Terpasang Jerat Halus

..."Terkena Tipu Muslihat"...

Desa Pantungan ini masih masuk wilayah Madiun, tetapi letak geografisnya sudah masuk area Nganjuk. Cukup luas, terdiri dari empat dusun, yakni Dusun Kidul, Lor, Kulon, dan Etan. Kelurahan terletak di Dusun Kidul, begitu juga pasar, sekolah, dan fasilitas umum penting lainnya, termasuk Puskesmas.

Bisa dibilang, Dusun Kidul ini adalah cerminan pusat desa. Tempatnya cukup strategis sebagai gerbang desa. Terdapat dua jalan besar yang langsung terhubung dengan jalan raya. Pasar menjadi batas awal pemisah jalan tersebut.

Ke kiri adalah jalan pintas menuju jalan raya kota tetangga, sedangkan yang ke arah kanan, melewati jalan panjang kisaran dua setengah kilometer yang kiri-kanannya adalah persawahan, menuju ke jalan raya yang mengarah ke Kota Madiun. Bila musim hujan tiba, kondisi jalan itu masih sangat memprihatinkan.

Beberapa hari ini tidak turun hujan, lumpur bekas hujan yang kemarin-kemarin telah mengering, menyisakan lubang-lubang bekas roda kendaraan juga beberapa genangan air di lubang jalan yang cukup dalam.

Bu Lurah yang entah pulang dari mana, tampak sangat berhati-hati mengendarai sepeda motornya. Kalau tidak, bisa-bisa rodanya terperosok ke lubang-lubang memanjang itu.

Akses penting desa masih begini mengenaskan, tetapi rumah-rumah warga sudah pada bagus-bagus.

Hampir tidak ada lagi bangunan berdinding kayu atau bambu. Lantai juga sudah tidak tanah lagi. Paling tidak, ya, disemen atau ubin abu-abu seperti di Balai Desa dan sekolah-sekolah, malah sudah ada yang dikeramik juga.

Sepertinya para warga berlomba-lomba untuk mempercantik rumah masing-masing, tetapi tidak terlalu peduli dengan kondisi jalanan. Mungkin karena sudah terbiasa jadi, ya, nyaman-nyaman saja.

Lagi pula, bukannya pembangunan fasilitas umum itu adalah tanggung jawab pemerintah?

Masuk pertama kali ke Dusun Kidul ini bakal merasa seperti telah terpasang jerat halus, tertipu oleh apa yang tampak di luar, padahal dalamnya tidak seburuk itu.

Rumah Bu Lurah ada di sebelah selatan pasar, gang pertama dari arah jalan besar, sedikit menanjak. Setelah memarkir motor di beranda, Bu Lurah bergegas masuk ke rumah, langsung nyelonong ke ruang makan untuk minum air dari kulkas. Setelah itu, duduk di sofa ruang depan tanpa mengganti pakaian terlebih dahulu, sekadar cuci tangan pun tidak.

Beberapa lembar brosur mobil yang barusan dia keluarkan dari tas, sebagian diletakkan di atas meja, lainnya sedang dilihat-lihat. Seorang pria paruh baya menyingkap kain penutup pintu yang menghubungkan ruang depan dan ruang tengah.

"Kamu dari mana, Sri?"

Bu Lurah buru-buru meringkas brosur-brosur itu lalu memasukkannya ke dalam tas. "Panas-panas, jangan kluyuran, to, Pak!" Hari ini cuaca memang panas. Bu Lurah mengeluhkan tindakan Pak Padianto, bapaknya, yang datang berkunjung dari Dusun Lor.

Dusun Lor itu letaknya paling ujung dekat perkebunan, persawahan, dan hutan---lumayan jauh. Jalanan di sana malah lebih sulit dilewati, masih banyak bebatuan dan banyak tanjakan. Kata-kata Bu Lurah, sih, menunjukkan perhatian, seolah khawatir. Akan tetapi, nada bicaranya ketus bahkan wajahnya terlihat masam.

"Bapak sudah di sini dari tadi. Parti bilang kamu pergi ke kabupaten." Parti adalah asisten rumah tangga Bu Lurah.

"Nah! Itu sudah tau. Kok ya, masih nanya dari mana."

Bu Lurah memang pamitnya ke kabupaten, tetapi perginya ke mana, siapa yang tahu. Masa, ke kabupaten pulangnya bawa-bawa brosur mobil?

"Duduk sebentar bapak mau bicara."

Bu Lurah yang sudah mengambil tasnya hendak beranjak, akhirnya duduk kembali. Wajahnya terlihat semakin masam.

"Mau bicara apa, sih?"

"Sebentar lagi panen raya,"---Pak Padianto duduk di sebelah putrinya---"kamu, kok, tidak ajak para pamong rembukan. Kapan, huh?"

"Maksud Bapak, buat nyadranan?"

Baru menjabat sekitar lima bulan sejak akhir bulan Oktober tahun 1998 lalu, terpilih menggantikan lurah lama yang meninggal karena kecelakaan. Jadi, panen raya yang akan datang ini adalah panen raya pertama Bu Sriwedari selaku Lurah Desa Pantungan.

"Lah, iya to. Kan, itu nanti harus ada acara adat bersih desa, selamatan di punden, di sendang, terus ada hiburan teledek sama wayang kulit. Jangan lupa itu."

"Jaman lagi krisis, Pak. Tidak usah aneh-aneh, cukup selamatan saja---"

"Eladalah! Jangan sembrono kamu---"

Bu Lurah mengibas tangan bosan. "Itu urusanku. Bapak tidak usah ikut-ikutan ngurusi. Aku ngerti harus gimana. Tidak usah khawater."

"Bapak cuma mengingatkan. Awas, kamu jangan macem-macem---"

"Iya, iya, aku tau! Mending sekarang Bapak pulang, takutnya nanti hujan!"

"Satu lagi,"---Pak Padianto memegang tangan Bu Lurah, mencegahnya pergi---"sanggar tari itu mbok ya direnovasi. Kalau bisa juga dilestarikan lagi---"

"Westalah, Pak! Itu urusanku ...."

Pria paruh baya itu hanya bisa menghela napas berat saat putrinya beranjak pergi sambil bersungut-sungut. Mau bagaimana lagi? Sekarang setelah jadi lurah, Bu Sriwedari hampir tidak pernah lagi mau mendengar masukan atau nasihat dari orang lain walaupun itu orang tuanya sendiri.

Beda dengan gadis yang satu ini. Siapa lagi kalau bukan Ningsih. Selalu sopan dan menghormati yang lebih tua. Ya, seharusnya tidak dibanding-bandingkan juga. Setiap pribadi, kan, memiliki tabiat masing-masing.

Ningsih keluar dari kamar menyandang tas kainnya di bahu kiri. "Buk, Ningsih ke sanggar dulu."

"Iyo! Itu kembang setaman buat Mbah Punden dan Mbah Sanggar sudah ibu siapin di atas meja!" Bu Rusmini menyahuti dari kamar.

Kembang setaman yang dimaksud itu adalah campuran beberapa bunga yang sudah diracik. Biasanya sih, mawar, kantil, kenanga, melati, dan irisan daun pandan wangi, diberi minyak wangi khusus dan sedikit kemenyan, lalu dibungkus daun pisang.

Ningsih selalu memberi sesaji berupa kembang setaman untuk Danyang Punden dan Danyang Sanggar setiap Sabtu Paing. Itu adalah amanah dari sang nenek dan warga sekitar pun selalu melakukannya.

Keluar dari rumah, Ningsih memandang langit yang biru cemerlang tanpa awan hitam sedikit pun.

Syukurlah, hari ini cerah lagi.

Tersenyum simpul, kakinya melangkah ringan melintasi pasar yang sangat lengang. Namanya juga pasar pagi, ramai hanya sampai pukul sepuluh pagi saja. Kios-kios yang ada pun masih pada tutup, biasanya akan buka lagi kalau sudah pukul empat sore. Sekarang baru pukul tiga.

Sebelum ke sanggar, Ningsih terlebih dahulu mampir ke punden untuk menaburkan kembang setaman di pondok kecil yang ada di situ. Sudah banyak taburan kembang di sana.

"Nyuwun pangestu nipun, Mbah Kong. Mugi-mugi panen royo taon niki lancar lan ngalimpah."

(Minta restu, Kek. Mudah-mudahan panen raya tahun ini lancar dan berlimpah)

Dari punden, Ningsih melewati jalan setapak yang langsung terhubung dengan sanggar, berhenti di salah satu sudut yang sudah ada taburan kembang lalu menaburkan kembang setaman yang dia bawa, sambil mengucapkan kata-kata yang sama. Setelah itu, melangkah ke bagian depan sanggar.

Kelima muridnya sudah menunggu, wajah Ningsih semakin semringah, suaranya pun riang menyapa mereka, lalu menyapa Danyang Sanggar, "Kami datang, Mbah Putri." Sembari membuka pintu, Ningsih mengucap salam diikuti para muridnya.

