1 Minggu berlalu, setelah kepergian Gevan membuat Alaska mengurung diri di kamarnya dan menyalahkan diri sendiri.
Bi Iyem berusaha membujuk Alaska tapi tidak bisa, Alaska bersikeras tidak ingin keluar dari kamar.
Kedekatan Alaska dengan Gevan memang sangat sangat dekat walaupun sering bertengkar tapi Gevan selalu perhatian kepadanya.
Saat ini Alaska sedang duduk di balkon kamarnya melihat pemandangan pagi kota Jakarta. Kota yang sangat ramai akan penduduk, di beberapa titik sudah ada yang macet karena dari mereka ada yang berangkat kerja, pergi ke pasar dan lain-lain.
"Kak, lo pasti menyesal mempunyai adik seperti gue." Terkekeh kecil. "Gue pikir semua ini hanya mimpi, ternyata lo benar-benar ninggalin gue."
Selama 1 Minggu Alaska menghabiskan waktunya di dalam kamar. Makanan hanya di antar sampai depan pintu kamar, Alaska sendiri yang mengambilnya.
Perpisahan yang paling menyakitkan ialah kematian seseorang yang sangat dekat dengan kita.
.
.
Pukul 9 pagi, Alaska memutuskan untuk keluar dari kamar ketika ingin menuju dapur tiba-tiba terdengar orang tuanya sedang bertengkar.
"Kenapa papa mengajak wanita lain ke kantor?" teriak Rani. "Apa papa sudah tidak mencintai mama lagi?"
"Rani, berhentilah berbicara omong kosong." Kesal Daren.
Alaska yang mendengar pertengkaran orang tuanya pun berlari mendekati kamar mereka.
"Ma, pa?"
Alaska masuk ke dalam kamar orang tuanya, terlihat Rani sedang menangis.
"Kenapa mama menangis? Apa papa melakukan sesuatu kepada mama?"
Keluarga yang dulunya sangat harmonis tiba-tiba mendengar pertengkaran orang tua.
Alaska sangat terkejut mendengar teriakan suara Daren sampai tangga.
"Alaska, keluarlah! Jangan ikut campur dengan urusan orang tua." Titah Daren.
"Tidak, aku tidak akan keluar." Bantah Alaska.
"Ka, kamu sudah menghilangkan nyawa Gevan."
Seketika hati Alaska seperti di sambar petir setelah mendengar ucapan Daren, seolah-olah yang menyebabkan kematian Gevan adalah Alaska.
Sebagai hubungan adik dan kakak yang sangat dekat, siapa yang tidak bersedih jika di tinggalkan oleh salah satunya? Alaska hanya ingin balap liar bersama sang kakak tetapi takdir berkata lain.
"Berani-beraninya papa berbicara seperti itu kepadaku? Siapa yang menghilangkan nyawa kak Gevan? Siapa?" teriak Alaska mulai emosi.
Deg....
Rani terdiam mendengar pertengkaran Daren dengan Alaska. Dari dulu hubungan mereka memang kurang akrab terapi Daren tidak pernah membedakan antara Gevan dan Alaska. Hanya saja Daren lebih tegas kepada Alaska, karena Alaska sifat Alaska yang keras kepala.
"Kamu!! Kalau kamu tidak mengajak Gevan balap liar, tidak mungkin Gevan kecelakaan dan kehilangan nyawanya."
"Aku juga tidak ingin semuanya terjadi, bukan hanya papa yang sayang dengan kak Gevan!!! Aku dan mama juga!!!"
"Lebih baik kamu kembali ke kamar, jangan membuat papa tambah marah."
"Kenapa? Aku disini untuk mama, bukan untuk papa!!"
"ALASKA!!!" teriak Daren. "Keluarlah." Berusaha meredakan emosi.
"DIAMLAH, KENAPA KALIAN JADI BERTENGKAR?" Rani menatap Daren dengan penuh amarah. "JAGA UCAPAN MU!!! KENAPA KAMU BERBICARA SEPERTI ITU DI DEPAN ALASKA?"
"A...aku...."
Rani menatap Alaska. "Kembalilah, mama tidak apa-apa." Tersenyum. "Omongan papa jangan di masukkan ke dalam hati, papa hanya sedang emosi."
Rani berusaha menenangkan Alaska agar tidak terjadi kesalahpahaman akibat ucapan Daren yang sembarang.
Alaska langsung beranjak pergi dengan hatinya yang sangat sakit setelah mendengar ucapan Daren yang menyalahkannya mengenai kecelakaan Gevan.
Begitulah ketika emosi sedang memuncak semua yang keluar dari mulut akan berkata sembarang dan membuat sakit hati kepada orang yang mendengarnya.
Brakkkk….
Bi Iyem terkejut mendengar Alaska menutup pintu kamarnya sangat nyaring.
"Ada apa dengan Tuan Alaska?" dengan cepat menuruni anak tangga.
Alaska menghamburkan semua barang yang ada di kamarnya sambil berteriak tidak jelas.
"Ya semuanya salah gue, gue yang membunuh kak Gevan." Menangis.
.
.
.
Siang ini Alaska sedang duduk di sofa kamarnya. Dari tadi Alaska mencoba menelpon Vino, beberapa saat kemudian Vino mengangkat telponnya.
"Akhirnya lo menelpon gue."
Vino sangat lega mendengar suara Alaska, karena semenjak Gevan di kuburkan, Alaska tidak pernah memberi kabar kepada anak Redwolf atau Elang. Mereka sangat mengkhawatirkan kondisi Alaska tetapi apa boleh buat hanya bisa menunggu kabar.
"Kalian jadi gak tinggal di kos-kosan?"
"Memangnya kenapa? Apa lo mau ikut?"
"Gue ikut kalian."
"Tapi orang tua lo…."
"Jangan pedulikan mereka, gue gak mau lagi tinggal disini."
"Kenapa?"
"Sebentar lagi gue ke Basecamp, tunggu gue." Mematikan telpon.
.
.
.
Sore hari, cuaca yang sangat cerah. Alaska menuruni anak tangga sambil memasang jaket hitamnya.
"Kamu mau pergi kemana?" tanya Rani.
"Aku ingin tinggal di kos-kosan bareng teman-teman."
"Apa kamu ingin meninggalkan mama?"
Alaska meraih tangan Rani lalu mengelusnya. "Bagaimana bisa? Tidak ma, aku hanya ingin tinggal bersama mereka karena sebentar lagi aku masuk kuliah biar lebih dekat saja." Tersenyum.
"Bagaimana kalau mama tidak mengizinkan mu? Mama takut terjadi sesuatu kepada mu."
Alaska mencium kening Rani. "Tidak akan ma, aku bisa menjaga diri sendiri."
"Mau pergi kemana?" tanya Daren berjalan mendekati mereka.
"Pa, Alaska ingin tinggal di kos-kosan." Rani mengadu kepada Daren dan berharap Daren juga melarangnya.
"Biarkan saja dia pergi." Ucap Daren.
"Pa, kenapa papa berbicara seperti itu?" Rani mulai kesal.
"Ma, aku pergi dulu, aku pasti menghubungi mama." Beranjak pergi.
Alaska semakin tidak bisa melihat Daren karena hatinya selalu sakit jika teringat dengan ucapan Daren.
"Alaska." Teriak Rani.
Alaska berjalan keluar rumah di ikuti bi Iyem menuju garasi.
"Bi, tolong ya semua barang saya bawa ke kos-kosan. Nanti saya kirim alamatnya."
"Apa Tuan muda yakin pergi dari sini? Nyonya sangat mengkhawatirkan Tuan Alaska."
Alaska mengangguk. "Saya titip mama, jangan sampai papa melakukan sesuatu kepada mama." Menghela. "Papa juga sudah tidak menyukai kehadiran saya, jadi untuk apa saya masih tinggal disini."
"Tapi Tuan?"
Alaska naik ke atas motornya. "Saya pergi dulu."
Alaska menjalankan motornya keluar dari garasi. Bi Iyem masuk kembali ke dalam rumah.
.
.
.
"Kenapa papa seperti ini? Apa papa sudah tidak menyayangi Alaska?" tanya Rani penuh emosi.
"Bagaimana bisa aku tidak menyayanginya? Alaska sudah besar, biarkan dia mandiri." Ucap Daren.
"Aku tidak ingin kehilangan anak ku lagi, aku tidak tenang kalau Alaska tidak di rumah."
"Kalau begitu apa kamu bisa menghalangi Alaska?" Daren menghela nafas. "Tidak ada yang bisa menghalanginya."
"Kamu juga sudah berubah, malah bersama wanita lain. Kalau mau cerai, cerai saja." Rani beranjak pergi dengan perasaan yang sangat kesal.
"Siapa yang ingin bercerai denganmu?" teriak Daren. "Berbicara apa dia, aku saja sangat mencintainya bagaimana bisa aku berselingkuh?" terheran.
.
.
.
Alaska baru tiba di Basecamp, semua anak motor di sana ikut senang bisa melihat Alaska lagi setelah 1 Minggu tidak datang ke Basecamp.
Alaska berjalan menaiki anak tangga menuju lantai 2 yang di mana anak Elang sedang berkumpul.
Zen berdiri sambil tersenyum. "Akhirnya lo datang juga."
"Bagaimana keadaan lo?" tanya Vino.
"Kenapa lo tiba-tiba ingin ikut dengan kami tinggal di kos-kosan?" tanya Carlos bingung.
"Iya, padahal rumah lo sangat nyaman." Sahut Zen.
Alaska menghela nafas panjang. "Sudah tidak nyaman."
"Apa terjadi sesuatu? Apa lo bertengkar dengan orang rumah?"
"Bokap gue." Merebut minuman dari tangan Vino. "Sudahlah lupakan saja!!"
"Kami sudah menemukan kos-kosan yang nyaman, cocok untuk kita berempat." Vino memasukkan ponselnya ke dalam saku.
"Dimana?" tanya Alaska.
"Di jalan anggrek, kompleknya sepi. Jadi kalau anak Redwolf mampir ke kos-kosan kita aman-aman saja." Jelas Zen.
"Kamarnya ada 4." Carlos memperlihatkan kos-kosan yang berbentuk rumah. "Kami juga sudah DP dengan ibu kos."
Alaska mengangguk cuek. "Berangkat sekarang, biar orang rumah gue mengantar semua barang-barang gue ke sana."
.
.
.
Mereka sudah berada di kos-kosan, dari tadi Alaska menunggu kedatangan bi Iyem yang membawa semua barang-barangnya.
Tidak lama kemudian, mobil hitam datang lalu berhenti didepan kos-kosan mereka. Bi Iyem turun bersama supir.
"Bawa semuanya ke dalam, kamar saya ada di lantai atas nomor 4."
Pak Erik mengangguk lalu berjalan melewati Alaska dan teman-temannya sambil membawa kardus.
Bi Iyem melihat sekitar. "Apa Tuan yakin tinggal disini?"
"Sangat yakin."
Zen merangkul Alaska. "Bibi tenang saja, Alaska pasti sangat betah tinggal disini." Tersenyum.
"Baguslah, saya titip Tuan Alaska."
"Kalau dia macam-macam kami pasti akan kasih dia pelajaran." Ucap Vino.
Alaska memukul kepala Vino. "Lo yang gue beri pelajaran."
"Pelajaran apa? Sekolah?" sahut Carlos.
Seketika Zen terkekeh mendengar candaan Carlos.
Alaska melihat-lihat ke dalam mobil. "Apa hanya bi Iyem yang datang ke sini?"
Bi Iyem mengangguk. " Tuan dan Nyonya masih bertengkar, jadi…"
"Oke terima kasih, kalian kembali saja." Ucap Alaska.
"Kami permisi dulu." Pak Erik masuk ke dalam mobil di susul bi Iyem.
Mobil pun meninggalkan kos-kosan Alaska. Sesaat ketiga temannya menatap Alaska yang tiba-tiba terdiam.
Walaupun Alaska kesal kepada Daren, tapi Alaska sangat berharap kedua orang tuanya datang. Kekecewaan Alaska tidak bisa menutupi dari teman-temannya.
"Ka?" panggil Vino.
Alaska tersadar dari lamunannya. "Hah? Gue ke kamar dulu, badan gue capek."
Alaska masuk duluan ke dalam rumah menuju kamarnya yang ada di lantai atas paling ujung.
"Apa yang terjadi kepadanya? Kenapa dia tiba-tiba seperti itu?"
Vino sangat merasakan perubahan yang ada pada diri Alaska. Alaska memang paling tidak bisa menutupi suasana hatinya entah baik atau pun sedang buruk.
"Biarkan saja, mungkin dia sedang capek." Sahut Carlos.
...Bersambung…....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments