Bersandar di tempat tidur Tisya bermain dengan ponsel baru yang diberikan Azhar untuknya. Dia sering melihat orang lain menggunakan ponsel pintar seperti ini, tapi ini pertama kalinya baginya memiliki ponsel seperti ini. Hal ini sangat baru baginya. Ponsel ini sangat menarik, pantas saja orang-orang sangat menyukai menggunakan ponsel pintar daripada ponsel lama seperti miliknya dulu.
Sebenarnya dia sudah lama ingin berganti ponsel, tapi dia tidak punya uang untuk membeli ponsel yang sangat mahal di luar jangkauannya. Ponsel Nokia lamanya merupakan ponsel pertama yang diberikan oleh orang tuanya dulu. Dan ponsel itu telah bersamanya sejak dulu tidak pernah berubah. Ponsel itu juga memiliki arti khusus baginya sehingga meski sudah rusak dia akan memperbaikinya.
Tisya yang puas bermain dengan ponsel barunya mengangkat kepalanya dan melirik pria yang duduk tidak jauh di sofa di depan tempat tidurnya. Pria itu sedang membaca sebuah buku ditangannya, Tisya tidak tahu buku apa yang dibaca pria itu karena dari sampulnya tidak berbahasa Indonesia ataupun berbahasa Inggris yang dikenalnya.
Azhar yang sedang membaca buku merasakan tatapan seseorang padanya. Dia mengangkat matanya dan matanya bertemu dengan pandangan Tisya.
Malu karena ditemukan mengintip Tisya segera mengalihkan pandangannya.
“Sudah malam. Kamu belum tidur?” tanya Azhar meletakkan buku ditangannya di atas meja kopi.
“Aku... aku belum mengantuk,” jawab Tisya gugup.
“Mau ke kamar mandi?” tanya Azhar lagi.
“Tidak... tidak... tidak....” Tisya buru-buru menyangkal sambil menggelengkan kepalanya mengingat bagaimana pria itu menggendongnya tadi.
Dia tidak mau ke kamar mandi. Pria itu pasti akan menggendongnya lagi jika dia berkata ingin ke kamar mandi. Sudah cukup sebelumnya dia menggendongnya dia tidak ingin mengalami hal itu lagi yang sangat memalukan.
“Kalau begitu istirahatlah,” kata Azhar berdiri dari sofa.
“Kamu... kamu mau ke mana?” tanya Tisya tiba-tiba melihat pria itu berdiri.
“Saya akan istirahat di sebelah. Jika kamu butuh sesuatu kamu bisa memanggilku,” jawabnya tenang. Dia tahu gadis itu pasti gelisah berada di ruangan yang sama dengannya sehingga dia tidak mau tidur. Karena itu dia telah memesan bangsal sebelah yang kosong untuk tidur malam ini.
“En.” Angguk Tisya.
Tisya menghela napas lega setelah pria itu keluar dari ruangan. Dia kemudian berbaring di tempat tidur menggenggam ujung selimut dan tidak lama kemudian dia pun terlelap.
Di ruangan sebelah pria yang harusnya sudah tertidur duduk ranjang rumah sakit menatap layar ponselnya. Melalui layar ponsel dia memantau operasi penyergapan yang dipimpin oleh Rian. Setiap suara dan gerakan dapat dia dengar melalui earphone yang terpasang di telinganya.
“Kembali. Tulis laporannya dan letakkan di mejaku,” ucap Azhar mencabut earphone dari telinganya dan mematikan layar ponselnya.
߷߷߷
Cedera Tisya sudah sembuh, badannya sudah tidak sakit lagi, memar di tubuhnya juga sudah hilang, perban di lengan dan kakinya juga sudah di lepaskan oleh dokter.
“Pasien sembuh dengan baik. Dia sudah bisa pulang nanti sore setelah hasil pemeriksaan cedera otaknya keluar,” ucap dokter setelah melepaskan perban di kaki Tisya dan melihat tidak ada lagi bekas luka.
“Baik Dokter. Terima kasih,” ucap Tisya tersenyum tulus.
Azhar yang berdiri di samping tertegun melihat senyum gadis itu untuk pertama kalinya. Dia tiba-tiba merasakan gadis itu sangat imut.
Azhar menggelengkan kepalanya menghilangkan pikirannya yang aneh.
Tisya sangat senang akhirnya bisa keluar setelah tinggal di rumah sakit selama dua hari. Lukanya juga sembuh dengan sangat cepat, dia tidak tahu obat apa yang digunakan rumah sakit ini sehingga lukanya bisa sembuh begitu cepat. Apa ini perbedaan perawatan VIP, ya?
Apa yang dipikirkan Tisya memang benar. Perawatan pasien VIP di rumah sakit benar-benar berbeda dengan perawatan pasien biasa. Perawatan pasien VIP menggunakan obat yang sangat mahal karena biaya yang mereka bayarkan juga sangat mahal.
Apalagi yang membawa Tisya ke rumah sakit adalah Azhar yang tentunya perawatan yang diberikan adalah yang terbaik.
“Saya akan keluar menjawab telepon,” kata Azhar menatap ponselnya yang bergetar.
Tisya mengangguk sebagai tanggapan.
Tidak lama setelah Azhar pergi, ponsel Tisya berdering. Dia meraih ponselnya dari atas nakas dan melihat sebuah panggilan masuk dari Sarah.
Sarah adalah sahabat Tisya dan juga cucu dari kakek kepala desa yang merawat Tisya setelah kepergian kedua orang tuanya.
“Halo, Sarah.” Tisya berkata setelah mengangkat panggilan.
“Sya, masa orientasi gue udah selesai dan gue bisa pulang sekarang. Gue kangen banget sama elo. Gue pengen ngerayain akhirnya gue jadi mahasiswa baru di universitas utama kota.” Suara riang dan gembira terdengar dari balik telepon.
Sebelum Tisya sempat menjawab suara itu terdengar lagi. “Gue tahu elo pulang kerjanya kemaleman. Nah, gue tahu ada warung barbekyu yang buka larut malam. Gimana kalau kita ke sana?”
“Oke. Terserah kamu. Ngomong-ngomong selamat ya, udah jadi mahasiswa.” Tisya berkata dengan senyuman di bibirnya. Dia ikut terinfeksi dengan suara ceria Sarah. Depresinya selama dua hari terakhir perlahan menghilang.
Tisya tidak memberitahu Sarah tentang dirinya yang dirawat di rumah sakit. Dia tidak ingin Sarah ikut khawatir. Lagi pula dia sudah sembuh dan bisa pulang nanti sore.
“Um. Lo tahu universitas ini tuh keren banget. Gue juga dapat teman-teman baru di sini. Dan mereka baik banget sama gue. Salah satu teman baru gue yang dari keluarga kaya bagi-bagiin parsel. Nanti gue bakal ngasih ke elo juga parselnya, soalnya gue dapat dua hehehe....” Ucapan Sarah terus datang dari balik ponsel bercerita tentang pengalamannya selama masa orientasi membuat Tisya ikut tersenyum dan tertawa.
Tanpa Tisya sadari perilakunya ini terlihat oleh seorang pria yang berdiri di luar pintu dan mengintip melalui kaca di pintu.
Azhar menyandarkan bahunya ke dinding di samping pintu dan mengamati gadis yang tersenyum dan tertawa di dalam ruangan. Ketika dia tersenyum dia terlihat lebih lembut dan lebih nyata. Tidak seperti saat dia ada bersamanya gadis itu sangat tertutup dan terkekang. Segala ekspresinya tidak nyata, seperti sebuah cangkang kosong, seperti sebuah boneka mekanis yang telah diprogram.
Ternyata semua yang di lihatnya hanya lah kamuflase gadis itu. Rasa ketidakamannya pada orang-orang membuatnya mengembangkan perilaku seperti itu.
Melihat gadis itu masih terus menelepon Azhar berdiri tegak dan berbalik pergi.
Tisya yang asyik mendengarkan ocehan Sarah telah merasakan seseorang sedang menatapnya, tapi saya dia melihat ke pintu dia tidak melihat ada siapa pun.
“Hei, Sya. Elo dengerin gue nggak sih?” suara Sarah segera mengalihkan perhatian Tisya dan tidak menghiraukan perasannya sebelumnya.
“Iya, gue denger kok.” Ucap Tisya meraih gelas air di samping tempat tidur dan meneguknya menghilangkan rasa hausnya, kemudian terus berbicara dengan Sarah melalui ponsel.
߷߷߷
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments
🦋⃟Fly🍾⃝Kͩᴀᷞᴛͧɪᷡᴇͣ
bagian ini aku melow kak🥺
2023-08-16
1
🦋⃟Fly🍾⃝Kͩᴀᷞᴛͧɪᷡᴇͣ
memang kebanyakan hubungan di dilihat dari harta dan kasta. Tisya ragu akan hal itu
2023-08-16
0
Anita
eh sampek linglung
2023-08-11
0