“Ini bencana, aku tidak bisa mengikuti pelajaran” Erlangga mulai frustrasi, tak ada
pelajaran yang ia bisa ikuti. Baik sejarah pedang, teknik pedang, aliran
pedang, dan banyak pelajaran lain yang tak bisa ia ikuti. Jaka hanya tersenyum
melihat Erlangga dengan wajah kusut nya. Jaka tiga tingkat diatas Erlangga,
jadi dia adalah senior Erlangga. Mereka sering bertemu dan mengobrol
(Sebenarnya lebih banyak diisi oleh keluhan Erlangga tentang semua pelajaran
hari ini) ketika istirahat. Di bawah pohon rindang yang masih dalam lingkungan
sekolah, belakang aula dan dekat dengan pos jaga dan asrama putra.
“Aku rasa kau harus mulai belajar Erlangga. Perpustakaan di sini menyajikan buku
yang cukup lengkap. Kau bisa mulai dari awal tentang ilmu pedang mulai dari
sejarah dan sebagainya. Dan untuk tubuhmu yang masih belum terlatih, aku bisa
mengawasi latihan mu”
“Aku kira aku akan langsung bisa menyesuaikan begitu masuk, tapi ternyata tidak. Aku
sering ditertawakan karena membuat gerakan yang aneh dalam praktek menggunakan
pedang”
“Bukankah itu wajar? Orang yang belum lama memegang pedang seperti mu dan langsung mahir,
bukankah itu justru aneh? Kebanyakan siswa di sekolah ini sudah mendapatkan
sedikit bekal sebelum masuk sekolah pedang. Sedangkan kau benar-benar pemula
dalam bermain pedang, ingatlah apa tujuanmu” selanjutnya Jaka hanya menepuk
tiga kali “Aku harus menemui Master Guru Kliwon” ucapnya sambil berlalu
melambai tanpa menengok lagi.
Erlangga melihat Jaka pergi menjauh, kemudian Jaka ditelan oleh arus siswa yang berlalu
lalang di jam istirahat dengan segala obrolan mereka. Erlangga mengira dia
memang harus mulai belajar, dari awal. Jika niatnya kembali ke dunia nya, maka
jalan ini lah satu-satunya (yang dia tahu) yang dapat ia tempuh. Erlangga
bangkit penuh semangat dan berjalan ke arah perpustakaan.
Perpustakaan di sekolah pedang ini tidak jauh berbeda dengan perpustakaan di dunia Erlangga,
hanya saja terlihat lebih kuno. Suasana perpustakaan begitu tenang, kontras
dengan lorong-lorong penuh dengan obrolan siswa. Para siswa yang membaca atau
mengerjakan tugas duduk di bangku dengan meja panjang yang tersusun rapi.
Rak-rak buku dipenuhi buku-buku dengan berbagai judul, mulai dari ilmu alam,
ilmu sosial, ilmu kesehatan, batin, juga buku-buku bela diri mengenai seni
bermain pedang, panahan atau tombak dan buku umum lainnya. Erlangga mengambil
acak buku di perpustakaan. Buku itu terbuat dari kertas coklat, buku itu
disatukan menggunakan benang-benang dan dilapisi kulit entah itu sapi atau
domba, banyak dari buku di perpustakaan ini yang berbentuk seperti ini. Buku
yang Erlangga pegang adalah “Teknik Pedang Cepat” oleh seseorang bernama Kiroi.
Erlangga memutuskan mengambil beberapa buku lain selain buku yang ia pegang tadi
diantaranya “Berpedang Adalah Penyatuan Jiwa dan Raga” oleh Dharma, “Aliran
Dalam Berpedang” oleh Empu Wulad, “Sejarah Ilmu Beladiri Pedang” oleh Naratawam
dan “Pedang Adalah Pikiran” oleh Dharma. Tidak terasa, Erlangga sudah harus
kembali untuk mengikuti kelas berikutnya dengan Master Kliwon. Erlangga berniat
meminjam semua buku-buku itu dan buru-buru untuk masuk ke kelas. Saking
asyiknya dia membaca buku, seperti dia dibawa kabur dan ditelan oleh kata-kata
penulis, Erlangga tidak memperhatikan sekitar dan akhirnya dia ditabrak begitu
saja oleh seseorang dari belakang sehingga dia tersungkur bukan karena tubuhnya
seringan ranting kayu, tapi lebih karena dia terkejut dan semua bukunya
berhamburan ke lantai kayu perpustakaan “Pakai matamu!” ucap si penabrak dengan
dingin, lalu berlalu begitu saja, rambutnya panjang dan mengenakan ikat kepala
kain bermotif merak, tubuhnya tinggi tegap seperti Jaka namun lebih ramping
dari Jaka. Dia berjalan dengan angkuhnya menyusuri perpustakaan dan keluar dari
perpustakaan. Erlangga tidak memperpanjang itu dan lebih memilih memunguti
buku-buku yang berhamburan. Jaka pernah berpesan “Usahakan menghindari segala
permasalahan”.
“Pedang yang tidak dilapisi energi aji, atau ajian jauh lebih lemah dibandingkan pedang
yang dilapisi energi aji atau ajian” dan kelas Master Kliwon pun dimulai.
Erlangga memperhatikan dengan lebih baik, dia tidak ingin terus-terusan
merasakan beban yang begitu berat setiap kali dia memasuki pintu kelas. “Akan
aku contoh kan dengan pisau kecil ini” dia memperlihatkan pisau kecil yang
biasa digunakan untuk mengiris buah, siswa memperhatikan dengan seksama demo
yang sedang dilakukan Master Kliwon. Tubuh penuh otot itu dengan gesit
mempersiapkan demo nya di depan kelas “Aku akan coba mengiris batu ini dengan
pisau” ucapnya, garis wajahnya tegas, kulitnya sawo matang dengan rambut pendek
yang ia sisir rapi. Umurnya mungkin berkisar tiga puluh an. “Lihat? Pisau ini
tidak bisa mengiris batu… namun! Apa yang terjadi jika aku alirkan energi aji ku
pada pisau kecil ini?” suaranya berat memenuhi kelas yang sunyi memperhatikan.
Dari tangannya mengalir energi aji yang dia bicarakan, berwarna hijau gelap
berkobar layaknya api namun Master Kliwon tidak merasa kepanasan. Kemudian
energi aji mengalir dan membungkus pisau kecil seluruhnya. Semua siswa menahan
napas, penasaran apa yang terjadi selanjutnya “Perhatikan!” Master Kliwon
kemudian mengiris batu dengan mudahnya, seperti mengiris buah apel atau mangga.
Semua siswa terkesima, walaupun beberapa siswa mungkin sudah melihat praktek
energi aji, namun tetap saja praktek penggunaan energi aji selalu menarik
dilihat. “Energi aji bisa memperkuat senjata, serangan fisik seperti tinju dan
tendangan, dan beberapa ajian menggunakan energi aji sebagai pendukung kekuatan
tubuhnya. Entah itu bergerak lebih cepat, terbang, melesat dan lain sebagainya.
Kalian harus mempelajari energi aji, ajian yang sesuai dengan gaya bertarung
kalian, agar kesempatan kalian dalam memenangkan pertarungan meningkat. Ada
yang ingin bertanya?”
***
Begitulah kelas Master Kliwon berakhir dengan banyak daftar hal yang harus dilakukan
Erlangga. Pertama, dia sampai sekarang belum juga memutuskan akan menggunakan
aliran pedang yang mana dan seperti apa. Kedua, dia perlu belajar mengenai
energi aji lebih banyak lagi. Kelas Master Guru Kliwon tidak cukup untuknya,
dia membutuhkan penjabaran mengenai energi aji lebih banyak lagi. Begitulah
hari-hari Erlangga di sekolah pedang. Setiap menerima pelajaran, dia akan
selalu mengulangi pelajaran yang dia terima, memahami kembali dan membaca ulang
catatan-catatan yang ia buat selama mengikuti kelas. Dari situ dia belajar lagi
lebih dalam, Erlangga yakin yang disampaikan para Master nya hanyalah kulit nya
saja, Erlangga harus masuk sampai ke inti nya. Dia sekarang sudah menjadi
langganan perpustakaan. Kemudian, dia sering meminta Jaka untuk mengawasi dia
berlatih menggunakan pedang.
“Aku sudah menguasai satu ajian” ucap Erlangga
“Dari mana kau belajar?” Jaka selalu tertarik melihat perkembangan Erlangga beberapa
minggu terakhir, Erlangga bukan lagi siswa yang merengek tidak bisa mengikuti
pelajaran seperti tiga bulan lalu. Mereka memutuskan berlatih di luar
lingkungan sekolah, di pohon rindang dengan akar dahan yang menjulur ke bawah
dekat danau.
“Aku awalnya belajar dari buku-buku, namun juga aku bertanya pada beberapa Master”
“Ajian seperti apa?”
