Meminta Tulang Pada Lintah

..."Mustahil atau Tidak Mungkin"...

Pukul dua siang, hujan turun sangat deras, Pak Padianto yang hendak menemui Bu Lurah kehujanan di jalan, padahal tadi waktu berangkat tidak ada tanda-tanda akan turun hujan.

Masuk ke pelataran rumah Bu Lurah, belum juga menyandarkan sepeda sudah diberondong omelan, "Sudah dibilang jangan keluyuran, kok ya, masih nekat. Tidak sayang sama diri sendiri. Lagian bolak-balik ke sini buat apa, to?!"

"Bapak harus bicara sama kamu!"

"Kalau mau ngomong soal yang tadi pagi, lebih baik tidak usah. Aku tidak mau dengar. Setuju tidak setuju, rencana tetap akan jalan! Aku mau tidur siang." Bu Lurah langsung balik badan masuk ke kamar---membuka dan menutup pintu kasar.

Pak Padianto hanya bisa menggeleng prihatin. Kalau sudah seperti ini, ibarat meminta tulang pada lintah. Mustahil. Dari kecil tabiat Bu Lurah memang sudah minus. Terlalu dimanja oleh ibu dan neneknya, jadi suka semena-mena pada teman-temannya. Waktu SMP oleh Pak Padianto dimasukan sekolah berasrama. Walaupun sempat ditentang anggota keluarga yang lain, Pak Padianto bergeming.

Pak Padianto ingin putrinya kelak menjadi anak yang berbudi pekerti dan tidak egois. Dipikirnya, sekolah asrama akan sangat bagus untuk Bu Lurah remaja belajar apa itu berbagi dan mendengar pendapat orang lain, juga disiplin.

Selama enam tahun di asrama, Bu Lurah remaja menunjukkan perubahan cukup baik. Waktu di perguruan tinggi juga tidak aneh-aneh. Akan tetapi, setelah menjadi guru dan orang-orang yang mendukungnya satu per satu meninggal dunia, Bu Lurah yang sudah dewasa dan menjadi guru SMP kembali ke sifat aslinya. Bahkan seperti menyimpan dendam pada sang bapak yang dulu memaksanya tinggal di asrama.

Sekarang setelah menjadi lurah, sikapnya pada Pak Padianto sering kelewatan. Seperti tidak ada harganya saja itu orang tua yang tinggal satu-satunya.

Parti, asisten rumah tangga Bu Lurah datang dan menyuruh Pak Padianto masuk. Duduk-duduk sebentar sambil minum teh hangat dan gorengan, kemudian pamit pulang saat hujan sudah reda. Percuma menunggu, Bu Lurah sepertinya sengaja tidak mau keluar dari kamar.

Roda sepeda tua yang dikayuh Pak Padianto menggelinding pelan di jalanan becek. Matanya fokus ke depan.

"Mbah Padi, hati-hati jalannya licin," Ningsih menegur riang. Hendak pergi ke sanggar, kok, kebetulan sekali bertepatan Pak Padianto lewat.

Pria paruh baya itu menghentikan sepeda lalu mundur, menghampiri Ningsih yang masih berdiri di pintu pasar.

"Kamu mau ke sanggar, Ndok?"

"Iya, Mbah."

"Boleh mbah mampir?"

"Wah, ya tentu boleh to, Mbah. Monggo."

(Monggo: silakan)

"Aku tak muter lewat jalan sana saja."

Sebenarnya bisa saja lewat pasar, tetapi sepeda harus dituntun. Ningsih mengangguk sopan, setelah Pak Padianto berlalu, dia pun beranjak.

Wajah Ningsih semringah saat sampai di sanggar, kelima muridnya sudah menunggu sambil berbincang dengan Pak Padianto yang sudah sampai lebih dulu. Memang hanya lima dan tidak dipungut biaya sedikit pun, tetapi Ningsih sungguh sangat bersyukur karena masih ada anak yang berminat pada kesenian tradisional. Jangankan lima, hanya satu pun kalau bersungguh-sungguh, tetap Ningsih ajari.

"Yang latihan cuma lima, Ndok?" Wajah Pak Padianto melukiskan keheranan.

"Iya, Mbah. Yang dua, anak desa sebelah, yang tiga dari desa sini, tapi rumahnya lumayan jauh di Dusun Etan."

"Anak-anak sekitar sini?"

"Mereka punya kegiatan lain, Mbah."

Itu bohong. Sebenarnya karena melihat banyak anak yang tidak memiliki kegiatan, Ningsih pernah mencoba membujuk mereka untuk ikut latihan menari, tetapi hasilnya nihil. Anak-anak itu tidak ada yang tertarik, menolak dengan berbagai macam alasan.

Tatapan Pak Padianto mengisyaratkan keprihatinan. Selama kurang lebih setengah jam berada di sanggar, pria paruh baya itu bercerita banyak hal. Termasuk kisah tentang awal mula berdirinya sanggar ini. Pak Padianto juga mengatakan kalau Danyang Punden dan Danyang Sanggar dulunya adalah sepasang suami-istri.

Tentu saja itu hanya rumor yang beredar dari zaman dulu hingga sekarang. Benar atau tidak, siapa yang bisa membuktikan? Saksi hidup di masa lalu sudah meninggal semua. Bahkan Danyang-danyang itu dulu pernah hidup atau tidak, atau memang dari awal sudah makhluk lelembut, siapa juga yang tahu?

Sepeninggal Pak Padianto, anak-anak latihan menari sambil berceloteh, membicarakan ulang apa yang baru saja diceritakan pria paruh baya itu. Ningsih yang dihujani banyak pertanyaan sangat sabar meladeni mereka. Untung saja dulu dia cukup banyak mendengar kisah tentang sanggar ini dari neneknya. Jadi, tidak kesulitan untuk menjelaskan.

Tok tok tok

Ketukan di pintu sejenak menginterupsi mereka. Melihat Bu Lurah yang berdiri di ambang pintu, Ningsih girang bukan kepalang.

"Wah, Bu Lurah! Mari masuk, Bu!" Kaki jenjangnya melangkah cepat menghampiri Bu Lurah. "Oh iya, sudah jam lima, kalian boleh pulang takutnya hujan lagi."

"Cuma lima yang latihan?"

Wajah Bu Lurah tidak menunjukkan ketertarikan sama sekali, malah terkesan sinis. Dia tidak tahu bahwa yang dia bilang 'cuma lima' itu bagi Ningsih sudah lebih dari cukup.

"Iya, Bu."

"Sepertinya tidak ada gunanya sanggar ini tetap ada. Peminat tari tradisional sudah jauh berkurang, kan?"

Wajah semringah seketika masam. "Iya sih, Bu. Tapi, sanggar ini kan warisan leluhur. Asalkan ada yang masih mau belajar nari, Ningsih bersedia mengajarinya. Ningsih akan berusaha mengajak anak-anak lain untuk melestarikan kesenian tradisional."

Ini bukan hanya omong kosong. Kelima murid yang saat ini ikut latihan, itu adalah hasil kegigihan Ningsih membujuk mereka, terutama bertiga yang sudah SMP. Mereka murid-murid di sekolahnya, sedangkan yang dua adalah anak-anak kenalan Ningsih.

"Hufh ...." Bu Lurah mendengkus sinis. "Tidak berguna ya, tidak berguna. Lebih baik dirobohkan lalu dimanfaatkan---"

"Bu Lurah tidak serius, kan?"

"Serius." Gaya bicaranya santai, tetapi mengandung arogansi yang menegaskan 'akulah yang berkuasa'.

Mata Ningsih yang aslinya sudah besar, terlihat jauh lebih besar karena syok. "Bu Lurah tidak boleh merobohkan sanggar! Mbah Putri akan marah, Bu Lurah bisa kena karma!" Ningsih terkesiap, teringat mimpinya.

Apa ini arti dari mimpi kemarin malam?

"Mbah Putri itu siapa? Karma apa, hah? La wong, aku mau membangun desa biar lebih maju. Masa iya, kena karma?"

"Mau membangun bukan berarti harus menghilangkan sanggar dan punden. Itu warisan, peninggalan leluhur desa ini---"

"Tidak ada manfaatnya---"

"Tidak bisa! Aku tidak akan diam saja kalau sampai Bu Lurah berani mengusik punden dan sanggar!" Meninggalkan sopan santun, Ningsih berteriak tepat di depan wajah Bu Lurah.

"Eh, bocah! Memangnya kamu itu siapa?!"

Ningsih menatap sengit, tangan mengepal, dada naik-turun kasar, rahang mengetat, bibir hanya berkedut-kedut---saking marahnya sampai tidak tahu harus berkata apa lagi.

Dari ekor mata dia melihat ternyata anak-anak belum pergi. Mengabaikan Bu Lurah yang menatap marah, Ningsih menghampiri mereka.

"Ayo, ayo, cepat pulang. Jangan sampai kehujanan."

Tok tok tok

Semua perhatian tertuju ke pintu. Pak Agung berdiri di sana, membawa bungkusan seperti biasa. Wajahnya seketika menegang saat melihat Bu Lurah.

"Loh, Buk'e ada di sini?"

Bu Lurah mendekat, Pak Agung terlihat gugup. Berhenti tepat di depan sang suami, Bu Lurah memandang bergantian antara Ningsih dan Pak Agung.

"Kamu jangan salah paham, aku datang cuma mau ngasih rambutan buat anak-anak itu."

"Pulang, sekarang! Sinih!"

Ketika Pak Agung hendak menyerahkan barang bawaan pada anak yang paling dekat dengan pintu, Bu Lurah langsung menyambarnya.

Ningsih membuang muka saat Pak Agung mengangguk kecil, berpamitan. Ningsih berharap, setelah ini, pria itu tidak akan datang lagi.

[Bersambung]

Terpopuler

Comments

Abil Abil

Abil Abil

ekj tapi Thor keren dech top markotop.. kerena setiap judulx.. dapat banyak pepatah baru.. love you thor😘

2023-09-02

1

YuBe

YuBe

Jangan lupa kasih hadiah ya1🤭🤭🤭🤭🤭🤭

2023-08-06

0

Mazmur

Mazmur

sudah ku duga klo lurahnya arogan..😉🤣🤣

2023-08-06

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!