🌻 Winona
Parfume Jacob memberikan sensasi yang menggelitik di perutku. Entah mengapa, aroma pria itu membuatku ingin melingkarkan tangan di tubuhnya. Alih-alih, aku hanya menggenggam erat bahunya.
“Nggak mau pegangan?” tanya Jacob dengan suara rendah.
“Bilang aja, lo pengen gue peluk,” ucapku pelan.
Tawa rendahnya terdengar. Membuat bahunya bergetar pelan. “Takut aja nanti kamu jatuh.”
Aku menepuk bahunya pelan. “Lo niat anterin gue apa enggak sih? Gue turun nih!” Aku mengangkat sebelah kaki, hendak turun dari motornya.
Jacob mengangkat tangannya, menahanku di tempat. “Iya ya. Kita jalan sekarang!”
Sepanjang perjalanan, asumsi terus menyiksaku dengan penyangkalan. Di satu sisi, kembalinya Jacob membuatku merasa senang. Di lain sisi, rasa marah dan tidak terima akan perlakuannya padaku dulu, membuatku ingin berteriak lebih keras lagi pada pria itu.
Nada perhatian dan jelas terdengar posesif, menjadi kode bagiku. Kode bahwa Jacob masih peduli padaku!
Jacob memelankan laju motornya, wajahnya sedikit berpaling ke samping. “Ke mana aku anterin kamu?”
“Nanti di pertigaan depan, belok kiri.” Jacob mengangguk menanggapi ucapanku.
Angin malam menusuk kulit, membuatku menyesal meninggalkan cardigan di laci meja kantorku.
Lalu lalang kendaraan semakin ramai menuju arah yang hendak dituju. Tidak biasanya motor-motor dengan pengendara ABG memadati jalan raya jam segini.
Jacob kembali memelankan laju motornya. Di sebelah kami, motor bebek modifikasi juga ikut menurunkan kecepatan motor. “Kok rame? Ada apaan di sini?” tanya Jacob
Pemuda itu menyeringai lebar. Teman yang ia boncengi melirik ke arahku, dengan senyum yang tak kalah lebarnya. “Biasa bang. Ada yang mau tawuran!” ucapnya sedikit berteriak.
Knalpot bisingnya membuatku sedikit lega karena memakai helm full face milik Jacob. Dan ya… helm ini wangi sekali.
Semoga keringat di kepalaku tidak meninggalkan bau apek.
“Tawurannya di mana?” tanya Jacob.
“Di jalan Kenangan!” jawab pemuda berambut cepak itu.
Apa? Tidak!
Jalan itu satu-satunya jalan ke kosanku!
Jacob menepikan motornya. Wajah tampan itu kembali berpaling, menatapku dengan kerutan di keningnya.. “Ada jalan lain nggak?” tanya Jacob.
Aku menggelengkan kepala dengan cepat. “Itu jalan utama.” Mungkin ada jalan kecil, jalan melewati komplek perumahan warga. Tapi aku tidak tahu rutenya lewat mana.
Ah… iya!
Aku mengeluarkan ponsel, “coba gue lihat map dulu.”
Aku menginstruksikan Jacob melewati jalur alternatif. Semakin kami mendekati jalan Kenangan, semakin ramai oleh muda-mudi yang masih duduk di bangku SMA yang berlalu lalang.
Ini polisi pada ke mana?! Apa tunggu ada korban jiwa baru datang?
Jacob memutar motornya, kembali ke jalan yang kami lalui tadi. Aku menepuk bahunya dengan cepat. “Ini kita mau ke mana? Kita bisa lewat jalanan komplek sekitar seratus meter lagi!”
“Seratus meter lagi udah jadi arena tawuran!” balas Jacob sedikit berteriak. “Kita ke tempat lain.”
“Ke mana?” tanyaku cepat.
“Lo mau terluka? Kita ke tempat lain!” suara itu sedikit membentak.
Kenapa Jacob marah? Aku tidak memintanya mengantarku pulang! Tapi jika bukan Jacob yang mengantarku, aku tidak tahu bagaimana nasibku sekarang!
Sekitar sepuluh menit berkendara dalam diam, gedung pencakar langit menjulang tinggi di sisi kiri dan kananku. Satu kemungkinan terlintas di benakku.
Apa Jacob membawaku ke apartemennya?
Oh, bagaimana ini?!
Andai saja Sepia tidak mengingkari janjinya! Aku…
Oh, tidak! Bisa jadi aku sudah berakhir di rumah Sepia karena tawuran sialan itu!
Parkiran basement tidak dipenuhi oleh kendaraan. Aku turun dari motor dengan cepat, tepat setelah Jacob menurunkan standar motor.
“Aku tahu kamu kesal sama aku. Tapi kamu mau nginap di mana?” pertanyaan itu terlontar dengan cepat. Seolah Jacob tahu aku akan marah-marah padanya.
Aku membuka helm. Jacob langsung mengambil helm itu, membuatnya menyentuh punggung tanganku. Dengan cepat, aku menarik tanganku.
Apa dia sengaja? Menyentuh tanganku? Atau hanya persepsiku saja?!
Tapi….
Senyum kecil di sudut bibirnya membenarkan dugaanku.
Jacob sengaja menyentuh tanganku!
Dan mengapa jantungku berdebar tak karuan seperti ini?
Aku mendecih pelan, mencoba mengingat percakapan terakhir kami. “Di mana aja bisa. Gue bisa booking online, cari penginapan murah.”
Kedua mata itu menatap tajam ke arahku. “Nggak! Aku nggak biarin kamu nginap di hotel. Lagian udah di sini. Jadi…”
Aku mendengus kesal. “Tujuan lo apa sih? Kenapa…”
“Wio,” sela Jacob. “Tadi bukannya kamu lihat ada tawuran. Kamu juga nggak bisa pulang! Aku nggak izinin kamu nginap di hotel. Ada aku di sini.” Ia menepuk dada dengan telapak tangannya. “Kamu nggak perlu mikir yang aneh-aneh. I take both my hand off of you!”
Apa aku ada pilihan? Dan sialnya mengapa sudut hatiku berteriak senang?
Apa aku bahagia karena kehadirannya?
Bodoh! Aku bodoh jika membiarkan hatiku terbuka untuk pria yang menghancurkan hati itu.
Tapi jika aku nginap di hotel…
Aku menghela napas kecil. Akhir bulan selalu membuatku sakit kepala. Gajiku UMR. Biaya kos, biaya sehari-hari, uang jajan adikku yang masih kuliah….
Tidak! Jika aku menghabiskan dua ratus ribu untuk biaya penginapan, sedangkan uang itu bisa membiayai hidupku untuk lima hari!
Baiklah. Tidak ada salahnya aku menginap di apartemennya. Meskipun hubunganku dengan Jacob bisa dikatakan tidak baik, setidaknya aku berdamai sebentar dengannya.
Ah! Ini yang membuatku benci! Antara krisis finansial dan ego!
Jacob menekan lantai 15, ketika kami sudah berada di dalam lift.
Sembari melihat angka perlahan bertukar, pikiranku kembali memutar kejadian setelah aku bertemu Jacob hari ini. Pertama, jantungku masih tidak baik-baik saja.
Kedua, perasaanku bercampur aduk. Antara marah, sedih, bahagia, rindu…
“Kalau mau tidur, kamu bisa di kamar aku aja,” ujar Jacob. Suara berat itu membuyarkan lamunanku. “Aku bakal tidur di luar, in the living room.”
Aku hanya bergumam pelan. Lebih baik aku irit bicara, daripada mengatakan sesuatu yang akan aku sesali nantinya.
“Kamu tadi ketemu sama siapa di Cafe?”
Aku menatap Jacob dari pantulan dinding lift. Sorot penasaran dari mata itu terlihat jelas.
“Sepia,” jawabku datar.
“Bukan Sepia, malah kamu ketemu dengan Gama?”
“Gema,” koreksiku.
“Apapun namanya… cowok itu nggak seharusnya kamu temui lagi.”
Aku tertawa pelan, terkesan mengejek. “Kok lo ngomong gitu?”
“Dia udah jadi suami orang.” Jacob memalingkan tubuhnya, membuatku ikut memalingkan wajah. Kerutan di keningnya semakin dalam. “Apa benar yang dilamar itu kamu, bukan Sepia?”
Dari mana Jacob tahu? Bukannya tadi dia bilang ini hari pertamanya di Indonesia!
“Siapa yang cerita masalah ini ke lo?”
“Jadi benar, apa yang aku katakan tadi?” ujarnya balik bertanya.
“Peduli lo apa?! Huh!” Rasa kesal dan marah kembali membuat wajahku memanas. “Mau hidup gue sengsara, lo juga nggak bakal…”
“Wio, aku ngasih kamu surat! Aku titipkan ke Sepia.”
“Surat apa?” ujarku lirih. “Sepia nggak ngasih gue apapun! Bahkan saat gue sedih lo nggak hubungin gue…”
Jantungku rasanya berdetak dengan cepat. Rasa tidak percaya membuatku tercekat. Udara yang kucoba hirup terasa berat.
“Kalau kamu nggak baca surat itu, aku paham kenapa kamu marah sama aku. Meskipun kamu baca pun, aku juga paham…” wajahnya tertunduk sedih. “Kamu kecewa sama aku,” suara itu pelan. Terdengar kesedihan dalam kalimat itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments
Aimi.。*♡🌸
Nano-nano chapter kali ini thor rasanya. Owalah Sephia, pantes 'malam ini aku tak akan pulang', kamu jahat sih di belakang
2023-07-31
0
BodySnatcher
aku membutuhkan kepastian untuk dapat menyelesaikan cerita, tolong update lagi thor! 😊
2023-07-22
0
Aixaming
Senang membaca ceritamu, thor.
2023-07-22
0