Nela merasakan denyut jantungnya semakin kencang saat ia menunggu orang tuanya datang ke kantor polisi. Ia menundukkan wajahnya, berusaha menghindari tatapan sinis dari wanita paruh baya yang berdiri di depannya. Di sampingnya, temannya mencoba memberi semangat.
“Nela … lo baik?” tanya temannya dengan lembut.
Nela menggeleng pelan. “Gue baik-baik aja, kok. Santai aja,” jawabnya dengan nada berani.
“Papa pasti bela gue. Apalagi ini hal yang bener!” lanjutnya, menegaskan sikapnya.
“Cih, mentang-mentang tuh cowok anak penjabat malah kita yang kena.” temannya bergumam kesal.
Plak!
Nela terkejut saat merasakan pipinya terasa panas. Ia menoleh dan melihat wanita paruh baya itu sudah berada di sampingnya, dengan tangan terangkat siap untuk menamparnya lagi.
“Tante siapa, ya? Seenak jidat nampar gue di kantor polisi,” ucap Nela dengan nada sinis. Ia tidak mau menunjukkan rasa takut atau sakit.
Ia memandang ke arah cowok yang menjadi penyebab masalah ini. Cowok itu bersembunyi di belakang wanita paruh baya itu, seolah takut menghadapi Nela. Nela tertawa mengejek.
“Dasar anak tidak tahu sopan santun! Apa orang tua kamu tidak mendidik tentang sopan santun, hah!” Wanita itu berteriak marah, mencoba menampar Nela lagi.
Beberapa petugas segera datang dan memisahkan mereka. Nela masih tertawa puas, melihat wajah wanita itu memerah karena amarah.
“Gue hanya diajarin untuk hormati orang berpendidikan. Nggak kayak Tante yang masih bela anaknya yang salah,” ucap Nela dengan nada mengejek. Ia mengibaskan jarinya ke arah cowok itu.
Ia tidak peduli dengan status atau kekayaan keluarga cowok itu. Yang penting bagi Nela adalah sifat dan perilaku orang. Jika ingin dihargai, maka harus bisa menghargai orang lain.
"You insolent little!"
Wanita tua itu semakin emosi. Ia semakin memberontak lalu mendorong petugas yang menahan.
Nela merasakan adrenalinnya meningkat saat ia melihat wanita tua itu berlari ke arahnya. Ia duduk santai di atas meja, menyelonjorkan kakinya dengan angkuh.
Bruk!
Nela tertawa puas saat wanita itu terjatuh dengan keras ke lantai. Ia melihat cowok yang menjadi biang kerok semuanya berlari membantu ibunya yang tergeletak.
“Mamah baik?” Cowok itu bertanya dengan khawatir, sambil mengangkat tubuh wanita itu.
Sebelum wanita itu bisa menjawab, petugas polisi sudah datang dan menahannya. Nela masih tertawa, menikmati ekspresi kesal dan malu wanita itu.
“Mohon jangan ribut ini kantor polisi bukan ajang tawuran.”
Nela menghela napas, lalu tersenyum manis ke arah wanita itu.
“Tante cantik … tapi sayang mata hatinya buta untuk melihat kebenaran,” ucap Nela dengan nada lembut. Ia tahu senyumnya pasti membuat keluarga cowok itu makin kesal.
“Wali dari Ranela Zefanya Eleonora sudah datang.”
Suara langkah kaki terdengar dari belakang. Nela menoleh dan melihat papanya sudah datang bersama asisten pribadinya. Ia berdiri dari meja dan menyambut papanya.
“Nela apa lagi sekarang?”
“Itu, Pa …” Nela menunjuk ke arah keluarga cowok itu, yang tampak kaget melihat papanya.
“Tidak, Pak. Biasa perkelahian anak remaja.” Wanita tua itu berusaha menjelaskan dengan nada takut.
Nela mendengus kesal. “Enggak, Pa! Mereka yang udah nyakitin Nela. Mereka bilang Nela itu ****** bahkan jambak dan nampar. Jika papa nggak percaya ini buktinya,” Nela menunjukkan pipinya yang memar.
Keluarga cowok itu tampak panik. Mereka berusaha membantah dengan alasan-alasan yang tidak masuk akal.
“Biasa anak saya ini memang jahil, Pak. Itu bukan cerita sebenarnya. Biasa mereka itu teman sekelas.” Wanita tua itu mencoba membela anaknya.
Nela tertawa miris. “Lagian, Pa. Dari seragam sekolah aja kita udah beda. Nela sekolah di SMK 1 Xeandra dia SMA Victoria. Nggak masuk akal jika kami satu kelas,” ucap Nela dengan logis.
Papa Nela menatap tajam keluarga cowok itu. Ia mengenal mereka sebagai salah satu bawahannya di perusahaan.
“Roma mulai sekarang kamu saya pecat!” Papa Nela memutuskan dengan tegas.
Nela tersenyum puas di balik wajah datarnya. Ia melirik ke arah polisi muda yang menangani kasusnya. Ia merasa tertarik dengan sosoknya.
