Malam ini Amy dan suaminya serta ibu mertuanya menikmati makan bersama, sembari mengobrol.
"Al, kamu tidak ingin mengunjungi pamanmu?" tanya Anita.
Amy menggelengkan kepalanya.
"Kenapa?" tanya Anita.
"Aku tidak mau Bibi Lenny menjadikan Paman Sam alat untuk memanfaatkan diriku yang sekarang, cukup beberapa tahun itu saja," jawab Amy.
"Bagaimana pun dia adik ayahmu yang menikahkan kamu dan Ardan," ucap Anita.
"Iya, Ma. Aku juga merindukan dia," ujar Amy.
"Jika kamu ingin bertemu dengannya, aku dapat menemanimu," Ardan menawarkan diri.
"Lain waktu saja, sayang. Jika aku sudah membalas rasa sakit ini, aku akan datang menemuinya," janji Amy.
"Hemm, baiklah." Kata Ardan.
"Aku takut jika Bibi Lenny memberitahu tentang diriku yang sekarang kepada keluarga mereka," ujar Amy.
Ardan dan ibunya manggut-manggut.
Selepas makan malam dan Anita sudah pulang. Ardan menarik tangan istrinya yang telah dinikahinya setahun lalu.
Ardan membawa istrinya ke dalam kamar.
"Sayang.."
"Seminggu ini kamu terlalu sibuk, jadi aku ingin bermesraan denganmu," Ardan mengecup bibir istrinya.
"Ini masih jam sembilan," ucap Amy.
"Biarin saja, biar waktu berdua kita lebih panjang," kata Ardan.
Amy tertawa kecil, mengalungkan kedua tangannya di leher sang suami lalu berkata, "Tiap malam kita selalu tidur bersama dan hampir tiap waktu melakukannya. Kamu cemburu aku bertemu dengannya atau bagaimana?"
Ardan memeluk pinggang istrinya dan menjawab, "Aku cemburu kamu berinteraksi dengannya, apalagi tiap hari bertemu dan kamu terus memanggilnya ke ruangan kerja."
"Aku hanya ingin membalasnya saja. Rasaku padanya telah lama mati, jadi buang rasa cemburu mu itu," kata Amy.
"Baiklah, tapi malam ini aku ingin memintanya," Ardan membenamkan ciuman di bibir istrinya.
Amy pun membalasnya, keduanya memadu kasih di ranjang.
***
Esok paginya di kantor Amy dengan berpakaian sangat modis bak seorang model ternama memasuki ruangan kerjanya. Tak lupa memanggil kedua asisten pribadinya.
Emil yang hampir tiap pagi selalu berada di ruangan Amy.
"Apa tugas yang saya minta telah kamu selesaikan?" tanya Amy tanpa menatap fokus dengan laptopnya.
"Sudah, Nona Bos." Emil meletakkannya di atas meja.
"Kamu berapa bersaudara?" tanya Amy.
"Tiga, Nona Bos."
"Siapa saja?" tanya Aileen lagi.
"Saya, adik perempuan dan adik laki-laki."
"Apa pekerjaan mereka?" Lagi-lagi Amy bertanya kali ini dengan menatap mantan suaminya.
"Ibu di rumah, adik perempuan menganggur dan adik laki-laki sedang menempuh pendidikan sekolah di luar kota."
"Jadi semuanya kamu yang biayai?" tanya Amy lagi.
"Iya."
"Pria sejati dan bertanggung jawab, tapi tidak memiliki rasa iba pada seorang istri," celetuk Amy.
"Saya belum pernah menikah," ucap Emil.
"Apa wanita selingkuhanmu menolak menikah denganmu?" cetus Amy.
Emil mengerutkan keningnya.
Amy tertawa.
Emil semakin tak mengerti dengan perkataan atasannya itu.
"Berapa usia adik perempuanmu itu?" Amy mengalihkan pembicaraan.
"Dua puluh tujuh."
"Besok suruh dia kemari dan bekerja sebagai cleaning service. Apa berminat?" Amy menawarkan.
"Nona Bos menawarkan pekerjaan untuk adik saya?" tanya Emil.
"Iya."
"Nanti akan saya sampaikan," ucap Galih semangat.
"Keluarlah!" titah Aileen.
Emil sedikit menunduk lalu pamit meninggalkan ruangan.
Amy tersenyum menyeringai.
Siang ini, Emil mendapatkan seporsi nasi kotak gratis dari Tody.
Emil tampak heran ketika asistennya Amy meletakkan kotak nasi di mejanya.
"Dari Nona Bos karena kamu berhasil menyelesaikan tugas darinya!" ketus Tody.
Emil tersenyum senang.
Tody kemudian berlalu.
Emil mendapatkan makan siang gratis membuat rekan kerjanya menaruh curiga.
"Pasti telah menjilat Nona Bos," celetuk Widya.
"Aku tidak menjilatnya, mungkin dia iba dengan keluargaku," ucap Emil asal.