Sanggar ini dulunya adalah aset desa yang sangat bermanfaat. Banyak menghasilkan penari berbakat yang bila musim hajatan bisa disewakan untuk mengisi acara. Bahkan para penari dari Desa Pantungan ini pernah cukup terkenal pada masanya. Seiring berjalannya waktu, kesenian tradisional mulai dilupakan, sanggar semakin sepi, hanya ada beberapa orang saja yang masih tetap berusaha melestarikannya.

Satu set alat musik tradisional yang dimiliki pun hanya dipergunakan setahun sekali---saat nyadranan saja. Selebihnya hanya disimpan di gudang kantor desa. Ningsih dan anak-anak latihan menari menggunakan musik dari kaset.

Kata Pak Wahyu, nenek buyut Ningsih dulunya adalah salah satu penari yang terkenal itu. Jadi, tidak mengherankan kalau Ningsih sangat pintar menari dan sangat mencintai sanggar, apalagi menurut nenek, Ningsih itu titisan salah satu nenek leluhurnya.

Gadis itu semringah terus karena cuaca benar-benar sangat bagus, tidak ada tanda-tanda akan turun hujan. Sudah pukul lima lebih, tetapi langit masih cerah.

Pak Agung datang mengantar buah rambutan, sempat berbasa-basi sebentar sebelum akhirnya berpamitan karena Pak Wahyu datang. Berdiri bersisian di sudut ruangan sambil menengadah melihat plafon yang sudah rusak, Pak Wahyu bersuara, "Pak Agung masih sering mampir ternyata."

"Mau bagaimana lagi, Pak? Ningsih tidak tega mau melarang. Tapi kalau anak-anak tidak ada, Ningsih langsung suruh pulang, oleh-olehnya juga tidak Ningsih trima."

"Kamu hati-hati. Bapak tidak mau ada kabar macem-macem ...."

"Bapak tidak usah khawater. Ningsih bisa mawas diri kok, Pak."

"Bapak percaya sama kamu."

"Oh iya, Pak. Bu Lurah, kok belum ada omongan apa-apa soal perbaikan sanggar."

Sudah empat hari, tetapi belum ada kabar sama sekali, padahal Ningsih sangat berharap renovasi bisa segera dilakukan. Mau bertanya langsung pada yang bersangkutan, takutnya dikira tidak sabaran.

"Ini bapak mau lihat-lihat dulu. Nanti suruh saja orang-orang kerja bakti, bapak yang siapin bahan bangunannya."

Kerja bakti? Bapak yang akan menyiapkan bahan bangunan? Itu artinya?

Dahi mengernyit, gadis berkulit cokelat sawo matang itu menatap intens bapaknya. "Kok, gitu, Pak?"

"Bu Lurah bilang masih belum ada dana. Ya, sudahlah, Ndok. Yang penting sanggarnya dibenahi walau hanya ala kadarnya."

Hati Ningsih, kok, jadi kesal mendengar alasan Bu Lurah, tetapi ya, sudahlah. Lagi-lagi ayahnya yang harus keluar uang pribadi. Seandainya tidak karena Ningsih yang selalu ngotot ingin menghidupkan sanggar, Pak Wahyu pun pasti tidak akan mau terlalu peduli. Lurahnya saja masa bodoh, buat apa Pak Wahyu harus susah-susah?

Setelah tertegun cukup lama, akhinya Ningsih berkata, "Pak ... kalau kapan-kapan ada rapat desa, mbok ya usul diadakan pentas seni sehabis selamatan di punden. Nanti Ningsih yang siapkan para penarinya. Jadi, tidak perlu ada hiburan teledek. Cukup wayang kulit aja. Lumayan menghemat, kan?"

"Ya, nanti coba bapak omong-omong sama sesepuh dulu."

Sudah lima bulan menjabat, tetapi belum ada gebrakan apa pun dari Bu Lurah. Program kerja memang sudah diperbaharui, tetapi setelah dilihat lebih saksama, ternyata duplikat dari program lama. Pak Wahyu hanya menghela napas panjang, tidak mungkin dia menceritakan kelakuan Bu Lurah yang sebenarnya kepada Ningsih. Kasihan, karena harapan putrinya itu cukup tinggi.

[Bersambung]

Terpopuler

Comments

Mazmur

Mazmur

sepertinya ndak asing ini desa 😉

2023-08-06

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!