..."Membuat Malu"...
Tadi sore sempat hujan deras sebentar. Setelah itu, terus gerimis sampai sekarang. Baru setengah tujuh jalanan desa sudah lengang. Hanya orang-orang yang punya urusan penting saja yang akan nekat keluar.
Sudah jalanan becek berlumpur, penerangan pun masih jarang-jarang. Ada pun hanya lampu bohlam berdaya rendah yang nyalanya redup keemasan.
"Bapak ke mana, Buk?" Ningsih muncul di dapur, baru pulang dari sanggar.
Hari ini tidak ada latihan menari karena sanggar diperbaiki---hanya bagian yang parah saja, sih. Tadi Ningsih ke sana untuk membersihkan kotoran sisa-sisa bahan yang digunakan untuk perbaikan.
"Pulang kerja bakti langsung ke Dusun Lor ketemu Mbah Mun."
Mbah Mun itu adalah salah satu sesepuh desa yang paling tua, usianya sudah hampir delapan puluh tahun, tetapi masih sehat dan bisa bertani.
"Oalah, kok ya, tidak besok saja."
"Sudah, tidak usah ngomel. Mending mandi sana terus bantu ibu."
Ningsih melangkah pergi sambil memanyunkan bibir. Tidak habis pikir, kenapa tidak ada lurah yang benar-benar berniat membangun desa ini. Waktu masih mencalonkan diri berjanji muluk-muluk untuk mencari dukungan, setelah terpilih, ya, begitulah ....
Sampai-sampai beberapa waktu lalu Pak Wahyu dan beberapa warga sekitar rumahnya, kerja bakti mencari pasir batu coral di sendang untuk menimbun jalan gang depan rumah supaya tidak becek.
Selagi Ningsih masih di kamar mandi, Pak Wahyu pulang. "Ndok sudah pulang?"
"Sudah dari tadi, lagi mandi."
Ningsih muncul di dapur dari arah pintu yang menju ke kamar mandi---kamar mandi letaknya di samping dapur.
"Buruan mandi, Pak, biar tidak masuk angin. Sebentar Ningsih ambilkan handuk sama sarung dulu."
Begitulah keluarga kecil ini saling mengasihi---saling memberi perhatian meski dalam hal kecil.
Setelah selesai memasak dan semua juga sudah mandi, acara berlanjut ke ruang makan.
"Tadi bapak ketemu Mbah Mun sama Bu Saji ...." Menggantung kalimatnya, Pak Wahyu menyuapkan sesendok penuh nasi beserta lauk ke mulut.
"Memangnya rembukan apa sih, Pak?"
"Paling, ya, soal nyadranan, Ndok," ujar Bu Rusmini. Suara perempuan berparas ayu nan kalem ini halus, usianya sudah 42 tahun, tetapi masih terlihat sangat muda. Dipadankan dengan Ningsih malah seperti kakak-adik
"Bapak, ya, harus bilang dulu sama sesepuh soal keinginan kamu itu, yang pengen ngadain pentas seni pas nyadranan."
"Terus Mbah Mun bilang apa?"
"Boleh-boleh saja katanya. Mbah Mun juga kepengen sanggar itu dihidupkan lagi. Bu Saji juga mendukung, katanya mau bantu mendanai."
"Kok, baru sekarang kepikiran mau ikut mendanai, ya, Pak? Kemaren-kemaren waktu almarhum Pak Saji masih menjabat, ke mana saja?"
"Hush! Tidak boleh ngomong begitu. Orang punya niat baik, ya, diterima saja, yang lalu biar berlalu."
Pak Wahyu, sih, tidak mau mencalonkan diri jadi Lurah, padahal banyak yang mendukung. Eh, malah lebih suka jadi Kasun. Kalau saja Pak Wahyu jadi lurah, Ningsih pasti akan lebih leluasa menghidupkan kembali sanggar dan memberlakukan aturan wajib belajar menari untuk anak-anak Desa Pantungan.
Dibilang egois, ya, biar saja. Melestarikan warisan leluhur, kan, bukan sesuatu yang buruk.
Makan sambil bercengkerama, waktu terus bergulir pun tidak terasa. Ningsih masuk ke kamar setelah selesai merapikan peralatan makan.
Duduk bersandar di tempat tidur sambil melihat-lihat jurnal pembelajaran dan buku-buku paket untuk mengajar besok, sesekali mulutnya menguap, mata pun terasa sangat berat.
Menyerah pada rasa kantuk, akhirnya Ningsih tertidur. Tubuhnya perlahan merosot dan terbaring dalam posisi tidak nyaman---leher sedikit tertekuk.
Malam terus merayap, gerimis masih belum berhenti, suasana jadi terasa sedikit mencekam.
Perempuan berkebaya kuning gading itu bersimpuh di tengah-tengah ruangan sanggar, menangis sesenggukan, suaranya sangat memilukan.
"Mbah Putri." Ningsih melangkah mendekat sangat perlahan.
Perempuan berkebaya kuning gading itu terus menangis, bahu dan punggung sampai berguncang-guncang.
"Mbah Putri, kenapa menangis Mbah." Ningsih berlutut di samping lalu menyentuh bahunya, perempuan itu seketika menoleh. "Aaaaaaa!" Ningsih berteriak histeris. Saking terkejutnya sampai terjengkang.
Mata Mbah Putri mengeluarkan darah. Mbah Putri menangis darah.
Ningsih terjaga dari tidur, langsung terduduk sambil menyeka keringat, napas pun ngos-ngosan. "Mbah Putri nangis darah. Pertanda apa ini?"
_________
Dibandingkan desa-desa tetangga, Desa Pantungan memang sudah lebih maju.
Ingat, tolak ukur kemajuan Desa Pantungan adalah desa-desa sekitar yang kondisinya jauh lebih parah. Bila hujan turun, jalan desa mereka hampir tidak bisa dilewati karena lumpurnya bisa mencapai atas mata kaki.
Untuk menghindari kecelakaan, biasanya mereka lebih memilih melewati jalanan Desa Pantungan. Walaupun harus memutar dan lebih jauh, tidak masalah.
Lebih maju, tetapi bukan berarti kemajuan itu merata. Dusun Lor adalah dusun yang keadaannya jauh lebih memprihatinkan dibandingkan tiga dusun lainnya.
Jalanan menanjak dan menurun memang tidak becek sama sekali, tetapi bukan berarti mudah dilalui. Bebatuan besar, sedang, kecil, utuh, pecah-pecah, semua ada. Bukan batu makadam yang sengaja di tata, melainkan batu-batu yang secara alami memang ada di situ, berserak tidak karuan.
Tidak berhati-hati, sedikit saja tergelincir bisa langsung jatuh terguling-guling. Akan tetapi, tampaknya bagi mereka yang seumur hidupnya sudah tinggal di Dusun Lor ini, hal itu bukan masalah besar. Mereka terlihat nyaman-nyaman saja saat melintasinya.
Panorama alam Dusun Lor sangat hijau nan asri, di mana rumah-rumah penduduk berdampingan dan berhadapan dengan sawah-sawah.
Satu blok di sana perumahan, blok berikutnya persawahan, begitu terus berselang-seling. Bahkan, rumah yang berada di paling sudut, halaman belakangnya sudah menyatu dengan tepian hutan.
Kondisi rumah warga juga masih kalah jauh dari warga Dusun Kidul. Rumah-rumah di sini masih berdinding bambu dan papan. Pelataran juga masih berupa tanah. Untuk menjemur hasil panen biasanya mereka membentang tikar atau terpal.
Bu Lurah mengendarai motor, melewati jalan itu sangat hati-hati, tubuhnya turut meliuk-liuk saat menghindari bebatuan yang sekiranya akan membahayakan bila nekat diterabas.
Baru pukul delapan pagi, beberapa orang melintas, menuntun sepeda yang penuh muatan kayu atau rumput. Ibu-ibu pedagang sayur gerobak pun terlihat menuntun sepedanya, melangkah sangat hati-hati.
Di depan rumah berberanda luas, Bu Lurah langsung masuk dan memarkir sepeda motornya di sudut kanan. Pintu rumah sudah terbuka, tetapi tidak tampak ada orang.
"Pak!" Bu Lurah masuk sambil berteriak.
"Bapak di dapur, Sri!"
Muncul di pintu dapur, Bu Lurah langsung berkata, "Panggil Mbah Mun dan Mbah Surip. Aku mau bicara."
Pak Padianto yang tadinya sedang berjongkok, sedang mengipasi api di tunggu untuk merebus air, bergegas bangkit.
"Apa tidak terlalu pagi?"
"Aku sempatnya sekarang." Luar biasa, nada bicaranya seperti bos besar.
