"Kak Gevan." Teriak Alaska melajukan motornya mendekati Gevan.
Alaska langsung turun dari motornya lalu berlari mendekati Gevan sambil menangis.
Di bawah sama Gevan sudah tidak berdaya, sesaat Gevan mencoba menggerakkan kakinya tetapi kesusahan. Beberapa orang menghampiri mereka dengan penuh kekhawatiran.
"Kak Gevan." Berjongkok di depan Gevan. "Kak." Meletakkan kepala Gevan di atas pahanya. "Kak, bangunlah."
Kekhawatiran di wajah Alaska terlihat sangat jelas, bagaimana tidak khawatir Alaska yang mengajaknya untuk balap liar dan Alaska juga yang melihat secara langsung kecelakaan Gevan di depan matanya
"Ka, tenanglah."
Walaupun Gevan kesakitan di bagian kaki dan kepalanya tetapi berusaha menutupinya di depan Alaska. Mereka kakak beradik yang saling menyayangi dan mengasihi walaupun sering bertengkar tetapi saling perhatian juga.
"Cepat panggil ambulans."
"Kami sudah menghubungi ambulans, mereka sedang dalam perjalanan kesini." Ucap Zen.
"Apa yang terjadi? Bagaimana bisa kak Gevan…."
Carlos menyenggol lengan Vino. "Diamlah, doakan saja semoga kak Gevan tidak kenapa-kenapa."
Vino mengangguk. "Semoga saja."
"Kak, ini Alaska." Menyentuh helm Gevan. "Kak, bertahanlah. Sebentar lagi ambulans datang, kita ke rumah sakit."
Perlahan Gevan membuka matanya yang hampir terpejam lalu menatap Alaska. Tiba-tiba dari dalam helm Gevan mengeluarkan darah, membuat Alaska semakin panik.
"DI MANA AMBULANS?" teriak Alaska.
Vino yang melihat Alaska seperti itu pun langsung menghubungi ambulans lagi untuk menanyakan keberadaan mereka. Karena kondisi Gevan semakin memburuk.
"Te-tenanglah, gue masih bisa tahan kok."
"Kak jangan tinggalin gue." Perlahan Alaska menetaskan air matanya hingga membasahi pipi
Ninu... Ninu... Ninu...
Terdengar dari kejauhan suara ambulans lalu berhenti di dekat mereka. Kedua suster pun mengangkat Gevan penuh hati-hati lalu memasukkan ke dalam ambulans.
Zen memegang bahu Alaska. "Masuklah, gue yang pakai motor lo."
Carlos dan Vino mengangguk. "Kami akan menyusul."
Alaska langsung masuk ke dalam ambulans, ketiga temannya naik ke atas motor lalu mendekati Redwolf yang masih berkumpul di dekat garis start.
Mereka bertanya-tanya bagaimana kondisi Gevan. Vino hanya bisa menyuruh mereka untuk segera bersiap menyusul ambulans.
.
.
.
Di dalam ambulans, suster berusaha mempertahankan nyawa Gevan. Dari tadi Alaska memegang tangan Gevan. Tidak berhenti Alaska menetaskan air matanya, hatinya sangat sakit melihat kondisi Gevan.
"Kak, maaf... Ini salah gue." lirih Alaska penuh penyesalan.
Gevan menggeleng pelan. "Gue gak papa." Tersenyum.
Walaupun wajah Gevan terhalang oleh helm tapi ketika tersenyum terlihat jelas bahwa Gevan sedang tersenyum, tetapi malah membuat Alaska semakin merasa bersalah.
"Berhentilah menangis, lo cowok ganteng kenapa harus menangis karena gue."
"Kak, bukan waktunya bercanda." Kesal melihat Gevan yang masih sempat-sempatnya bercanda dengannya. "Gue takut lo…."
"Darahnya semakin berkurang." Ucap suster.
"Lakukan sesuatu, jangan sampai terjadi sesuatu kepadanya." Teriak Alaska.
"Tenanglah, nanti juga darah gue bertambah lagi." Gevan berusaha menenangkan Alaska, walaupun sebenarnya sudah tidak kuat menahan sakit di kepalanya akibat benturan keras.
"Kak sumpah candaan lo gak lucu."
Terlihat di depan ambulans Zen memakai motor Alaska untuk membuka jalan agar tidak terkena macet. Dan di bagian belakang ambulans juga anak Redwolf beriringan ikut ke rumah sakit.
"Lo harus bertahan." Mengusap air mata. "Pak, lebih cepat lagi."
Tiba-tiba Gevan susah untuk bernafas dengan cepat suster memasang alat oksigen di hidungnya.
"Apa yang terjadi kepadanya?" tanya Alaska kepada suster memastikan bahwa Gevan tidak apa-apa.
"Sepertinya tidak akan bisa bertahan."
Alaska menarik baju suster. "Apa maksud lo? Jangan berbicara sembarang!! Kalau terjadi sesuatu kepada kakak gue, lo....!"
"Ka…." Panggil Gevan. "Jaga sikap lo."
Alaska melepaskan tangannya dengan wajah yang masih kesal, sangat tidak terima dengan ucapan suster. Bagi Alaska Gevan masih bisa bertahan dan sembuh.
Tidak lama kemudian ambulans memasuki rumah sakit menuju ruang UGD. Dengan cepat suster menurunkan brankar pasien lalu masuk ke ruang UGD.
Sepanjang jalan menuju ruang UGD, Gevan semakin susah bernafas membuat Alaska gelisah. Gevan mulai masuk ke ruang UGD, Vino menahan tangan Alaska yang ingin masuk ke dalam.
"Tenanglah, kak Gevan pasti selamat." Vino mencoba menenangkan.
"Kami sudah menghubungi orang tua lo, mereka dalam perjalanan ke sini." Zen menyerahkan kunci motor kepada Alaska.
Semua anak motor Redwolf datang ke rumah sakit, tapi hanya Elang yang berdiri di depan ruang UGD.
Terlihat dari kejauhan Daren dan Rani berjalan mendekati mereka. Alaska langsung mendekati Rani lalu memeluknya.
"Aku menyesal mah mengajak kak Gevan." Menangis.
Rani mengelus punggung Alaska. "Apa yang sebenernya terjadi?"
"Apa kalian balapan lagi?" tanya Daren. "Bukankah papa melarang kalian balap motor? Kenapa tidak pernah mendengarkan papa?" mulai kesal.
Seketika Elang terdiam membisu menjadi patung, tangan saling menyenggol takut Daren akan memarahi mereka juga. Daren sangat tegas terhadap Alaska tetapi Elang selalu membantu Alaska agar bisa balap liar hingga akhirnya mereka ketahuan, Daren memberi efek jera kepada Elang membuat mereka sedikit takut.
"Pa, tenanglah. Alaska juga tidak ingin semuanya terjadi." Rani berusaha menenangkan Daren yang mulai kesal kepada Alaska.
"Ma, aku menyesal mengajak kak Gevan balap liar."
"Kak Gevan pasti selamat, kamu tenang saja."
Rani memang sangat menyayangi ke dua anaknya ini, apapun yang akan terjadi kepada mereka apapun kesalahan mereka Rani selalu lemah lembut. Begitu juga Daren, ia juga sangat menyayangi mereka hanya saja lebih tegas di bandingkan Rani.
Alaska pun menangis sesenggukan di dalam pelukan Rani. Ketiga teman Alaska memutuskan keluar dan ikut berkumpul dengan anak yang lain.
"Bagaimana kalau terjadi sesuatu kepada Gevan?" Daren mulai gelisah.
"Pa, diamlah."
Tiba-tiba ada yang keluar dari ruang UGD, Daren langsung mendekatinya.
"Bagaimana keadaan anak saya dok? Apa sangat parah?"
Dokter menghala nafas sambil mengangguk pelan. "Berdoalah, semoga takdirnya masih panjang."
Alaska yang mendengar itu langsung berlari masuk ke dalam, terlihat di dalam sana Gevan di pasang berbagai macam alat medis.
"Kak Gevan."
Seketika Rani menangis melihat kondisi Gevan. Daren membawa Rani ke dalam pelukannya di iringi air matanya yang turun membasahi pipi.
"Gevan, pa."
"Mama tenang saja, Gevan pasti bisa bertahan." Daren mencium kepala Rani.
Alaska berdiri di samping Daren. "Mama dan Papa lebih baik istirahat dulu, biar aku yang menjaga kak Gevan."