“Pa … Nela ke sana dulu. Nela masih ada urusan sebentar,” ucap Nela dengan nada datar.
Nela menghampiri polisi muda itu dengan menyodorkan ponselnya. Polisi muda itu tampak bingung.
“Nomor hp,” ucap Nela dengan tersenyum tipis.
“Gue hanya pastikan kakak nggak ingkar janji,” bisik Nela dengan tersenyum lebar.
Polisi muda itu mengangguk pelan. Ia memasukkan nomor ponselnya ke ponsel Nela.
“Ini nomor saya.”
Nela mengecek layar ponselnya. Ia tersenyum dan melakukan panggilan telepon ke nomor itu.
“Oke, nama kakak itu Juna?” ucap Nela dengan mengangguk kepalanya.
“Oh, iya nama panjang kakak siapa? Kita belum kenalan,” lanjut Nela dengan cengengesan. Kemudian ia menjulurkan tangannya sebagai tanda perkenalan.
“Muhammad Arjuna Pramudya,” jawab Juna dengan ragu.
Nela sedikit terkejut. Namun, tidak lama ia tersenyum lebar.
“Oke, Kak Juna mungkin kita akan sering ketemu!” seru Nela dengan berjalan menuju papanya. Sebelum akhirnya pergi meninggalkan kantor polisi bersama papanya.
...****************...
Nela berlari sekuat tenaga, mengejar angin yang berhembus kencang. Ia merasakan tangannya terasa panas dan sakit, seolah ada jarum-jarum menusuk kulitnya. Ia menoleh ke belakang dan melihat sosok papa yang mengikutinya dengan wajah merah padam.
Ia tidak sengaja menabrak meja di ruang tamu dan terjatuh ke lantai. Ia mendengar suara piring pecah dan gelas berhamburan. Ia merintih saat tangannya teriris ujung meja yang tajam. Darah segar mengalir dari lukanya, mencoreng lantai yang bersih.
“Kamu lagi-lagi buat keluarga saya malu!” teriak papa sambil menarik rambut Nela dengan kasar.
Nela menatap mata papa yang menyala-nyala dengan sinis. Ia tertawa hambar, mengejek kemarahan papa yang tidak beralasan.
“Saya tidak akan cari masalah jika dia tidak merendahkan martabat wanita.” ucap Nela dengan suara lantang.
Plak!
Sebuah tamparan mendarat di pipi Nela, membuatnya terpental ke samping. Ia merasakan pipinya terbakar, seakan ada api menyambar wajahnya.
“Jadi kamu melakukan hal memalukan karena masalah sepele! Yang harus pikirkan itu masalah rumah! Percuma sekolah tinggi-tinggi jika kamu akan jadi ibu rumah tangga!” bentak papa dengan nada hina.
Nela mendesis pelan, menggigit bibirnya untuk menahan tangis. Ia harus terus bersabar sebelum dirinya paling tidak lulus kuliah. Setelah itu ia bisa pergi dari rumah iblis ini.
“Memangnya kenapa dengan wanita, Pa! Ada Lovelace ilmuwan wanita asal Inggris sosok programmer pertama di dunia. Dr. Grace Murray Hopper laksamana muda di Angkatan Laut AS yang menemukan COBOL. Hedy Lamarr sang prekursor teknologi nirkabel,” jelas Nela dengan nada tegas, menantang pandangan sempit papa.
“Mereka membuktikan jika wanita bisa menjadi orang berguna bagi dunia. Tidak jauh-jauh dari Indonesia sendiri Cut Nyak Dien yang berjuang melawan penjajah. Lalu papa bisa-bisanya merendahkan martabat para wanita?” lanjut Nela dengan tersenyum miris. Ia tidak mengerti dengan pola pikir sang papa yang kuno dan patriarkis.
“Kakak! Kakak baik-baik aja kan?” suara Arie, adik Nela, memecah kesunyian. Ia baru saja pulang dari sekolah dan melihat keadaan rumah yang berantakan.
Nela menatap adiknya yang masih polos dan lugu dengan sayang. Ia hanya menggelengkan kepala lemah, memberi isyarat bahwa ia tidak baik-baik saja.
“Arie kamu jangan perhatian sama anak nakal seperti dia!” perintah papa dengan galak, membuat Arie kaget.
Sang adik tanpa sadar melepaskan tangannya dari genggaman Nela. Ia berjalan mundur lalu pergi begitu saja. Arie hanya takut melihat pertikaian kedua orang itu.
Nela hanya pasrah sepertinya ia akan mendapatkan hukuman. Ia menatap sang papa yang mulai melepaskan ikat pinggangnya.
Ia menutup matanya dengan menahan teriakan. Ia menatap ke arah pintu yang terbuka lebar dengan menahan air matanya.
“Mama tolong bawa Nela pergi,” batin Nela dengan mata berkaca-kaca.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Fiyazhaz
haha iya banget lagi
2023-08-06
0
Rohani 15
nah bener
2023-07-24
0
Rohani 15
haha, iya
2023-07-24
0