudah payah menahan agar air matanya tidak jatuh.
"Aku serius Nin, kayaknya kita lebih baik sendiri-sendiri. Pernikahan tanpa cinta ini akan menyiksa batin kita.
Tanpa cinta?
Bagaimana bisa mas Kamal mengatakan ini pernikahan tanpa cinta, sedangkan kita sudah hidup bersama hingga enam tahun lamanya?
"Mas, pikirkan baik-baik mas." suara Nina bahkan sudah begitu serak. Bukan karena batuk, tapi ia tengah berusaha keras menahan agar air matanya tidak keluar.
"Maaf dek, tapi keputusan saya sudah bulat. Saya merasa hubungan kita tidak bisa di lanjutkan, akan lebih baik jika kita jalan sendiri-sendiri. Jadi aku talak kamu, kamu bebas sekarang."
Meskipun hanya satu kata, tapi begitu menyakitkan bagi Nina. Sepertinya ribuan pedang yang tiba-tiba menhujam jantungnya. Ingin sekali meraung hingga semua orang tahu jika ia tidak menerimanya. Tapi apalah daya, ia masih punya anak-anak yang harus ia jaga perasaannya.
"Mas, pikirkan anak-anak. Bagaimana mereka nanti jika kita bercerai? Mereka butuh sosok kedua orang tuanya."
Nina memilih berlutut dari pada berteriak-teriak, ia merangkul kedua kaki suaminya, berharap pria itu tidak akan pernah pergi dan berubah pikiran untuk lebih memilih dirinya dan keluarga kecilnya,
"Jangan khawatir, aku akan tetap memberikan hak mereka. Aku juga akan menemui mereka setiap pulang."
"Tapi kenapa mas? Apa kurangnya Nina buat mas? Nina sudah mengorbankan semuanya buat mas, Impian dan cita-cita Nina."
Teringat sekali saat Kamal melamarnya, saat itu Nina baru saja lulus SMA, ia mengurungkan niatnya untuk melanjutkan pendidikannya dan memilih menjadi istri seorang pemuda yang terbilang mapan di kampungnya.
Walaupun beberapa tahun terakhir ia baru tahu jika Kamal melamarnya karena bapak Nina. Bapak Nina yang memberi modal Kamal untuk berangkat dan bekerja di pelayaran dan ternyata gantinya akan di jadikan menantunya.
Tapi terlepas itu, bukankah mereka sudah di karuniai dua orang anak yang lucu-lucu, apa itu masih kurang untuk membuktikan jika sudah tumbuh cinta di hati mereka?
"Kamu nggak kurang Nin, sama sekali nggak kurang. Tapi mas sudah mencobanya hingga enam tahun ini dan semua masih sama, mas tidak bisa mencintai kamu. Kita menikah karena perjodohan, karena mas merasa berhutang Budi sama bapak kamu."
Tidak cinta? Lalu bagaimana dengan dua anak yang tidak berdosa itu, apa benar mereka tidak berarti sama sekali untuk mas Kamal.
Kali ini Nina tidak lagi bisa menahan air matanya, hatinya sudah sangat hancur. Bahkan langit pun tahu apa yang ia rasakan. Hujan deras seolah tidak berhasil membuat suasana menjadi dingin, semakin malam malah semakin panas saja.
"Mas, tapi pikirkan anak-anak mas. Mereka masih membutuhkan mas sebagai sosok ayah bagi mereka."
"Kalau soal itu jangan khawatir, aku akan menyerahkan hak asuh sepenuhnya sama kamu dan biaya hidup mereka aku juga yang akan menanggungnya."
Selama enam tahun ini Nina sudah berusaha menjadi istri dan ibu yang baik, menantu yang baik, dan juga ipar yang baik bagi saudara-saudara Kamal. Ia bahkan memendam keinginannya untuk bisa bekerja seperti teman-temannya yang lain demi agar rumah tangganya bahagia karena ia yakin hanya suaminya saja yang bekerja mereka tidak akan kekurangan materi.
"Aku akan segera urus surat-surat nya dan kamu tinggal tanda tangan. Lusa saat aku libur kita akan ke rumah ibu dan bapak untuk menjelaskan semuanya pada mereka." ucap Kamal dengan begitu yakin seolah tidak memperdulikan air mata Nina.
"Aku pergi,"
Nina masih memilih membungkukkan badannya, ia juga duduk di lantai dengan air mata yang terus mengalir deras.
hingga suara pintu mobil yang tertutup membuat Nina mengangkat kepalanya, meskipun dengan tubuh lemasnya, ia memberanikan diri untuk melihat ke arah jendela dan cahaya dari lampu mobil menyurut ke arah kamarnya kemudian perlahan menghilang dari pandangan.
Nina kembali tersungkur di lantai samping jendela dan ia hanya bisa menangis sejadi-jadinya. Tidak pernah terbayangkan sekalipun meskipun dalam mimpi sekalipun ia akan berpisah dengan suaminya.
Tapi kata-kata yang masih sangat menggema di telinga dan jantungnya itu seolah menyadarkan dirinya bahwa semuanya telah berakhir. Rumah tangga yang coba ia bangun dengan pondasi yang kokoh nyatanya tetap roboh dan yang tersisa hanyalah kenyataan bahwa ia bukan lagi istri dari Kamaludin Arifin.
Mulai malam ini, ia sudah bukan lagi istri seorang Kamal. Dan kenyataan kalau ia tidak punya pengalaman apapun selain menjadi ibu rumah tangga membuatnya semakin khawatir dengan kelangsungan hidupnya dan juga anak-anak nya nanti tanpa suami.
Hingga suara petir yang menyambar bersamaan dengan lampu yang tiba-tiba padam membuat Nina terhenyak, anak-anak nya tidur di kamar terpisah dengannya.
Dengan mengesampingkan hatinya yang remuk, dengan kakinya yang masih gemetar segera ia berjalan cepat dengan penerangan senter ponsel android nya ia berjalan menuju ke kamar anak-anaknya yang berada di kamar samping.
Saat pintu terbuka, si sulung rupanya sudah bangun, ia memang fobia gelap.
Nina segera duduk dan memeluk, putra sulungnya itu.
"Nggak pa pa sayang, akan baik-baik saja. Ada ibuk." ucap Nina sambil mengusap punggung putranya itu.
"Akmal takut buk." Akmal semakin mengeratkan pelukannya seolah-olah ibunya itu akan pergi darinya saat ia melepaskan pelukannya.
"Jangan takut, ada ibuk. Ibu akan menemani kakak sama adik tidur di sini."
Nina segera mengajak putranya kembali tidur, ia mengusap punggung putranya seraya memeluk tubuhnya.
Ranjang sempit itu akhirnya di gunakan untuk tidur tiga orang.
Meskipun ia sedang tidak baik-baik saja tapi ia tidak ingin membuat anak-anak nya juga merasakan hal yang sama seperti dirinya saat ini.
Bersambung
Jangan lupa untuk memberikan Like dan komentar nya ya kasih vote juga yang banyak hadiahnya juga yang banyak biar bisa up tiap hari
Follow akun Ig aku ya
Ig @tri.ani5249
...Happy Reading 🥰🥰🥰...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
Hera Puspita Sari
hadir lagi thor
2024-02-10
0
Alivaaaa
aku hadir Thor 😊
baru baca udah langsung nyesek nih 🤧
2024-01-13
0
yono PGSD Tasikmalaya
baru baca udah jedar jeder aj.... bikin pinisirin
2023-12-21
0