Tidak berkata apa-apa lagi, Pak Padianto segera beranjak pergi. Para sesepuh desa memang kebanyakan tinggal di Dusun Lor ini, bahkan dulu kelurahan pun ada di sini karena turun-temurun yang jadi lurah biasanya warga Dusun Lor.
Setelah Balai Desa dipindah ke Dusun Kidul yang letaknya lebih strategis, entah kenapa yang sering terpilih jadi lurah juga calon dari sana.
Tidak lama kemudian, dua sesepuh duduk di kursi panjang berhadapan dengan Pak Padianto dan Bu Lurah yang masing-masing duduk di kursi tunggal. Di meja terhidang empat gelas teh panas yang masih mengepulkan asap dan sepiring pisang goreng.
"Gini lo, Mbah ... pasar itu kan sekarang rame. Pedagang dan pembeli sampek luber-luber di jalan, menghalangi orang yang mau lewat---"
"Tunggu dulu, Ndok," Mbah Mun yang paling tua menyela. "Kok, tidak ngomong soal nyadranan malah ngomong pasar ini gimana, to?"
Wajah Bu Lurah seketika masam, bibir merah terang mencibir. "Itu bisa dibahas lain waktu. Sekarang bahasanya dulu soal pasar yang sepertinya terlalu sempit---"
"Pasar itu sudah lebar, Ndok." Mbah Mun menyela. "Kalau sampek luber-luber itu berarti kurang pinter menata."
"Sudah langsung saja!" Bu Lurah gusar. "Pasar itu akan aku perlebar!"
"Heh? Diperlebar bagaimana lagi? Itu kiri-kanan, depan-belakang, sudah jalan lo, Ndok!" Sesepuh yang kelihatan lebih muda dari Mbah Mun, menatap intens Bu Lurah. Dialah Mbah Surip.
"Punden dan sanggar tari mau aku bongkar, mau tak jadikan pasar---"
"Eladalah ...."---Pak Padianto menepuk meja cukup keras---"jangan sembarangan kamu, Sri! Punden itu rumah Mbah Danyang pelindung Desa Pantungan ini. Sanggar warisan leluhur, dulu mbah-mbah moyangmu ikut membangun sanggar itu! Jangan menconteng arang di muka. Memalukan keturunan leluhur kita kamu itu!"
"Baru semalam Pak Wahyu datang minta ijin, Ndok Ningsih mau mengajari anak-anak nari buat pentas seni pas nyadranan. Lah, kamu kok, malah mau bongkar-bongkar. Kamu itu lurah, harusnya tau kalau punden sama sanggar itu warisan leluhur. Tempat keramat, tidak boleh sembarangan. Sembrono---"
"Budaya apanya?" Bu Lurah menyela Mbah Mun tanpa sungkan. "Selama ini sanggar itu juga tidak ada yang ngurus! Keputusanku sudah bulat! Pokok pasar mau aku perlebar, itu lebih bermanfaat, lebih menghasilkan, dibandingkan punden sama sanggar yang tidak berguna sama sekali!"
"Wehladalah, lambemu kalau ngomong jangan asal mangap gitu, Ndok. Kualat nanti." Mbah Surip menunjuk ke arah Bu Lurah. "Aku tidak setuju! Titik!" Jarinya sekarang mengetuk meja berkali-kali, tatapannya tajam mencela.
Mbah Mun dan Pak Padianto pun menyuarakan ketidaksetujuan, tetapi Bu Lurah bergeming.
"Sebenarnya aku mengumpulkan Mbah-mbah sesepuh ini, bukan karena ingin minta persetujuan, tapi hanya mau memberitahu. Jadi, Mbah-mbah ini setuju apa tidak, aku tidak peduli. Rencana tetap akan berjalan. Ti-tik!"
Bu Lurah langsung berdiri, tanpa berpamitan bersungut-sungut pergi, meninggalkan tiga pria tua yang saling bertukar pandang syok.
"Pesenku, jangan sampai masalah ini didengar oleh yang lain. Rahasiakan dulu. Dan kamu,"---Mbah Mun menunjuk Pak Padianto---"nasehati itu si Sri, jangan sampai Mbah Danyang murka."
[Bersambung]
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
Askara
Masih bisa bersikap sombong.
2023-08-08
0
Askara
Wehh, pertanda akan kehilangan sesuatu 🤧
2023-07-31
0
⍣⃝ꉣꉣAndini Andana
Bu Sri jadi lurah kok arogan syekali, ga ada unggah ungguhnya sama yg lebih sepuh 😏😔
2023-07-26
2