Rani menggeleng pelan. "Kamu yang harus istirahat, mama yang akan menjaga Gevan."
"Ikuti saja apa kata mama." Ucap Daren.
Alaska pun keluar dari ruang UGD dengan matanya yang sangat merah. Alaska berjalan keluar mendekati anak motor Redwolf yang masih berkumpul di sana menunggu Alaska.
"Lebih baik kalian kembali ke basecamp, aku harus berjaga disini."
"Bagaimana kondisi kak Gevan?" tanya Carlos.
"Apa kata dokter?" Vino juga ikut bertanya.
Alaska hanya diam tidak menjawab pertanyaan mereka.
"Apa terjadi sesuatu kepada kak Gevan?" tanya Zen.
Alaska mengangguk pelan. "Kalian kembali lah, nanti besok pagi datang lagi kalau kalian mau."
"Kalau begitu kami kembali dulu, kalau terjadi sesuatu langsung hubungi kami." Ucap Carlos.
Alaska hanya mengangguk lalu masuk lagi ke dalam, mereka pun bubar.
.
.
.
Pukul 2 malam, Alaska sedang duduk di bawah dekat tangga kecil. Hening, sepi tidak ada orang yang berlalu lalang walaupun ada tapi hanya beberapa orang saja.
"Minumlah."
Tiba-tiba ada seseorang yang memberinya minuman dingin.
Alaska menoleh, terlihat seorang dokter berdiri di sampingnya.
"Apa kamu tidak tidur?"
Alaska mengambil minuman itu dari tangan dokter. "Belum mengantuk, dok."
"Kenapa? Memangnya di dalam ruang UGD itu siapa?" tanya dokter.
"Kakak saya dok." Membuka minuman.
Dr. Dodi sepertinya saya harus memberitahu mu satu hal."
Alaska yang mendengar itu berdiri. "Memberitahu apa?"
"Siap tidak siap, kamu harus siap."
"Maksud dokter, kakak saya tidak bisa selamatkan?"
Dr. Dodi mengangguk pelan. "Kecelakaannya sangat parah, di bagian kepala terkena benturan keras."
Seketika Alaska lemah mendengar pernyataan Dr. Dodi.
"Apa tidak bisa selamatkan? Dokter harus melakukan sesuatu agar kakak saya selamat."
"Tenanglah, saya pasti melakukan yang terbaik tapi ini benar-benar sangat parah."
Sesaat Alaska melihat ke arah ruang UGD lalu menetaskan air mata.
"Kalau kamu tidak bisa merelakan, kasihan dia menahan sakit."
Alaska menggeleng cepat. "Kakak saya pasti bisa diselamatkan dok."
"Dulu juga saya kehilangan istri saya, anak saya sangat terpukul dengan kepergian istri saya tapi mau tidak mau anak saya harus merelakan ibunya agar bisa tenang."
Alaska semakin menangis mendengar cerita dari Dr. Dodi.
"Beristirahatlah, saya permisi dulu."
Dr. Dodi berjalan beranjak pergi, sementara Alaska hanya bisa menangis sambil memukul tembok.
"Kak jangan tinggalin gue."
.
.
.
Keesokan paginya, Alaska dan kedua orang tuanya menunggu di luar karena dokter sedang memeriksa kondisi Gevan.
Hampir 1 jam dokter tidak keluar dari ruangan Gevan, hingga beberapa menit kemudian keluar lalu berjalan mendekati mereka.
"Ikhlaskan." Ucap Dr. Dodi.
"TIDAK." Teriak Alaska berlari masuk ke dalam disusul Elang.
Terlihat wajah Gevan sudah di tutupi dengan kain putih dari rumah sakit.
"Kak Gevan." Alaska membuka kain lalu melihat wajah Gevan yang sangat pucat. "Jangan tinggalin gue."
"Gevan." Teriak Rani histeris.
Daren hanya bisa memeluk Rani tanpa berbicara apapun.
"Ka, ikhlaskan. Biarkan kak Gevan tenang." Ucap Vino.
"Salah gue, semuanya salah gue." Menangis.
Rani yang melihat Alaska pun langsung memeluknya. "Bukan salahmu, berhentilah menyalahkan diri sendiri."
"Ma….."
...Bersambung….....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments