Emil mendongakkan kepalanya seakan ingin berkata menolak keputusan atasannya itu.
"Baik, Nona Bos. Dengan senang hati!" kata Tody tersenyum menyeringai.
Amy lalu meninggalkan ruangan karyawannya, di susul Tody di belakangnya.
"Sial!" Emil merutuki.
Dion dan rekan lainnya mengelus dada, mereka selamat dari hukuman.
Emil duduk, menjambak rambutnya. Ingin marah dan memaki dirinya yang tak mampu apalagi posisinya di kantor terancam. Bisa saja, dipecat hari ini juga secara tidak hormat.
"Aku akan membalas kamu, Amy Janson!" batin Emil kesal.
Amy kembali ke ruangannya dengan hati yang senang, perlahan tetapi pasti dendamnya kepada sang mantan suami segera terbayar.
"Sudah main-mainnya, sayang?" tanya Ardan.
"Untuk saat ini sudah, sayang." Amy tersenyum puas.
"Kalau begitu, ayo kita keluar dan bersenang-senang!" ajak Ardan.
"Tidak, sayang!" tolak Amy lembut.
"Kenapa?"
"Bagaimana dengan pekerjaan aku disini?" tanya
"Aku berada di belakang kamu, jadi semua keputusan ada padaku. Kamu hanya memainkan peran saja. Jangan terlalu pusing memikirkan perusahaan, aku cuma ingin dirimu menjadi istri dan ibu yang selalu menunggu dan menyambut aku penuh cinta di rumah."
"Oh, suamiku. Aku beruntung sekali bertemu dengan kamu," Amy memeluk Ardan dan mengecup pipinya.
"Aku juga," ucap Ardan.
"Pulanglah, nanti malam kita bertemu lagi di rumah. Aku akan memberikan kejutan buat seseorang," ujar Amy.
"Berhati-hatilah, sayang. Kabari aku jika ada masalah," kata Ardan.
"Baik, suamiku." Amy tersenyum mengangguk.
Ardan lalu pergi.
Delapan tahun lalu, Amy yang benar-benar terpuruk serta babak belur melarikan diri dari rumah suaminya yang telah menikahinya selama 2 tahun tanpa menyentuhnya.
Malam itu di tengah guyuran hujan deras, Amy dengan langkah terseok-seok meninggalkan kediaman mewahnya.
Di jalanan sepi, Amy menyetop setiap kendaraan yang melintas namun tak ada satu pun berhenti sekedar menanyakan dirinya.
Amy tak putus asa, dirinya pun tetap melanjutkan perjalanan. Karena lelah dan tak sanggup akhirnya ambruk.
Sebuah mobil berhenti tepat di tubuhnya yang ambruk. Seorang pemuda berusia 24 tahun turun dan menghampiri Aileen.
"Nona!" panggilnya dengan suara keras.
Amy yang tak berdaya tidak mendengarnya.
Pemuda tersebut menutup payungnya, membuka pintu dan melemparkan ke dalam mobil secara sembarang.
Dengan pakaian basah, pemuda tersebut menggendong tubuh Amy dan memasukkannya ke dalam mobil.
Mengendarai mobil dengan hati-hati, pemuda itu menuju ke rumah sakit terdekat.
Sesampainya dia turun dan memanggil petugas medis, gegas membuka pintu dan membopong tubuh Amy dan meletakkan di atas brankar.
"Tolong, selamat 'kan dia!" berkata dengan bibir bergetar.
Gegas petugas medis membawa Aileen ke ruangan UGD.
Pemuda tersebut diminta mengurus administrasi rumah sakit.
"Siapa nama pasien, Tuan?" tanya karyawan rumah sakit.
"Saya tidak tahu, dia tergeletak di jalan dan saya menolongnya," jawabnya.
"Baiklah, kalau begitu. Nama Tuan siapa?"
"Ardan."
Sejam setelah pemeriksaan, Amy dibawa ke ruangan rawat inap VVIP.
Ardan kini telah berganti pakaian yang dikirim oleh temannya yang tinggal tak jauh dari rumah sakit.
Amy membuka matanya dan melihat sekelilingnya. Ardan mendekatinya dan tersenyum.
"Siapa kamu?" tanya Amy memundurkan kepalanya.
"Aku Ardan, tadi aku menemukanmu di jalan dengan kondisi pingsan lalu membawamu kemari. Siapa nama kamu?" Ardan balik bertanya.
"Aku pingsan?" tanya Amy terbata.
Ardan mengangguk.
Amy ingat jika dirinya berusaha meminta pertolongan di tengah guyuran hujan dan gelapnya malam.
"Nama kamu siapa?" tanya Ardan sekali lagi.
Amy menatap wajah Ardan lalu menjawab, "Al...ya."
"Alya. Alamat rumah kamu di mana? Biar ku antar pulang karena aku sama sekali tidak menemukan identitas diri di saku rokmu dan kamu juga tak membawa tas."
Bukannya menjawab, Amy malah menangis.
Ardan tampak bingung karena tiba-tiba Amy menangis.
"Aku tidak mau pulang, tolong jangan beritahu siapapun aku di sini," pintanya kepada Ardan dengan air mata mengalir.
"Kenapa kamu tidak mau pulang?" tanya Ardan.
"Mereka akan menyiksaku," jawab Amy.
"Kenapa kamu di siksa?" tanya Ardan.
Amy lalu bercerita alasan dirinya di siksa. Keluarga suaminya tidak menyukai dirinya dan menganggapnya sebagai budak.
Mendengar cerita Amy, Ardan merasa iba lalu berkata, "Hmm, baiklah. Aku tidak akan memberitahu keberadaan kamu di sini."
"Terima kasih, Tuan." Kata Amy begitu lega.
Ardan tersenyum dan mengangguk.
Selama Amy di rawat, Ardan yang selalu menjaganya. Keduanya sangat begitu akrab dan saling mengobrol.
Amy menceritakan asal usul dirinya yang merupakan anak yatim-piatu lalu di asuh pamannya yang merupakan adik dari ayahnya. Hingga diusia 18 tahun dirinya dilamar oleh keluarga suaminya.
Paman Amy sangat begitu percaya kepada keluarga suaminya sehingga dengan senang hati memberikan keponakannya.
Apalagi keberadaan Amy sangat tidak disukai istri pamannya.
"Apa kamu mencintainya?" tanya Ardan.
"Aku berusaha mencintainya, tapi penyiksaan yang sering dilakukannya membuat rasa itu terkikis."
"Apa kalian memiliki anak?"
Amy menggelengkan kepalanya.
"Apa yang akan kamu lakukan selanjutnya?"
"Aku ingin menghilang dari pandangan mereka dan mencari pekerjaan agar dapat bertahan hidup."
"Apa sebelumnya kamu pernah bekerja?"
"Tidak."
Ardan terdiam dan berpikir.
"Aku tidak masalah menjadi pembantu rumah tangga asal hasil uangnya berkah," ujar Amy menyakinkan Ardan.
"Baiklah, kamu boleh bekerja di apartemenku. Kebetulan tidak ada yang bersih-bersih di sana."
Amy dengan cepat mengangguk.
"Aku belum bekerja, jika gajinya ku bayar pakai tempat tinggal dan makan gratis tak apa-apa 'kan?" tanya Ardan.
Amy mengiyakan.
"Kalau begitu, setelah dari sini kita pulang ke apartemenku."
Setelah tiga hari di rawat di rumah sakit, Ardan membawa Amy ke apartemennya.
Begitu sampai, Amy tampak takjub dengan hunian minimalis namun mewah tersebut.
"Aku tidur di mana?" tanya Amy.
"Kamu di lantai atas," jawab Ardan.
"Tiap hari kamu tinggal di sini?" tanya Amy.
"Aku ke sini paling seminggu sekali," jawab Ardan lagi.
"Oh."
"Kamu tidak perlu khawatir, aku akan berusaha datang seminggu tiga kali." Kata Ardan dengan cepat.
Amy tersenyum lega mendengarnya.
"Alya...."
"Iya."
"Kamu ini 'kan masih status istri orang lain, aku takut jika..."
"Jika memiliki uang, aku akan menuntut cerai darinya," Amy memotong ucapan Ardan.
"Aku dapat membantumu mengurusnya karena ada teman yang bekerja sebagai pengacara."
"Terima kasih banyak, Tuan." Amy menundukkan kepalanya.
Ardan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Tuan, mau saya buatkan makan malam apa?"
"Di lemari es kosong tak ada bahan masakan, malam ini kita pesan makanan online saja," jawab Ardan.
Amy mengangguk.
"Ayo aku antar ke kamarmu!" Ardan berjalan lebih dulu dan dibelakangnya Amy.
Ardan membuka pintu kamar. "Tidurlah di sini!"
"Terima kasih, Tuan."
"Besok sore, kita akan berbelanja pakaian. Jadi, untuk sementara pakai baju aku saja yang ada di lemari."
Amy mengiyakan.
"Beristirahatlah, aku mau mandi dan memesan makanan," ucap Ardan.
"Baik, Tuan."
Ardan menutup pintu kamar Amy lalu menuju kamar pribadinya.
Selesai mandi, selang 5 menit kemudian pesanan Ardan pun datang.
Ardan berteriak memanggil, "Alya, turunlah! Makanannya sudah datang!"
Amy membuka pintu kamar dan bergegas turun.
Kini keduanya berada di meja makan, duduk saling berhadapan. Ardan membuka kotak yang merupakan roti tipis bulat dengan aneka macam toping di atasnya.
Amy tampak bingung dengan makanan tersebut, pernah melihatnya di rumah suaminya tapi tidak diizinkan untuk mencicipinya.
"Ayo makan!" ucap Ardan sembari mengambil potongan roti dan memasukkannya ke dalam mulut.
Amy menggigitnya dengan pelan, mencoba merasakan makanannya.
"Kamu tidak suka?" tanya Ardan.
"Bukan begitu, aku belum pernah mencobanya," jawab Amy.
"Lama-lama kamu juga akan terbiasa dengan makanan ini," ujar Ardan.
Amy tersenyum nyengir sembari memegang roti yang telah digigitnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
•❥𝓟𝓣𝓧°ʰᵗᶻ°
Mamam pizza ini mah 🤣🤣
2023-07-30
0
•❥𝓟𝓣𝓧°ʰᵗᶻ°
Hah, 2 tahun nggak di apa² in 🥴🥴
2023-07-30
1
•❥𝓟𝓣𝓧°ʰᵗᶻ°
Mau dong cuami tipe begini catu 🤣🤣🤣
2023-07-30
0