Seperti Kuda Lepas dari Kandang

..."Seseorang yang merasa gembira sekali karena bebas dari larangan, kungkungan, dan sebagainya"...

Bu Lurah membanting kantong plastik berisi rambutan yang dibawanya ke atas meja ruang tamu sambil marah-marah, "Pantas saja, sudah dua puluh empat tahun masih adem ayem, tidak kelihatan punya pacar! Ternyata ngincar suami orang!"

Pak Agung masuk setelah memarkir sepeda motornya di beranda. "Kamu jangan bicara sembarangan. Ningsih tidak pernah minta aku datang---"

"Hooo, jadi kamu yang kegatelan, pura-pura datang bawa oleh-oleh untuk anak-anak, padahal pengen lirik-lirik pelatih narinya!" Jarinya menunjuk-nunjuk muka Pak Agung, mata melotot, dan wajah memerah. "Kamu, ya, jangan-jangan hanya alim di depanku, tapi di belakang digar, seperti kuda lepas dari pingitan!"

(Digar: kuda atau sapi yang lari lompat-lompat kesenangan setelah dilepaskan dari kandang)

"Terserah kamu lah mau mikir apa!" Orangnya ramah, biasa bertutur kata halus dan sopan, bahkan saat nada suaranya tinggi pun tidak terasa mengintimidasi.

Mungkin karena hal itulah Bu Lurah terlihat jauh lebih dominan. Apalagi dia juga memiliki jabatan cukup tinggi, sedangkan Pak Agung hanya guru di salah satu SD kota Nganjuk. Hanya guru honorer, jadi terkesan Bu Lurah sangat meremehkan sang suami.

Malas meladeni sang istri yang berapi-api, Pak Agung beranjak masuk ke ruang makan. Namun, Bu Lurah yang merasa belum puas mengikutinya, tidak lupa membawa kantong plastik berisi rambutannya.a

"Kamu jangan macam-macam, ya! Kalau sampai aku tahu ada apa-apa antara kamu sama Ningsih, lihat saja ...."

"Ada apa ini?" Pak Padianto tiba-tiba sudah berdiri di pintu. "Ngomong tidak bisa pelan-pelan apa? Kedengaran sampai jalan besar."

Pak Agung segera menghampiri. "Eh, Bapak. Ya ampun, sudah gelap, kok ya, nekat ke sini. Kenapa tidak tadi siang saja? Mari, duduk dulu." Sangat ramah, pria usia 29 tahun itu membimbing mertuanya ke ruang tamu.

"Tadi siang aku sudah ke sini, Gung. Tapi Sri malah masuk kamar."

"Sudah dibilangi berkali-kali, jangan keluyuran! Jadi orang tua bandel banget, sih!"

"Sri! Bisa-bisanya kamu bicara begitu---"

"Memangnya kenapa? Aku begini karena khawater---"

"Kalau kamu memang mengkhawatirkan bapak, urungkan niatmu merobohkan sanggar dan punden. Bapak janji, setelah itu tidak bakalan mengganggu kamu lagi ...."

"Hah?" Pak Agung terbengong, dahi mengernyit, mencoba mencerna perkataan mertuanya.

"Istrimu itu punya rencana mau merobohkan sanggar dan punden ...."

Pak Padianto menceritakan semuanya, tidak peduli pada kemarahan Bu Lurah yang semakin menjadi-jadi. Buat apa ditutup-tutupi, toh, pada akhirnya juga akan ketahuan.

"Wah! Itu tidak benar, to, Sri---"

"Diam kamu, Mas. Urus saja pekerjaan kamu sebagai guru yang gajinya tidak seberapa, soal memimpin desa itu urusanku ...."

Mencoba memberi nasihat, Pak Agung malah dicerca habis-habisan oleh istrinya. Bahkan Ningsih pun turut disebut-sebut. Bu Lurah sebenarnya tidak sungguh-sungguh berpikir kalau Ningsih dan Pak Agung ada hubungan serius. Tadi dia hanya cari gara-gara saja untuk melampiaskan kekesalan hatinya.

"Kamu tidak usah cari-cari alasan! Kamu tidak suka sama Ndok Ningsih karena kebetulan dia satu-satunya orang yang masih peduli pada sanggar. Harusnya kamu itu mendukung, bukan malah seperti ini. Dia juga berpikiran modern, tapi tidak meremehkan budaya dan warisan leluhur. Bagus itu. Patut dicontoh."

Perasaan yang tadinya hanya kesal itu langsung memuncak jadi benci saat Pak Padianto malah membela dan memuji Ningsih. Perempuan yang sudah menginjak usia 28 tahun itu mengamuk, seperti anak kecil membanting kantong plastik berisi rambutan hingga isinya berhamburan di lantai.

"Ningsih, Ningsih, Ningsih teros! Apa bagusnya sih perawan tua itu?"

Sudah menyimpang dari topik. Pokok permasalahan yang dibahas bukan status Ningsih, jadi Pak Agung dan Pak Padianto hanya diam, membiarkan Bu Lurah mengoceh sepuasnya mengata-ngatai gadis itu. Lebih baik begitu karena kalau diladeni bisa semakin ngawur ngomongnya.

Sama halnya dengan Bu Lurah, Ningsih pun jadi uring-uringan, mengadu pada bapak dan ibunya dengan berapi-api.

"Kalau sampai dia berani macam-macam, lihat saja, ya ... bakal celaka! Lihat saja!" Tidak cukup mulutnya yang mengoceh tangannya juga memukul-mukul meja. Gemas rasanya. Ingin sekali mendaratkan telapak tangannya di mulut Bu Lurah yang merah segar itu sampai nyonyor.

Ningsih itu sopan, tahu betul unggah-unguh, tidak pernah bersikap kurang ajar pada yang lebih tua. Akan tetapi, sifat dasarnya keras kepala, penuh tekad, dan pemberani. Saat merasa apa yang menjadi haknya atau kesenangannya diusik, dia bisa berubah jadi monster saat itu juga. Seperti singa tidur yang diganggu.

"Sabar, Ndok. Biar Bapakmu yang urus." Bu Rusmini meraih kedua tangan putrinya lalu menggenggam lembut.

"Iya. Kamu tidak usah khawater. Bu Lurah tidak mungkin berani kalau kita semua menentang." Melihat putrinya yang selama ini hampir tidak pernah marah sampai lepas kendali seperti itu hati Pak Wahyu rasanya lebih marah lagi.

Lagi pula, bagaimana bisa Bu Lurah punya pikiran untuk merobohkan sanggar dan punden yang merupakan bagian dari budaya warisan leluhur? Kalau memang ingin memperluas pasar, bukannya masih ada area pembuangan sampah yang menurutnya terlalu luas, padahal sampah pasar yang dibuang di sana tidak banyak.

Ada pun sampah, biasanya langsung dibakar oleh para pedagang sebelum mereka pulang, sedangkan untuk sampah sayuran dan buah biasanya diambil oleh warga buat makanan ternak. Jadi, lokasi pembuangan sampah itu tidak pernah benar-benar ada timbunan sampah. Bisalah dibangun beberapa los di sana dan disisakan secukupnya untuk pembuangan sampah.

"Bapak tidak lihat sendiri bagaimana egoisnya perempuan itu. Kalau ingat wajahnya ... ughf ... pengen tak bejek-bejek! Caranya melihat Ningsih waktu Pak Agung datang, iissh, dikiranya aku doyan apa sama punya orang ...." Gadis itu *******-***** jemarinya sampai terdengar bunyi gemeletuk.

"Mulai sekarang kamu harus tegas. Larang Pak Agung datang lagi. Bapak tidak mau kamu jadi sasaran fitnah." Tatapan Pak Wahyu yang biasanya teduh, kini tajam memperingatkan. "Kalau kamu tidak berani ngomong, biar bapak nanti yang maju."

"Pak Agung itu orang baik, loh, Pak," ujar Bu Rusmini. "Dibilangi baik-baik pasti ngerti. Sudah, Bapak tidak usah ikut campur, nanti malah jadi tidak enak hati. Kamu saja yang ngomong, Ndok."

"Iya." Hati masih kesal, menyahuti ibunya juga dengan nada sengak.

Pak Wahyu menjewer main-main telinga Ningsih. "Bicara sama Ibunya, kok kayak gitu, huh. Minta dijewer, yo."

Segera setelah mengerling sang babak, bibir yang tadinya manyun langsung tersenyum sambil tangan mengelus telinga pura-pura kesakitan.

"Ya, maaf. Ningsih kan lagi kesal, Pak."

Bu Rusmini tertawa ringan sambil mengelus lembut rambut putrinya diikuti oleh sang suami. Tak lama kemudian ketiganya tertawa bersama. Ah, dalam situasi apa pun, keluarga adalah tempat terbaik untuk bernaung dan saling berbagi.

[Bersambung]

Terpopuler

Comments

Mazmur

Mazmur

dan ningsih kpn ketemu jodohnya..🤣🤣

2023-08-06

1

Askara

Askara

Hati-hati dalam berbicara, bisa jadi nanti terkabulkan, eh
.

2023-07-31

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!