"Memangnya kamu menjual kesedihan?" tanya Dion.
"Dia hanya bertanya berapa jumlah keluarga dan menawarkan pekerjaan untuk adikku di perusahaan ini," jelas Emil.
"Wah, Nona Bos memang benar-benar baik," kata Widya.
"Aku sudah salah menilainya," ucap Emil.
"Makanya jadi orang, jangan suka menuding!" tukas Dion.
Emil manggut-manggut.
Sore harinya, Amy lebih dahulu pulang tak lupa melemparkan senyuman kepada Emil yang sedang berdiri ketika dirinya melintas.
Emil sekilas mengingat senyuman Aileen pernah dilihatnya beberapa tahun lalu.
Dion menepuk bahu rekan kerjanya, "Hei, melamun saja!"
Emil menggeleng kepalanya dengan cepat.
"Terpesona dengan senyuman Nona Bos?" tanya Dion.
"Aku seperti sangat mengenal Nona Bos," jawab Emil.
"Ya ampun, Emil. Kamu tuh kalau tidur, jangan lupa bangun. Mimpimu terlalu tinggi, baru beberapa hari bertemu tapi serasa paling dekat," ujar Dion.
"Aku tidak bohong," kata Emil.
"Yuk, lanjutkan pekerjaanmu. Sebentar lagi waktunya pulang, aku sudah lapar," ucap Dion gegas memasuki ruang kerjanya.
Jam kantor pun berakhir, Emil hendak masuk ke mobilnya namun ban tampak kempes. Setengah berjongkok untuk memastikan dan ternyata benar.
Emil berdecak kesal.
Mau tak mau, dirinya terpaksa memanggil karyawan bengkel untuk memperbaiki kendaraannya.
Emil harus pasrah ketika gaji 3 harinya diberikan kepada karyawan bengkel yang telah selesai.
"Terima kasih, Tuan. Sering-seringlah bannya bocor," celetuk salah satu karyawan bengkel.
"Enak saja kalau bicara!" ucap Emil.
"Dalam sebulan ini saja sudah empat kali ban bocor dan semua uangku lari kepada kalian," lanjut Emil.
"Makanya kalau beli mobil yang sedikit lebih bagus. Bukan seperti barang rongsokan ini!" ledek karyawan bengkel lagi.
"Hei, aku beli ini karena hasil warisan. Sudah sana kalian pulang!" usir Emil.
"Iya, ini kami mau pulang," ucap karyawan bengkel berkacamata.
Kedua karyawan bengkel kemudian berlalu.
Emil masuk ke mobil dan perlahan mengendarainya. Di tengah perjalanan, tiba-tiba mesin tak berfungsi.
"Sial... bensinnya habis!" umpatnya.
Emil lagi-lagi harusnya menyuruh orang untuk mendorong mobilnya hingga stasiun pengisian bahan bakar.
Sesampainya di sana, dirinya harus memberikan upah kepada kedua orang pria yang membantunya meskipun hanya 100 meter.
Setelah mengisi bensin, Emil melanjutkan perjalanannya menuju rumah.
Begitu sampai, Emil menjatuhkan tubuhnya di kursi dan menghela napas kasar.
"Baru pulang, Kak? Tumben lama?" Dista melihat jam dinding telah menunjukkan pukul 8 malam.
"Mobil tua itu pembawa sial!" jawab Galih.
"Kenapa dengan mobil Kakak?" tanya Dista.
"Dia berbuat ulah, padahal uangku sudah menipis," jawab Emil lagi.
"Kalau begitu jual saja," saran Dista.
"Tidak, jika dijual lalu aku mau naik apa?"
"Angkot atau ojek."
"Aku tidak mau, jatuh harga diriku jika naik kendaraan umum."
"Kita sudah miskin, jangan belagu!" sahut seorang pemuda 20 tahun.
Galih menoleh ke arah suara. "Gama?"
Pemuda itu duduk di sebelah kakaknya, sembari memegang toples kerupuk.
"Kenapa kamu pulang?" tanya Emil.
"Aku tidak dapat melanjutkan sekolah lagi, kalian tidak mengirimkan uang untukku," jawab Gama.
Emil menepuk jidatnya pasrah.
"Aku mau cari kerja dan menghasilkan uang," kata Gama.
"Jika kamu putus sekolah tinggi, harga diri keluarga kita benar-benar jatuh!" ucap Emil.
"Kenapa jatuh? Aku hanya tidak melanjutkan ke perguruan tinggi saja," ujar Gama.
"Mama yang akan malu. Keturunan Sudrajat tak dapat melanjutkan sekolah tinggi," sahut Sari.
"Kalian ini sudah miskin tapi masih mikirin gengsi," ketus Gama.
...----------------...
Hai Semua Ini Karya Ke - 21 aku...
Semoga Kalian Suka Dan Terhibur...
Selamat Membaca dan Sehat Selalu...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments