Warisan Leluhur
..."Orang Lain Berusaha, Orang Lain Pula yang Mendapat Nama"...
Sambil melambai pada murid terakhir yang meninggalkan sanggar, dalam hati Ningsih bersyukur sekali mereka masih mau datang latihan meski hujan rintik-rintik terus turun.
"Andai saja aku punya banyak duit. Jalan-jalan desa bakal tak perbaiki semua. Sayangnya, aah, sudahlah ...."
Ningsih menghela napas panjang. Saat hujan terus turun seperti ini, seolah bersambung dari hari ke hari tiada henti, beberapa bagian jalan desa pun pasti ada yang sangat berlumpur dan licin. Rasanya khawatir juga pada anak-anak itu. Nekat, padahal sudah dibilangi tidak harus datang.
Senyum tipis tersungging di bibirnya yang kemerahan. Sok-sokan berkeluh-kesah, padahal hatinya senang mereka tetap datang. Itu artinya mereka serius. Hanya lima anak, yang dua murid kelas enam SD dan yang tiga sudah kelas dua SMP.
Gadis itu kembali menghela napas. Resah, dalam hati bertanya, kapan jalan-jalan akses penting itu akan diperbaiki?
Desa Pantungan ini bisa dibilang sudah cukup maju dibandingkan desa-desa lain yang ada di sekitar. Bahkan pasarnya saja sudah terkenal, banyak warga desa tetangga belanja di situ karena tidak punya pasar sendiri. Pedagang pun banyak yang dari luar desa---kebanyakan mereka ini orang-orang yang tinggal di dekat pasar besar.
Mengerling ke atas, mata bola pingpong gadis ini menatap prihatin plafon yang dulunya berwarna putih sekarang sudah banyak bagian yang menjadi kecoklatan, bahkan yang di pojokan belakang sebelah kiri itu sudah ambrol, rapuh kena tetesan air hujan.
Lihat saja itu dua ember yang Ningsih taruh di bawahnya, sudah hampir penuh lagi. Sebelum meluap, Ningsih bergegas membuangnya. Kemudian mengelap lantai yang basah.
Bagian dinding sanggar yang terbuat dari kayu, bawahnya sudah berlubang dimakan rayap, lantai semen sudah banyak yang pecah, pintu dan jendela engselnya juga sudah tua---saat dibuka-tutup suaranya berisik. Keadaan sanggar ini cukup memprihatinkan memang. Kalau tidak ada Ningsih, sanggar ini pasti sudah terbengkalai atau terlupakan.
Meskipun para sesepuh peduli, tetapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa, selain berharap akan ada kawula muda yang mau melestarikan warisan leluhur ini. Bersyukurlah ada Ningsih.
Walaupun---mungkin---pada akhirnya nanti hanya akan menjadi seperti pepatah, lembu punya susu, sapi punya nama, Ningsih tidak keberatan. Dia tulus ingin melestarikan cagar budaya warisan leluhur. Bukan sekadar mencari sensasi.
Jadi, kalaupun suatu saat nanti sanggar ini berhasil dihidupkan kembali seperti dulu dan yang akan dikenal sebagai pelopornya adalah orang lain, bukan Ningsih, gadis itu tidak akan mempermasalahkannya.
sudah pukul lima sore, Ningsih mengemasi barang-barang karena sudah waktunya pulang. Kalau tidak hujan, latihan biasanya sampai pukul enam. Ya, mau bagaimana lagi? Musim hujan begini hari lebih cepat gelap, kasihan anak-anak yang rumahnya jauh.
Tok tok tok
Bahunya menjengit. Aduh! Dalam hati mengeluh. Tanpa melihat pun Ningsih sudah bisa memperkirakan siapa yang datang. Niatnya mau buru-buru pulang biar tidak bertemu orang ini. Eh, malah orangnya sudah datang.
"Eh, Pak Agung." Tetap ramah meski hati masygul. "Hujan-hujan, kok ya, masih mampir." Dia meletakkan kembali tas kainnya lantas melangkah menghampiri pria yang berdiri di depan pintu.
Pria itu masih mengenakan helm dan mantel, tangan kanannya memegang tas plastik warna hitam. Basah kuyup. Motornya diparkir di luar pagar sanggar.
Wajah manis Ningsih semakin sedap dipandang saat kedua cekungan cukup dalam menghiasi kedua pipinya. Rambutnya tersapu ke belakang ketika angin berembus. Sangat menawan.
"Seperti biasa, Dek Ning. Oleh-oleh buat anak-anak. Tapi sudah pulang semua ternyata." Pria itu tersenyum ramah sembari mengulurkan tas plastik pada Ningsih.
"Maaf lo, Pak. Bukannya Ningsih tidak mau, tapi anak-anak kan sudah pada pulang. Sebaiknya Pak Agung bawa pulang saja buat Bu Lurah."
Senyum ramah di wajah tampan berahang tegas itu sedikit luntur, tetapi apa yang dibilang Ningsih memang benar. Dia biasa datang membawa oleh-oleh untuk murid-murid sanggar. Kalau mereka sudah tidak ada, ya, mau bagaimana lagi? Dibawa pulanglah. Lagi pula guru tarinya juga sudah menolak.
"Ya, sudah kalau begitu." Senyum ramahnya jadi terasa sedikit canggung. "Sudah mau pulang? Ayo, pulang bareng."
"Terima kasih Pak. Tapi maaf, masih ada yang harus Ningsih kerjakan."
"Kalau tidak lama, aku bisa nunggu."
"Wah, jangan, Pak. Tidak perlu repot-repot begitu. Sebaiknya cepat pulang, hujan-hujan begini pasti bu lurah khawatir nungguin Pak Agung pulang."
"Tidak apa-apa. Tidak---"
"Maaf, Pak." Ningsih langsung menyela karena Pak Agung tampaknya tidak gampang menyerah. "Sebenarnya Ningsih merasa tidak enak. Bagaimana kalau ada yang melihat kita hanya berduaan di sini? Mohon pengertiannya, ya, Pak."
Seperti disiram air comberan di muka umum, Pak Agung wajahnya langsung memerah karena malu. Pada akhirnya pria itu pun menyerah, pulang duluan tanpa Ningsih.
Tahu sendirilah bagaimana adat orang desa. Lebih baik tidak ambil risiko. Apalagi Pak Agung itu suaminya Bu Sriwedari, Lurah Desa Pantungan ini. Bisa gawat kalau sampai digosipkan macam-macam. Begitu motor Pak Agung sudah melaju, Ningsih pun bergegas melanjutkan mengemasi barang-barangnya.
"Sampon sonten, Ningsih pamit, Mbah."
(Sampon sonten: Sudah sore)
Sangat lengang. Tidak ada orang lain di situ. Ningsih berpamitan pada siapa?
Tidak perlu heran, itu sudah menjadi kebiasaan dia, bahkan saat melintas di jalan depan punden Ningsih juga mengucapkan kalimat yang sama.
Sebenarnya tidak hanya di sanggar atau punden saja dia begitu, di tempat-tempat lain yang dianggap keramat dan ada penunggunya, Ningsih juga selalu mengucapkan salam. Maklumlah, orang kampung yang masih sangat percaya takhayul.
Lewat payung transparannya, Ningsih memandang langit. Mendung, gerimis masih terus turun. Suasana sudah cukup gelap, dua pohon besar yang ada di kiri-kanan punden terlihat menyeramkan, tetapi Ningsih tidak terlihat takut. Kaki jenjangnya melangkah ringan ke area pasar. Rumah Ningsih letaknya di seberang pasar.
Punden Desa Pantungan ini berupa pondok kecil tanpa dinding, posisi lebih tinggi dari permukaan tanah, terdapat lima anak tangga, lantainya disemen, di tengah-tengah lantai ada lubang persegi empat untuk meletakkan bunga-bunga dan berbagai macam sesajen.
Dua pohon jati raksasa tumbuh di kiri-kanan, akarnya besar-besar dan mencuat ke permukaan tanah, daunnya jarang-jarang. Bila hanya dilihat selintas lalu, kedua pohon itu seperti pohon mati yang masih tegak berdiri.
"Ningsih pulang, Buk." Gadis itu masuk lewat pintu dapur, menyapa ibunya yang sedang memasak.
"Mandi dulu sana." Bu Rusmini hanya mengerling putrinya sekilas, tangannya sibuk membalik ikan asin di penggorengan.
"Bapak belum pulang?" Ningsih melangkah melewati ibunya menuju ke ruang dalam. Tidak lama balik lagi membawa handuk.
"Tadi sudah. Tapi, barusan pergi lagi sama orang-orang, soalnya tanggul sawah kidol jebol."
Tidak heran. Kalau hujan terus-menerus begini, bisa-bisa bukan hanya tanggul sawah yang jebol, sungai juga bisa meluap.
Pak Wahyu, bapaknya Ningsih, pulang sudah lewat jam makan malam. Selagi dia mandi, Ningsih menyiapkan makan malam untuknya, sedangkan si ibu duduk selonjoran sambil nonton TV. Syukurlah, hujan sudah berhenti sama sekali, untung juga tidak ada kilat petir. Jadi tidak khawatir tersambar.
"Hujan terus, ada anak yang datang latihan apa tidak, Ndok?"
(Ndok: Panggilan anak perempuan dalam bahasa jawa)
"Ada, Pak. Mereka datang semua, kok, lima anak. Dua dari desa sebelah." Tadinya Ningsih mau duduk dengan ibunya di depan TV, akhirnya malah menemani si bapak.
"Pak, sanggar itu sudah lama tidak direnovasi. Mbok, ya, direnovasi lagi."
Sebenarnya bukan tidak pernah diperbaiki sama sekali. Ningsih sudah pernah beberapa kali meminta tolong tukang untuk membenahi atap dan membetulkan bagian-bagian yang rusak cukup parah, tetapi tidak tahan lama. Sepertinya memang butuh renovasi menyeluruh.
"Ya, kamu bilango sama Bu Lurah. Kamu, kan, penanggung jawab sanggar, to ...."
Benar juga. Sebagai guru menari dan satu-satunya orang yang mau mengurus sanggar, Ningsih seharusnya punya hak mengajukan permohonan perbaikan. Toh, sanggar itu aset desa, warisan leluhur yang katanya dibangun tidak lama kemudian setelah desa ini berdiri.
Sejak perbincangan dengan ayahnya, tiga hari sudah berlalu. Siang ini, setelah pulang dari mengajar di SMP desa, Ningsih pergi ke kediaman Bu Lurah.
Di depan rumah Bu Lurah, dia melihat dua orang pria masuk ke mobil. Penampilannya seperti para juragan. Laki-laki, tetapi mengenakan kalung emas sebesar rantai sepeda, cincin juga gede, jam tangannya juga keemasan. Seperti toko emas berjalan saja.
Masuk ke beranda langsung disambut oleh Bu Lurah sendiri, Ningsih diajak mengobrol di ruang tamu. Bu Lurah, perempuan bertubuh montok, rambut rapi disanggul cepol satu, bibir merah terang terlihat sedikit dower, duduk bertumpu siku pada lengan sofa---menatap intens pada Ningsih yang duduk di depannya.
"Ya, sudah. Kapan-kapan tak lihate. Tapi, tidak janji bisa segera diperbaiki soalnya aku mau fokus ke perbaikan jalan dulu, lo, Dek Ning."
Wah! Akhirnya ada juga lurah yang berpikir untuk membangun jalan. Ningsih tidak bisa menahan senyum, lekuk curam menghiasi pipi, mata bulat besarnya berbinar.
Gadis itu tidak tahu saja kalau sebenarnya para lurah pendahulu juga sudah pernah mengajukan proposal perbaikan jalan, tetapi sampai sekarang belum ada kepastian. Janji-janji terus, sampai pemerintahan orde baru runtuh pun, belum terealisasi.
"Terima kasih, Bu Lurah. Kalau begitu Ningsih pamit dulu."
Gadis tinggi semampai itu meninggalkan kediaman Bu Lurah dengan hati penuh harap. Berharap pembangunan desa segera terlaksana, berharap lurah yang sekarang menjabat benar-benar bisa memajukan desa. Bu Sriwedari itu katanya masih keturunan lurah pertama desa ini. Mudah-mudahan bisa amanah.
Keesokan paginya saat Ningsih sudah berangkat mengajar, Bu Lurah mengunjungi sanggar tari ditemani Pak Gonden, Bayan Dusun Kidul, sekaligus orang kepercayaannya. Mereka tidak bisa masuk ke dalam sanggar karena kunci ada di Ningsih.
Melihat bangunan yang sudah cukup kuno, sudah mengalami beberapa kali perbaikan juga, tetapi nyatanya sepi-sepi saja tidak banyak aktivitas. Hanya Ningsih yang masih mau susah-susah mengurus tempat ini.
Buat apa coba? Mending urus diri sendiri, cari jodoh. Masa, iya, sudah umur 24 tahun masih belum ada tanda-tanda akan menikah. Bu Lurah mengembuskan napas kasar, kepala menggeleng kecil. Tidak mengerti dengan pilihan gadis muda itu.
Baru pukul delapan lebih, pasar yang biasanya tutup pukul sepuluh ini tentu saja masih sangat ramai. Ada dua pedagang yang membuka lapak di teras sanggar. Bercakap-cakap sebentar dengan mereka, setelah itu Bu Lurah melangkah menuju punden lewat jalan setapak yang ada di belakang sanggar.
Di depan punden, di luar pagarnya, banyak juga pedagang yang berjejer; ada yang pakai dipan, ada yang membentang tikar, ada juga yang di sepeda pakai keranjang. Begitu banyak orang, jalan yang bisa dilalui jadi terbatas, bahkan adakalanya terhambat. Untung saja jalan di situ padat dan sedikit berkerikil jadi tidak becek.
Pak Gonden yang sedari tadi mengekori Bu Lurah, kini berdiri sejajar. "Bu Lurah, jadi mau men---"
"Hush! Diam kamu!"
Padahal Pak Gonden berbicara sangat pelan, tetapi Bu Lurah masih menghardiknya. Mata Bu Lurah jelalatan, melirik ke sana-kemari.
"Jangan sembrono!" Kini matanya melotot pada Pak Gonden.
[Bersambung]
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
AFighter
Namanya sangat melokal
2024-05-30
0
Hitam Arang
Wahhhh ceritanya bgus bngt. yg kaya gini seharusnya cerita tentang cerita lokal
2024-04-17
2
ZAYLOTUS
aku mampirrr ....
2023-08-04
1