"Maaf aku tidak bisa ...."
Jawaban Armand membuat Abela terkejut. Dia sudah siap mendorongnya lagi. Merasakan Aura Abela membuat Armand terkekeh kecil.
"Kau terlihat sudah siap membunuhku," bisik Armand pelan.
Armand menjauhkan diri dari Abela dan merapikan bajunya, meninggalkan Abela yang masih termenung. Bingung dengan apa yang terjadi. Tapi dia segera mengendalikan diri dan terduduk.
"Aku ingin tahu tentang kekuatanku ini," kata Abela serius. Sejak kemarin dia sudah bertekad untuk mengikuti apa keinginan 'sesuatu' yang membuatnya hidup sebagai Abela. Dia ingin jiwa Abela yang asli segera kembali ketempat seharusnya.
"Tidak sekarang, badanmu masih belum pulih," jawab Armand terlalu cepat.
Abela menatap tidak percaya laki-laki tampan yang ada dihadapannya ini. Jika dia tahu tentang itu harusnya dia tidak melakukan hal tadi. Abela memutar matanya.
"Aku penasaran, kenapa mereka ingin membunuhku?" tanya Abela mulai serius.
"Banyak alasannya. Terutama karena mereka ingin mengusik hidupku," jawab Armand lugas.
"Jawaban yang ambigu. Sangat kentara kalau Tuan merahasiakan sesuatu." Abela mengangkat cangkir teh nya ke depan bibirnya.
"Akhir-akhir ini kamu selalu menyebutku Tuan. Membuatku merasa memiliki garis pembatas diantara kita." Tatapan Armand masih terpaku pada air muka Abela yang kini terlihat datar. Ekspresi manisnya yang tadi sudah menghilang.
"Aku hanya belum merasa nyaman berada di sekitar mu." Abela dengan canggung menurunkan sikap formalnya.
"Tidak apa-apa, kamu bisa menyebutku dengan sebutan apapun yang kamu mau." Armand tersenyum selembut mungkin untuk membuat Abela merasa nyaman.
"Lalu ... Bagaiman dengan kekuatanku? Aku ingin tahu," kata Abela. Dia ingin mempelajari tentang semua hal tentang tubuh yang dia rasuki ini.
Armand tidak langsung menjawab, dia menyandarkan dirinya di sandaran kursi dan memejamkan matanya. Terlihat berpikir. Lalu seringai terbit di wajahnya.
"Baiklah ...." Armand mengatakannya dengan lambat. Lalu berdiri dan mengulurkan tangannya. Abela tidak terlihat bingung lagi. Dia dengan natural menyambut tangan Armand dan berdiri. Keluar dari ruangan rekreasi, berjalan beriringan melewati koridor menuju sebuah tanah lapang yang Abela yakini sebagai tempat berlatih.
Abela melihat sekeliling tempat itu, tidak ada orang selain mereka berdua. Abela juga tahu, dia hanya memiliki dua ksatria dan bertambah menjadi enam. Dan semua ksatria itu dikirim Armand dari kediamannya.
Armand tersenyum saat mata Abela kembali padanya. Armand lalu meletakan satu tangannya di depan dada, ada cahaya yang keluar dari sana semakin bercahaya seiring Armand mencabut pedangnya keluar dadanya.
Abela terperangah saat Armand berhasil menggenggam pedang besarnya dengan satu tangan. Ada desir dingin yang menjalar dari kepala ke ujung kaki Abela. Keringat mengalir perlahan dari pelipisnya. Dia merasa bersemangat dan takut di saat bersamaan. Pedang itu, pedang itu yang dua tahun lalu menusuk dadanya. Haruskah pedang itu mengakhiri hidupnya lagi?
Jika begitu, bagaimana dengan Abela? Apa Abela akan ikut mati bersamanya? Lalu kenapa dia peduli. Peperangan batin Ghotel semakin sengit seiring cahaya pedang itu memudar.
"Pedang yang membunuh penyihir," gumam Abela pelan.
"Kamu benar, pedang ini yang membunuh penyihir itu." Armand mengatakannya dengan nada menyesal. Membuat Abela waspada.
"Kau terlihat menyesalinya." Abela tidak tahu apa yang dia katakan. Untuk apa Armand menyesal karena membunuhnya.
"Kamu benar. Aku sangat menyesal. Mungkin aku dan dia bisa bicara," jawab Armand tenang.
Abela tidak ingin mendengar lebih jauh lagi. Untuk apa dia tahu hal itu.
"Kita tidak perlu membicarakan penyihir itu lagi. Beritahu aku tentang kekuatan ku. Apa aku bisa menarik pedangku dari dalam dada juga?" tanya Abela terdengar bersemangat.
"Tentu saja tidak bisa. Pedang ku sedikit istimewa, jadi dia hanya ingin tinggal di dalam sana. Ini adalah pedang yang di turunkan turun temurun kepada raja."
"Menarik. Jadi yang memiliki pedang itu bukan raja?" tanya Abela.
Armand tersenyum miring mendengarnya. Bukan rahasia lagi kalau yang bisa mengklaim pedang itu adalah dia bukan kakaknya.
"Jadi ... Apa seharusnya kamu yang menjadi raja?" tanya Abela hati-hati.
"Tidak seperti itu. Kenapa aku harus jadi raja." Armand masih tersenyum mengatakannya.
"Kamu yang bilang begitu tadi," jawab Abela.
"Jadi kekuatan mu ...."
"Kau mengalihkan pembicaraan?" potong Abela.
"Kamu tahu ... Aku tidak suka berada disini untuk mendiskusikan kekuatan yang kamu miliki. Aku ingin ke kamarmu saja. Berbincang denganmu di sana." Armand kembali menyunggingkan senyum miringnya.
"Aku tidak mau," jawab Abela dingin membuat Armand meringis sebelum terkekeh kecil.
"Baiklah ... Aku tidak yakin bisa menjelaskannya secara detail. Sejauh yang aku tahu, kamu memakai sepasang pedang kembar. Kamu juga punya kekuatan fisik yang luar biasa," jelas Armand panjang.
"Lalu ... Kenapa aku bisa dengan mudah di serang?"
Pertanyaan Abela membuat Armand bungkam, dia menatap Abela dengan tatapan tidak biasa. Seperti ragu untuk menjawab. Abela menghela napas pelan.
"Baiklah ... Jadi pada akhirnya, hanya ingatan ku yang hilang saja yang bisa menjawab semuanya." Abela berkata datar.
Entah bagaimana caranya mendapatkan ingatan yang tidak pernah dia punya itu. Tidak ada cara lain selain menyerah dan menerima apa yang ada di depannya. Mulai besok, Abela akan datang ke tempat ini untuk berlatih sendirian.
"Aku punya satu pertanyaan," kata Abela lagi. "Sepertinya yang mulia ratu mengundangku minum teh. Bagaimana menurutmu? Apa hubungan kami baik?"
"Ratu? Kakak iparku orang yang baik dan ya hubungan kalian baik. Kapan undangan itu, aku bisa menemanimu jika kamu mau."
"Ide bagus, aku tidak ingin tergagap sendirian terutama dengan isi kepalaku yang sedang kacau," ucap Abela dia mengaitkan anak rambutnya yang diterpa angin. "Dua hari lagi, undangannya dua hari lagi," katanya lagi.
"Kamu akan baik-baik saja," kata Armand dengan nada yang menyakinkan.
"Baiklah." Abela menutup percakapan itu dan berjalan berbalik kembali ke arah mansion nya.
Dibelakangnya Armand tersenyum kecil berjalan mengikuti.
"Bagaimana dengan kencan? Kamu ingin jalan-jalan keluar? Atau main ke akademi menemui Orlando?" Armand sudah berjalan disamping Abela lagi.
"Kemana pedang mu?" Abela menjawab pertanyaan Armand dengan pertanyaan lagi.
"Sudah kembali ke tempatnya. Tapi kamu tahu, aku bukan orang yang sangat baik hati jika orang bertanya sebelum menjawab pertanyaanku." Armand mengatakannya dengan jujur.
"Aku belum siap bertemu dengan Orlando. Aku tidak mengingatnya, tapi mendengar namanya saja sudah membuatku sedih." Abela tidak berbohong tentang itu. Perasaan aneh itu terus masuk kedalam hatinya saat dia mendengar nama anaknya itu.
"Apa kamu merasakan hal yang sama jika mendengar namaku?" tanya Armand penasaran.
"Aku merasa kesal setiap mendengar namamu." Abela masih bernada datar saat mengatakan itu. Armand mungkin tertawa menanggapinya. Tapi tetap dia merasa sedikit tersinggung.
"Kau tahu, hanya kamu yang di izinkan bicara seperti itu di hadapanku," ucap Armand.
"Jadi? Apa aku harus merasa tersanjung dengan itu?" tanya Abela acuh.
Armand terdiam menatap sisi wajah Abela yang terlihat dingin itu. Dia menyeringai sebelum mengecup singkat pipi Abela. Rasanya luar biasa saat ekspresi Abela berubah dengan cepat. Abela menoleh cepat dengan wajahnya yang sudah memerah. Matanya melebar menatap Armand yang tersenyum lebar.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 74 Episodes
Comments
Linechoco
Wah, cerita ini keren banget, thor. Jangan berhenti menulis ya!
2023-07-27
1
Hoa thiên lý
Paragraf tiap halaman bikin saya ikut terbawa cerita.
2023-07-27
0
XVIDEOS2212
Wow, nggak nyangka sehebat ini!
2023-07-27
0