Tak Berdaya

Jun yang tanpa sengaja menemukan kasus Khati, akhirnya mengetahui bahwa wanita itu juga seperti dirinya yang dikhianati pasangan selingkuh yang sama. Karena itu ia bertekad membantu wanita itu, sebab lewat wanita yang menjadi istrinya inilah, ia bisa melakukan balas dendam. Sayang, Khati yang pemaaf dan masih mencintai mantan suaminya itu, tidak sepemikiran dengannya hingga mau tak mau ia terpaksa mengikat wanita itu dengan pernikahan.

Pria itu kembali ke rumah dan masuk ke dalam ruang kerjanya. Di sana ia mengeluarkan kertas yang terlipat yang berisi tanda tangan Khati dari saku celananya. Jun masih bingung, di mana ia akan sembunyikan kertas itu sekarang. Ah, aku tahu. Tempat yang aman itu adalah di ....

-----------+++--------

Khati terbangun dengan mata yang masih berat karena mengantuk. Ia menyadari ia tengah berada di tempat yang tidak ia kenali. Langit-langitnya. Ya ... langit-langit kamar itu berbeda.

Wanita itu menyapu ruangan dengan netranya. Sebuah ruangan minimalis dan besar tapi tidak sebesar ... Ingatannya lumpuh. Ia berusaha mengumpulkan lagi kesadaran agar ia tahu apa yang terjadi dengan dirinya terakhir kali. Tak lama ....

"Ah!" Wanita itu segera terduduk dari tidurnya. Ia juga merasa ada yang beda dengan wajahnya. Seperti sedang ditutupi sesuatu tapi inderanya masih dengan leluasa melakukan tugasnya. Disentuhnya wajah itu. Ada semacam potongan kain yang melilit wajah dan terasa ngilu bilang disentuh. "Ah ...."

Ia kecewa. Wajahnya telah dioperasi. Mau bagaimana lagi ia menolak, ini sudah terjadi. Khati kini harus melanjutkan hidup dengan wajah yang berbeda.

Ia teringat lagi bagaimana ia terakhir menolak keras operasi ini tapi ia tak berdaya. Suaminya tetap memaksakan kehendaknya dan kini ia harus bagaimana? Hidup dengan identitas orang lain, memangnya bisa semudah itu?

Wanita itu mengeratkan kepalan tangannya karena geram. Terbayang bagaimana raut wajah sang suami ketika marah. Sangat mengerikan seperti singa yang sedang lapar. Namun ia membela hak atas tubuhnya sendiri, kenapa pria itu tak mau mendengarkan?

Tak terasa air mata jatuh dan membasahi perban di wajah. "Ah ...!" Ia merasakan perih di sekitar mata. Bahkan untuk sekedar menangisi nasibnya saja ia tidak bisa. Betapa menyedihkan hidupnya kini.

Wanita itu menatap ke depan. Di balik tirai tipis tembus pandang, ia melihat ada jendela kaca besar menghadap ke balkon. Ia tertarik untuk datang ke sana.

Diturunkannya kedua kaki dan melangkah ke arah kaca itu, lalu membukanya. Berhembus angin dari luar sedikit pelan walaupun matahari bersinar terang. Terlihat pemandangan beberapa gedung bertingkat di depannya yang bisa dilihat lebih jelas dari sini. Ia tidak mengenali gedung-gedung itu. Sepertinya ia sudah pindah ke Singapura, karena di Jakarta tidak ada gedung-gedung seperti yang dilihatnya sekarang.

Udara dari luar terasa membebaskan pikirannya yang tengah kusut dengan hidup. Ia pikir menikah dengan Jun bisa setidaknya mengurangi masalah, tapi yang terjadi ia malah mendapat masalah baru. Hingga kini ia tak mengerti kenapa sang suami bersikeras ingin agar ia mengubah wajahnya menjadi wajah wanita cantik itu. Lagipula, apa mungkin? Tubuhnya saja gemuk. Ia tidak mungkin bisa menjadi Julia.

Lama ia terdiam di sana, ia tak menyadari seseorang telah masuk kamar itu dan kini mendekatinya. Pria itu berdiri diam di belakang sang wanita untuk beberapa saat. "Khati."

Wanita itu terkejut dan berbalik. Ia melihat Jun sudah berdiri tak jauh darinya. Ia mundur perlahan dengan pandangan kesal. "Untuk apa kamu ke sini? Pergi sana! Aku tak mau melihat wajahmu lagi!" teriaknya parau. Khati ingin marah tapi rasanya tak berguna. Ia merasa dijebak Jun untuk mengikuti sebuah alur yang ia tidak tahu untuk apa.

Pria itu terlihat tenang. Ia hanya tidak tahu harus bicara apa. Sebentar kemudian ia menghela napas pelan. "Setidaknya kau makan. Ini sudah jam makan siang. Makanan sudah aku bawa."

Sang wanita tak menjawab. Ia hanya memutar wajah kembali menatap pemandangan yang terbentang di hadapannya. Karena tak mendapat respon, pria itu kemudian kemudian pergi.

Dengan rambut panjang hitam legam yang berkibar-kibar ditiup angin, Khati kembali bertahan di tempat itu. Beberapa saat ia merasa damai hingga pria itu kembali datang.

"Khati."

Wanita itu mengabaikannya. Jun coba menyentuh tangan sang istri tapi wanita itu langsung menepisnya kasar. Melihat itu, sang pria memberanikan diri meraih lengan Khati.

"Jun ... lepaskan aku! Lepaskan!" Wanita itu berontak ketika suaminya menggenggam erat tangannya. "Lepaskan aku, brengsek!" Ia memukuli lengan pria itu agar mau melepaskannya. "Jun!"

"Jam makan siang sudah lewat dan kau belum makan dari pagi. Ayo, masuk! Angin sudah mulai kencang," ucapan tegas pria itu cukup mengejutkan sang istri. Ia membawa masuk Khati ke dalam kamar dan mengunci jendela. Ia tak peduli sekeras apapun pukulan dan penolak wanita itu padanya.

"Jun, kau jahat! Kau jahat! Biarkan aku sendiri, Jun!"

"Aku tidak bisa membiarkan kamu sendiri sekarang. Kamu istriku. Ayo, sekarang kamu makan." Dengan lantang dan meyakinkan pria itu bicara pada Khati. Ia harus seperti itu sekarang, kalau tidak ia hanya akan ikut terbawa emosi seperti istrinya.

Mendengar kalimat itu sebenarnya Khati terharu tapi ia gengsi memperlihatkan perasaannya. "Tidak mau! Lepaskan aku!"

"Kau belum sholat Zuhur, 'kan?" Jun merendahkan nada suaranya. Kali ini ia punya banyak waktu dengan sang istri karena sudah berada jauh dari Jakarta. Ia bisa pelan-pelan membujuknya karena ia tahu Khati sudah tidak punya pilihan.

"Mmh? Sholat Zuhur?" Netra wanita itu membola.

"Juga belum sholat Shubuh, tapi itu tak perlu. Kamu 'kan baru bangun?" Melihat Khati yang mulai tenang, ia melepaskan wanita itu.

Khati segera melangkah ke kamar mandi.

"Khati, kau mau ke mana?"

"Wudhu."

"Wajahmu masih belum boleh kena air, Khati."

"Eh?"

"Tayamum saja."

Wanita itu menurut. Ia bertayamum pada dinding kamar. Setelah itu ia membongkar tas kain miliknya untuk mengambil mukena. Ia masih melihat pria itu duduk di sana pada sebuah kursi. "Kau mau apa masih di sini?" tanyanya ketus pada pria itu.

"Memastikanmu makan." Jun meluruskan kakinya dan melipat tangan di dada.

Dengan sebal Khati terpaksa membiarkannya duduk di sana. Seusai sholat, sang wanita memasukkan lagi mukena ke dalam tas dan duduk di tepi ranjang.

Jun mengambilkan piring makan istrinya. "Kau bisa makan sendiri?"

"Tentu saja!" sahut Khati kembali dengan nada kesal. Ia meraih piring yang disodorkan suaminya. Namun ia tak langsung memakannya, ia hanya mengaduk-aduk nasi tanpa akhir.

Jun mulai kesal. Ia duduk di samping Khati dan merebut piring itu. "Sini, aku bantu."

"Eh!" Wanita itu makin kesal saja. "Aku bisa makan sendiri," keluhnya.

"Sudah, aku saja. Ayo, a ...." Jun mencontohkan membuka mulutnya dengan menyodorkan sendok berisi lauk ke arah mulut sang istri.

Namun Khati tetap tak mau memperlihatkan dirinya sudah memaafkan pria itu. Ia pura-pura ngambek walau sebenarnya ia mulai merasa tersanjung melihat kepedulian sang suami padanya. "Tidak mau!" Ia menggulung bibir bawahnya dan memalingkan wajah.

Terpopuler

Comments

Ratna Dadank

Ratna Dadank

lanjut kaaaakkk...

keren ceritanya

2023-07-28

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!