“Ajian yang memungkinkan aku untuk menciptakan dan mengendalikan listrik, namun aku
masih terbatas pada kekuatan listrik yang dihasilkan dan bentuk yang aku buat.
Master Kliwon bilang, aku masih belum cukup mahir mengontrol energi aji yang
aku punya” kemudian Erlangga mengangkat tangannya, gemeretuk listrik terdengar.
“Aku harus sering berlatih”
“Mau kau apakan ajian listrik mu dalam pertarungan?”
“Aku ingin melapisi pedang ku dengan ajian listrik agar lebih kuat”
“Menarik, kau mau mencobanya sekarang?” Jaka mengangkat perisai nya yang terbuat dari
logam kokoh dan pedangnya yang lebih besar daripada pedang yang digunakan
Erlangga. “Aku akan menggunakan ajian api dalam latihan kali ini, bersiaplah!”
“Wah curang!”
Mereka bersiap-siap dan memasang kuda-kuda dan mengambil jarak sehingga kini mereka
berjauhan tiga batang tombak. “Majulah!” teriak Jaka. Tanpa disuruh lagi
Erlangga mencabut pedangnya dan langsung melapisi pedangnya dengan ajian
listrik, pedang nya mengeluarkan kilat listrik biru menyala yang jika digunakan
untuk menebas batu besar, dipastikan batu besar itu akan terbelah. “Aku maju!”
teriak Erlanggga. Erlangga menebas dari arah samping, namun terbaca dengan
mudah oleh Jaka yang langsung menangkis nya dengan perisai nya yang masih polos
belum dilapisi ajian ataupun energi aji. “Seperti biasa, pertahanan mu sulit
ditembus” Jaka tidak memperdulikan, dia bersiap untuk menyerang.
“Jangan alihkan fokus mu”
“Ap-“ Erlangga reflek menarik diri dan melompat dua batang tombak, perisai Jaka
terbakar api merah menyalah, Jaka menggunakan ajian apinya untuk melapisi
perisai. Lidah api menjilat-jilat di perisai nya, kini Jaka tak ubahnya dari
menggunakan perisai api yang panas. Jaka mengayunkan perisai nya dan terlempar
lah dua bola api yang langsung mengarah ke arah Erlangga. Reflek Erlangga masih
bagus, dia berguling menghindari bola api. Tidak cukup dua, Jaka terus
mengayunkan perisai nya dan bola-bola api terus terlempar mengarah ke mana pun
Erlangga menghindar “Kau mau membakar rerumputan di sini?!”
Erlangga lari sekuat tenaga, aliran listrik di pedangnya terus menyala-nyala seperti
hendak menyambar. Erlangga terus menghindar, melompat, berguling sambil terus
menderap ke arah Jaka. Bola-bola api itu bisa dihindari Erlangga dan dia sudah
sangat dekat dengan Jaka, Erlangga melompat dan mengayunkan pedangnya ke bawah
yang langsung disambut perisai Jaka. Maka listrik dan api pun beradu, yang
terjadi selanjutnya adalah ledakan yang membuat mereka sama-sama terpental dua
batang tombak.
Tak puas, mereka sama-sama bangkit. Dengan semangat yang membara mereka sama-sama
berderap maju saling menyambut dan mengerahkan serangan. Mereka berlatih
tanding seperti itu tidak kurang tidak lebih selama tiga puluh menit, dan
berakhir dengan pedang Erlangga yang terpental karena dia sepertinya sudah
kelelahan memegang pedang, tangannya terasa kebas dan berdenyut. Sebaliknya,
Jaka masih berdiri tegak, ia mengatur napas “Kau harus lebih banyak melatih
genggaman pedang mu”.
“Aduh duh, panas!” tangannya sempat terbakar oleh panasnya ajian api Jaka dan
sekarang dia merendamkan tangannya di tepi danau. “Kau bisa membakar semua yang
ada di sini, kau tahu”
“Jika tidak pernah ada sakit dalam tiap latihan mu, kau akan canggung dalam
pertarungan sungguhan”
“Canggung?”
“Kau sulit memperkirakan kekuatan mu, kekuatan lawanmu, insting mu akan lemah, indra
mu akan tumpul. Kau akan kesulitan mengukur bajumu sendiri”
“Mengukur baju? Jangan bicara yang macam-macam, aku tidak terlalu mengerti” Jaka hanya
tersenyum kecil, mengabaikan Erlangga yang masih sibuk mendinginkan luka
bakarnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments