Tujuh Senjata Kuno
Erlangga bepergian bersama teman-teman kuliahnya ke daerah perbukitan yang sering
digunakan sebagai tempat berkemah. Teman-temannya berkemah untuk merayakan
semester genap yang sudah usai. Di siang itu mereka berkumpul, berniat untuk
mengelilingi area perbukitan yang hijau dipenuhi pohon, ditumbuhi semak belukar
dan banyak tumbuhan hijau lain. Jamur-jamur di batang pohon memberi warna yang
kontras, burung-burung mencari makan berkicau, dan sayup-sayup terdengar suara
bising nya jantung hutan. Erlangga dan kelima orang temannya pun mulai
menyusuri area perbukitan, angin sejuk pagi menerpa wajah mereka yang sedikit
lelah dan tenggorokan yang sedikit sakit akibat bernyanyi semalam suntuk di
depan api unggun dengan gitar. Lagu-lagu dengan lirik paling remeh, sampai lagu
dengan lirik yang dalam mereka nyanyikan semua.
Erlangga berjalan paling belakang, teman-teman di depannya mulai membicarakan keindahan
pemandangan di atas bukit yang sebentar lagi akan mereka lihat. Mereka mulai
berbicara tentang danau yang bisa mereka lihat dari puncak bukit, perumahan
warga yang cukup jauh dari bumi perkemahan, dan juga perkebunan dan persawahan.
Erlangga tidak terlalu memperdulikan mereka, entah sejak kapan dia justru lebih
fokus pada area lobang besar yang menjadi genangan air. Untuk apa lobang
seukuran sumur ini dibuat? Jika bertujuan digunakan untuk membakar sampah,
bukannya di sebelah sana pun ada?
Teman-temannya semakin asyik mengobrol, sementara Erlangga masih asyik memikirkan fungsi
lobang yang digenangi air, bahkan sekarang dia menghampirinya. “Jika
dilihat-lihat, ini seperti sumur. Apa sedalam sumur? Kalau begitu bisa
berbahaya, orang bisa tercebur jika tidak ada pembatas sumur.” Erlangga
bergumam sendirian tak ada yang memperdulikan nya. Kelima temannya sudah hampir
sampai di atas bukit. Dari dulu Erlangga sering dibilang selalu memperhatikan
banyak hal, sampai yang paling remeh temeh, mengkhawatirkan banyak hal dan
mengkhawatirkan banyak orang. Erlangga terlalu peduli pada anak kucing yang
mengeong mencari ibunya, terlalu peduli pada semut hitam yang lewat ditembok
dan bertanya bagaimana semut begitu rukun? Itu yang selalu ia pikirkan,
bahkan dia berempati pada tokoh fiksi, kartun ataupun novel.
Erlangga menjongkok dan tiba-tiba seperti ada yang menariknya dari dalam genangan air
dan seolah tangan dengan cengkraman yang sangat kuat muncul dari genangan air,
lalu dia pun tercebur ke dalam sumur atau genangan air yang dalam. Erlangga
merasa tubuhnya kaku, semua kemampuan renangnya lumpuh, tubuhnya tidak bisa digerakkan
dan nafasnya mulai sesak. Dia merasakan tubuhnya semakin tenggelam,
meninggalkan sinar permukaan sumur, semakin masuk ke dalam dasar sumur yang
gelap. Dia semakin merasa sesak, tidak bisa meronta, tubuhnya bahkan tidak
merespon perintah otaknya.
Kemudian, sinar putih menelan tubuhnya dari bawah, pandangannya pun mulai memutih, kabur
dan dia sekarang tidak bisa melihat apapun kecuali putih di mana-mana. Tidak
ada apapun, siapapun, hanya putih di setiap sudut jika apa yang ia lihat
sekarang mempunyai sudut. Kemudian yang terjadi adalah pandangnya semakin
redup… redup…. Lalu menghitam semuanya. Kini semuanya gelap, seperti memejamkan
mata saat mati lampu di malam hari. Matanya tak menangkap secercah cahaya
apapun.
Tiba-tiba seberkas cahaya muncul dan melebar. Erlangga mengedipkan matanya, mengucek nya
dan dia tatap sekeliling dengan lebih baik lagi. Hutan? Hutan yang lebat,
kicauan burung terdengar, teriknya matahari menembus sela-sela pohon. “Siapa
kau?” Erlangga bangkit dan berputar, dia menemukan sumber suara itu. Seorang
pemuda, yang mungkin dua tiga tahun lebih tua darinya mengacungkan sebilah
pedang ke arahnya dengan tatapan curiga. “Aku tanya lagi, siapa kau?” suaranya
begitu tegas dan berat, garis wajahnya tegas dengan kulit sawo matang, sedikit
gelap daripada kulit Erlangga. Dilihat dari tubuhnya yang mengkilap karena
keringat itu membuktikan banyak latihan yang ia jalani, juga beberapa luka
sayatan di tubuhnya.
Erlangga hanya diam, dia masih sangat terkejut. Pertama, dia jatuh ke dalam sumur dan
mengira akan mati. Kedua, di mana ini? Ketiga, kenapa dia ditodong dengan
sebilah pedang yang siap menghunusnya kapanpun? “A- aku juga bingung” hanya itu
yang bisa diucapkan Erlangga. “Jika dilihat, baju mu terlihat aneh. Mungkin kau
dari jauh, dari mana kau?” tanpa mengalihkan todongan nya pemuda itu
menginterogasi Erlangga dengan pertanyaan-pertanyaan yang semakin membuat
Erlangga bingung. Bahkan, dia ada di tengah hutan ini saja sudah membingungkan. Apa yang dia maksud baju mu terlihat aneh? Bukankah dia yang
berbaju aneh? Jika dilihat lagi, dia bahkan tidak memakai baju, hanya celana
hitam panjang yang ia kenakan.
“Apa kau salah satu dari orang-orang yang sering tersesat di hutan?” Erlangga
berpikir-pikir, menimbang jawaban yang lebih baik. Dia tentu tidak ingin
jawabannya berujung pada kepalanya dipenggal oleh orang yang bahkan tidak dia
tahu namanya.
“Tunggu, aku masih bingung. Aku bersama teman-teman ku. Lalu aku terjatuh dan tenggelam
ke dalam sumur, tak sadarkan diri dan lalu aku bangun di tempat yang tak aku
kenali. Biasanya orang setelah kecelakaan akan bangun di rumah sakit, rumah
warga setempat atau yang paling buruk: akhirat. Apa ini akhirat?” Tanpa sadar
Erlangga justru berbicara tidak jelas yang membuat pemuda di hadapannya
terlihat bingung namun tidak melepaskan kewaspadaan nya pada Erlangga. Obrolan
mereka tidak nyambung, saling membingungkan satu sama lain.
Namun pemuda yang menodong pedang itu tak kalah bingungnya dengan Erlangga “Kita
harus berhenti di bagian akhirat, karena aku belum pernah ke sana. Dengar,
aku pun merasa bingung. Aku sedang berlatih pedang lalu tiba-tiba suara seperti
benda jatuh dari ketinggian dan menghantam tanah mengagetkan ku” berlatih
pedang? Pikir Erlangga.
“Aku? Jatuh dari ketinggian?” Si pemuda yang menodong itu mengangguk datar tanpa
ekspresi. Melihat wajah panik dan bingung Erlangga, pemuda itu menarik kembali
bilah pedangnya dan kembali menyarungkan di wadah yang terikat dengan pinggang
nya. Mungkin ada baiknya aku bawa ke desa saja begitu yang dipikir sang
pemuda berpedang urusan ini begitu membingungkan ku.
“Mungkin sebaiknya kau ikut aku pulang” ucap pemuda itu, mengambil baju nya yang dia
taruh sembarang di dekat batu besar pendek, lalu mengenakannya. Dia mengenakan
baju tanpa lengan, dan depannya dibiarkan terbuka tidak ia kancing, lebih
seperti rompi dari kain yang bercorak indah, sehingga menunjukan perut dan
dadanya yang bidang. “Ma-mau ke mana kita?” ucap Erlangga ragu. Erlangga mulai
berpikir jika dunia yang sekarang dia pijak, bukanlah dunia yang sama sekali dengan
dunia yang dia kenal. “Kita akan ke Dukun, dia adalah orang pintar dan bijak di
desa kami. Dia mungkin bisa menjelaskan apa yang terjadi pada dirimu”
Erlangga merasa benar-benar ada di dunia lain. Desa tempat pemuda asing ini terasa sama
asing nya bagi Erlangga. Bangunan-bangunan nampak kuno, beberapa bahkan tidak
beratap genteng, melainkan jerami atau daun kering yang disusun untuk
melindungi pemilik rumah dari sengatan matahari dan hujan. Tak jarang Erlangga
menemukan rumah yang seutuhnya kayu bukan tembok beton. Rumah-rumah ini seperti
ada di lukisan-lukisan yang sering ia temui di museum-museum sejarah.
Begitu masuk desa, Erlangga sontak jadi perhatian warga desa. Karena pakaian yang dia
kenakan amat mencolok jika dibandingkan dengan pakaian warga desa ini. Ia
mengenakan kemeja lengan panjang berwarna ungu yang dia biarkan terbuka
sehingga memperlihatkan kaos putih polos nya, serta celana hitam slim sesuai
ukuran nya. Itu adalah pakaian normal seorang pemuda yang Erlangga tahu, namun
di sini dia merasa dirinya aneh. Penduduk di sini kebanyakan laki-laki nya
tidak memakai baju, dibiarkan bertelanjang dada, memperlihatkan tubuh mereka
yang sering terpapar matahari, tua, muda, sampai anak-anak. Pakaian perempuan
lebih baik daripada laki-laki, setidaknya mereka menutup dadanya dan lebih
banyak Erlangga temukan wanita mengenakan baju bagus dengan motif yang cantik.
Jarang sekali Erlangga melihat laki-laki yang mengenakan pakaian yang menutupi
dada nya. Bahkan pemuda asing yang membawanya pun hanya mengenakan rompi kain
bercorak.
Rumah seseorang yang disebut dukun ini yang cukup lain dari rumah-rumah yang Erlangga
temui seperjalanan tadi. Rumah ini kelihatan luas, bertembok beton, beratap
genting, banyak hiasan-hiasan dan rumah ini dikelilingi tembok pagar. Begitu
masuk melewati entahlah mungkin sejenis gapura, mereka disambut dengan banyak
tanaman mulai dari bunga-bunga, pohon rindang beserta burung yang bertengger di
dahan nya.
Mereka disambut oleh seseorang usia paruh baya bertelanjang dada, mengenakan celana cokelat
tua panjang dan dari pinggang sampai lututnya dibalut kain bercorak seperti
pakaian lelaki pada umumnya di desa ini, namun pakaiannya kotor, ia juga
mengenakan ikat kepala dengan corak kain yang sama. Pemuda asing yang membawa
Erlangga berkata ingin menemui Dukun, dan mereka langsung dipersilahkan masuk.
Mungkin pemuda ini sudah sering kemari. “Dukun adalah kepala desa kami, beliau
dikenal akan kepintaran, kebijaksanaan dan ajian-ajian nya yang berkaitan
dengan jiwa dan beliau sangat menekuni ilmu jiwa, kesadaran dan eksistensi
manusia” tunggu ajian? Apa itu ajian? Erlangga semakin yakin jika ini
bukanlah dunia yang selama ini dia kenal. Dan bisakah aku sebut Tuan atau
Puan Dukun ini Psikolog? Erlangga merasa geli dengan apa yang dia pikirkan.
Setelah itu mereka menemui seseorang yang disebut Dukun, mereka duduk berhadapan dengan
seorang tua yang dipanggil Dukun di ruang tamu. Lalu pemuda asing ini
menjelaskan dari awal bagaimana dia menemukan Erlangga. Erlangga sendiri hanya
mengangguk dan “Aku juga tidak tahu” dan seorang tua yang dipanggil Dukun hanya
mengangguk-angguk sesekali menarik-narik janggut putihnya yang panjang
menjuntai.
“Kamu tahu Jaka dan…” dia menatap Erlangga, Erlangga pun buru-buru mengenalkan nama
“ya, nak Erlangga. Kalian tahu? Dunia kami, dunia mu, dunia kita” sekali lagi
melirik Erlangga dengan terus memainkan janggutnya “…berjalan tidak sesederhana
yang kalian pikir. Dunia ini berjalan begitu rumit, banyak misteri, banyak
rahasia yang menunggu untuk dipecahkan. Salah satunya kehadiran nak Erlangga di
dunia ini. Nah, aku hendak bertanya, apa nak Erlangga tahu apa itu Tanah
Archis?” Tanah Archis? Lagi-lagi sesuatu yang baru Erlangga dengar,
Erlangga hanya menggeleng “Semua orang harusnya tahu Tanah Archis, nah itu
petunjuk pertama” Pemuda yang bernama Jaka itu hanya terdiam menyaksikan, masih
menerka-nerka apa yang dimaksud Tuan Dukun.
“Kalau begitu bagaimana dengan ini” Tuan Dukun menggosok-gosokan kedua tangannya,
Erlangga bingung apa yang orang tua ini lakukan dan sebelum Erlangga selesai
dengan rasa bingungnya, dia langsung dibuat terkejut bukan main. Sesuatu yang
sama sekali tidak pernah ia lihat seumur ia hidup dan punya ingatan. Dari
gosokan tangan Dukun keluar kesiur angin lembut lalu perlahan membentuk wujud
makhluk kecil menyerupai manusia, memiliki dua tangan, kepala dan dua kaki. Dia
tak ubahnya seperti manusia yang terbuat dari angin setinggi buah kelapa. Dia
mulai berjalan di lantai, melambaikan tangan (Erlangga keheranan dan ikut
membalas melambaikan tangan) dan melompat-lompat. “Keterkejutan mu sudah
membuktikan satu hal nak” dia menatap kembali Erlangga yang bingung.
“Hal apa?” ucap Jaka yang sedari tadi memperhatikan, itu adalah salah satu ajian
yang dimiliki oleh Tuan Dukun. Beliau mampu menciptakan makhluk walaupun tak
hidup, namun makhluk yang ia ciptakan seperti memiliki jiwa yang hidup. Tapi
biar begitu, ajian yang Tuan Dukun gunakan banyak memiliki batasan.
“Dia bukan dari dunia kita, dia dari dunia lain. Barangkali ajian adalah sesuatu yang
aneh”
“Bagaimana kau melakukan sihir itu?” sambil menuding manusia angin kecil itu, yang
sepertinya tidak suka dituding. Erlangga mengabaikan fakta jika dia dari dunia
lain, lebih fokus pada manusia angin kecil yang kembali menuding dirinya dan
sekarang dia berkacak pinggang menantang.
“Sihir?” Dukun terkekeh “Bukan nak, ini adalah ajian, jurus, teknik, atau apapun
namanya. Setiap tempat di dunia ini dinamai berbeda-beda” di luar dugaan
manusia angin kecil itu melompat tinggi sekali dan dia mulai berlari-lari di
udara, seakan udara adalah sesuatu yang dapat dipijak. “Aku harus membuatnya
diam” Dukun membuka telapak tangannya lalu manusia angin kecil itu seperti
tersedot yang nampaknya tidak sangat dia sukai. Manusia angin kecil itu seperti
masuk dalam tubuh Dukun melalui kedua telapak tangannya.
Erlangga jadi pusing, pertama dia jatuh ke dalam sumur yang dalam, tersadar di hutan
dengan senjata yang mengarah kepadanya, kemudian dia mengetahui fakta dia
terdampar di dunia lain dengan banyak istilah dan nama-nama yang membuatnya
semakin bingung. “Lalu bagaimana cara ku bisa pulang?” ucapnya dengan panik. Di
pikirannya mulai kalut. Bagaimana dengan orangtuanya? Pasti mereka sangat
khawatir, dan yang lebih penting bagaimana dengan paket yang dia pesan? Dua
hari lagi paket itu sampai dengan sistem COD, bagaimana dia akan membayarnya
jika dia masih tetap di sini? Bagaiman jika dia dituntut? Dan semua bagaimana terlintas dalam pikir Erlangga.
“Aku tidak terlalu mengerti, tapi aku turut bersedih” ucap Jaka, dia memegangi bahu
Erlangga. Erlangga mulai sedikit tenang “apa tidak ada cara untuk dia pulang?
Mungkin dia akan kesusahan di dunia yang tidak ia kenal”
“Jaka, kau tahu organisasi Gamankuna?” Jaka mengangguk “dan kau pasti tahu tujuh hari
lalu langit tiba-tiba gelap gulita” Jaka mengangguk sekali lagi.
“Lalu apa hubungannya dengan Erlangga?”
“Kamu tahu apa itu tujuh senjata kuno?” kali ini Jaka menggeleng “tak banyak orang
tahu, keberadaannya sudah seperti legenda, tidak diketahui kebenarannya. Namun
menurut cerita-cerita yang beredar, satu tanda jika ketujuh senjata kuno itu
digunakan, langit akan gelap gulita dan konon bisa melakukan apapun”
“Apapun?” Jaka mengulangi
“Apapun!” orang tua yang dipanggil Dukun itu menegaskan “dan ada kemungkinan mereka
membuka gerbang, portal, pintu atau apapun itu untuk mengambil sesuatu dari
dunia Erlangga. Dan sengaja atau tidak, Erlangga terbawa, itu teori ku” Dukun
terbatuk sesaat, lalu memainkan janggut putihnya “karena hal tidak masuk akal
seperti terdampar nya orang dari dunia lain, hanya bisa kita kaitkan dengan
tujuh senjata kuno”
“Tepatnya apa yang mereka ambil? Kenapa aku juga ikut terbawa? Aku hanya menengok
genangan air di pinggir hutan” Erlangga kembali resah.
“Aku juga tidak begitu paham nak, namun jika kau berniat untuk pulang, kau harus
menggunakan tujuh senjata kuno itu. Jelas itu tidak akan mudah, kau tidak tahu
seberapa kuat organisasi Gamankuna, kerajaan sudah beberapa kali untuk menumpas
organisasi itu, namun sampai sekarang keberadaan dan teror mereka terus
berlangsung” Erlangga menelan ludah mendengarnya, bagaimana dia bisa pulang
jika dia harus melawan organisasi ******* di dunia penuh sihir (bukankah
itu disebut ajian? Ah biarlah, aku pusing) ini? Erlangga dirundung panik
dan semua perasaan negatif, dia tidak bisa berpikir.
“Erlangga, untuk sekarang kau boleh tinggal di rumah ku. Kita lupakan sejenak masalah yang
menimpamu, baiknya kau segera istirahat” Jaka merasa iba melihat Erlangga, dia
memahami kesulitan yang dihadapi Erlangga. Terjebak di dunia lain, dan harus
berjuang agar bisa pulang, belum urusan di dunia nya yang membuat pikirannya
semakin pusing.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments
Kaisar Naga Generasi Terakhir
sial! anda keren.
apakah anda pemula?
anda pasti menjadi author hebat.....
kosakata anda bagus.....
aku menyukainya
2023-09-17
0
Bombom
Absen dulu sebelum membaca
2023-08-01
0