Keluarga Pejabat (1)

Berlatih

panahan selalu membuatnya senang. Membidik dengan konsentrasi penuh, begitu

anak panah itu melesat ia merasakan perasaan yang sulit untuk digambarkan. Bagi

nya panah dan busur sudah seperti jiwa dan raga yang tak bisa dipisahkan,

keduanya saling membutuhkan. Mungkin hari ini ia cukupkan berlatih panah, dan

mulai berkemas untuk pulang. Ia mengenakan baju siswi sekolah ini pada umumnya,

ia mengenakan baju putih dengan kain tipis berenda di lengan dan bawah

pinggangnya, ia tak mengenakan penutup kepala atau kain untuk mengikat dahi

nya, ia biarkan rambut panjangnya tergerai ke belakang dan anak rambut tak ia

biarkan menjadi poni. Sebagai penutup bagian bawah, ia mengenakan celana pendek

namun dibalut dengan kain bermotif indah yang membelah sampai bagian sedikit

paha nya sehingga memudahkan ia dalam bergerak namun ia tak membiarkan mata lalat

liar berontak, apalagi kulitnya yang kuning bersih dan wajahnya yang ayu. Asrama

putri ini sudah seperti rumah baginya, meski ia sendiri masih sensitif tentang

rumah dan kampung halaman. Ia masih tinggal di sekitaran kota Manggayu bersama

kerabat dekatnya yang mau menampungnya selama belasan tahun terakhir dan

membiayai segala kebutuhan dan keinginannya. “Sudah mau libur ya?” dia bergumam

sendirian menatap target panahan yang sudah tidak berbentuk akibat sering

dihujani panah olehnya. Dia menarik napas, dan memutuskan untuk kembali ke

asrama putri.

            Sesampainya ia di asrama putri, dia

mendengar rumor jika ada yang akan mengadakan duel di arena latihan sore ini.

Ia sangat tidak tertarik dengan duel yang dilakukan laki-laki dari jurusan

pedang, dia punya urusannya sendiri: berbenah. Namun ada hal yang membuat ia

tertarik dengan duel nanti sore itu.

“Aku

dengar Barok putra dari Macan Kuning pemimpin Kota Manggayu dan Sekolah Pedang

ini akan berduel dengan siswa jurusan pedang tingkat pertama”

“Kau

bohong, kau tidak tahu deretan prestasi dalam berpedang si Barok itu?”

“Oleh

karena itu, aku sangat tertarik dengan duel kali ini. Dan aku juga ingin

melihat rambut indah panjang Barok itu, dan tubuh tegap nya seperti bisa

melindungi mu dari apapun” ucap seorang dari temannya dengan penuh semangat

mendeskripsikan Barok yang akan menjadi lawan duel Erlangga. “Asih, kau mau

ikut melihat mereka berduel tidak?” Kini Asih merasa tertarik dengan duel yang

diceritakan oleh teman sejurusan nya itu. Dia penasaran, akan seperti apa duel

itu berjalan dan akan seperti apa berakhir? Seseorang yang berprestasi seperti

Barok mau berduel dengan orang yang entah siapa tadi namanya? Erlangga? Ah,

tidak pernah dengar. Asih berpikir jika duel ini sepertinya akan berat sebelah,

namun justru itu yang membuat ia tertarik untuk melihat. Perlawanan seperti apa

yang seseorang bernama Erlangga ini lakukan?

“Sepertinya

kau sibuk ingin segera berbenah ya?”

“Tidak,

aku ikut”

***

            Kabar jika duel antara Erlangga dan

Putra Macan Kuning Barok sore ini tersebar luas. Beberapa siswa menanggapinya

dengan penuh semangat ingin melihat duel itu, dan tak sedikit dari mereka yang

tidak peduli dengan duel itu “Duel antar murid? Satunya berprestasi dalam

materi dan satunya berprestasi dalam praktek? Tidak, aku tidak tertarik. Dan

lebih lagi murid dari tingkat satu? Ah, yang benar saja, itu hanya

membuang-buang waktu”

“Lumayan,

hiburan sebelum libur semester”

“Aku

tak lulus ujian kemarin, sebagai gantinya Master memberi ku banyak tugas dan

hal yang perlu aku lakukan sampai aku tak ada waktu untuk bermain ke ruang

kesenian, padahal sebentar lagi ada pementasan. Ah apa? Apa aku akan menonton

duel itu atau tidak? Kau bercanda! Tentu saja tidak! Aku sibuk!”

“Erlangga

itu memang di kelas jagonya soal materi, apalagi pelajaran sejarah dan aliran

pedang, tidak ada yang berani membantah argumennya yang kuat itu. Akan menarik

jika melihat dia beradu pedang dengan si Barok itu”

“Barok

sedari kecil sudah berprestasi dalam berpedang, dia sering memenangkan lomba.

Ayah Barok yakni Macan Kuning sepertinya mendorong Barok untuk menjadi pendekar

pedang yang hebat. Aku penasaran teknik berpedang nya, pasti sangat

mengagumkan”

“Aku

tidak ingin melihat pertandingan yang berat sebelah seperti itu, sudah tentu

hasilnya bagaimana”

            Banyak reaksi-reaksi dari para siswa

setelah mendengar duel antara siswa yang berprestasi dalam materi yaitu

Erlangga dengan siswa yang berprestasi dalam praktek ilmu pedang yakni Barok.

Namun, semua siswa agaknya setuju dengan satu hal: pertandingan ini akan berat

sebelah. Namun biar begitu, di arena berlatih ini, di bagian bangku penonton

yang terbuat dari beton yang dibuat memutar itu tak terlalu sepi. Masih banyak

dari mereka yang ingin menonton duel ini.

“Heh,

apa para Master tahu dengan duel ini?”

“Sudah

tentu, para penjaga saja tahu apalagi para Master. Mungkin mereka tidak mau

turut campur dan menganggap duel anak-anak”

“Benar

juga”

Bising

di bangku penonton sebelum duel di mulai sudah biasa, membicarakan potensi dari

masing-masing jagoan yang didukung. Jaka hanya menghela napas, berkali-kali ia

menghela napas, duduk di bangku penonton dengan pakaian lengkap nya, bahkan dia

membawa pedang dan perisai nya. Banyak dari penonton yang demikian, mungkin

sama seperti Jaka yang baru saja latihan, atau baru saja praktek di hutan atau

entahlah. Namun tak sedikit siswa yang mengenakan pakaian santai, namun siswa

laki-laki tidak ada yang berani bertelanjang dada, sudah menjadi aturan sekolah

laki-laki di sini tidak ada yang boleh bertelanjang dada. Sudah dia peringatkan

Erlangga jika dia sebaiknya membatalkan duel itu. Erlangga mana mau membatalkan

duel ini “Aku akan malu sampai lulus, kau tahu” begitu katanya.

“Kau

dekat dengan siswa tingkat satu itu kan, Jaka”

“Yah,

dia kerabat jauh ku.”

“Seperti

apa dia?”

“Seperti

apa dia?” Jaka mengulang pertanyaan teman sekelasnya dan menimbang akan

menjawab apa, namun penonton semakin bersorak tatkala Erlangga dan Barok sudah

masuk ke gelanggang arena.

            “Perhatian semua yang ada di sini!”

ucap Barok dengan tubuhnya yang tinggi tegap itu, suaranya menghilangkan bising

di bangku penonton “Duel ini dilakukan tanpa ajian, tanpa energi aji,

menggunakan pedang kayu, dan bukan duel sampai mati” karena duel menggunakan

ajian atau energi aji apalagi duel sampai mati sangat dilarang di sekolah ini. Menggunakan

pedang kayu yang sama persis dengan pedang asli, dari berat dan genggaman.

Namun tentu saja pedang kayu tidak diciptakan dengan ketajaman yang sama,

justru pedang kayu diciptakan tumpul karena digunakan sebagai latihan.

            Semuanya hening, Barok mengambil

kuda-kuda dengan aliran pedang satunya yang lebih besar dan berat dari pedang

milik Erlangga. Erlangga pun mengambil kuda-kuda, teknik pedang cepat belum

benar ia kuasai. Oleh karena itu debar jantung Erlangga semakin kencang sejak

tadi. Apalagi jika ia mengingat lawannya bukan pemula seperti dirinya. “Kau

takut?” ucap Barok untuk memprovokasi Erlangga, Erlangga mencoba mengatur napas

agar lebih fokus, sedikit membetulkan ikat kepala dari kain hitam nya dan

tersenyum kecil “Tidak juga”. Mendengar itu Barok merasa kesal dan geram, dia

menderap maju dan Erlangga pun maju.

            Erlangga menderap zig-zag untuk

mengecoh agar pergerakannya tidak terbaca, Barok memperhatikan sembari

memutuskan serangan. Erlangga bergerak ke arah Barok dan menusukkan pedang

kayunya ke arah pinggang barok yang langsung menangkis serangan Erlangga

PLETAKK! Suara kayu beradu. Kesempatan! Barok memegang pedang kayunya dengan

dua tangan dan bersiap menebas nya ke bawah, mengincar leher Erlangga dari atas

dengan posisi Erlangga yang lebih rendah darinya, ini sangat menguntungkannya.

Namun Erlangga dengan cepat melompat dan posisi dia menjadi lebih tinggi dari

Barok. Barok terkejut dengan reflek Erlangga yang cepat, Erlangga memutar

tubuhnya di udara dan dia kerahkan tendangan yang mengarah langsung ke arah

wajah barok. Tendangan itu berhasil ditangkis dengan lengan Barok tidak

terlalu berat, tapi sial sekali kecepatannya itu. Sadar jika kedua serangan

yang ia lancarkan gagal, dia menggunakan bahu barok sebagai bahan pijakan dan

melompat sejauh nya untuk mundur kemudian memutar tubuhnya dengan gaya

akrobatik agar mendarat dengan aman. Erlangga merasa jika latihan menghindari

bola api, lemparan perisai, tusukan pedang, dan pukulan Jaka yang keras itu

membantu nya agar tubuhnya terasa lebih ringan dan reflek nya semakin bagus. Aku

masih ingat panas api Jaka dan bagaimana dia memukul ku tanpa ampun dia

memegangi pipi dan merinding jika mengingatnya.

            “BAGUS ERLANGGA!!! TERUSKAN!” dan

suara teriak berisik itu adalah Jaka yang langsung mengalahkan riuh penonton hentikan,

kau membuatku malu, dasar! Seru-seruan kembali terdengar, sebagian

mendukung Barok sebagian mulai mendukung Erlangga karena berhasil memberikan

perlawanan yang menarik meski serangannya berhasil ditangkis, namun mereka

setuju jika gerakan Erlangga yang cepat dan tepat.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!