Yellow Flag

Yellow Flag

Pertemuan Tak Disengaja

🌻Winona Pov.

Obrolan riuh di sekeliling menjadi latar menjengkelkan, saat aku terpaksa menunggu Sepia. Gadis itu sudah berjanji sekitar empat puluh lima menit yang lalu, sebentar lagi dia akan sampai!

Entah berapa lama waktu untuk kata ‘sebentar’ itu.

Namun lagi-lagi, aku dibuat kesal dengan jam karet sahabatku itu. Selalu saja begini! Aku selalu membuang waktu berharga demi menunggu gadis itu.

Apa alasannya kali ini? Menjemput anak suaminya dari tempat les musik? Ya, Sepia sudah menikah dua bulan lalu dengan duda kaya beranak satu. Pria itu mapan, meski tidak terlalu tampan.

Hmm, mungkin seleraku saja yang berbeda dengan Sepia. Karena bagi sahabatku yang manis itu, Gema sangat tampan dan hot. Aku akui, tubuhnya memang kekar. Wajah tirus dengan mata sipit. Dia bisa tampak seperti oppa Korea. Dan akan laris manis, jika saja warna kulitnya putih seperti standar ideal orang Indonesia. Alih-alih Gema memiliki kulit sawo matang khas wilayah tropis.

Poin pentingnya adalah, dia kaya. Memiliki saham di salah satu retail ternama di Indonesia. Dia juga mengembangkan bisnis beach club yang sudah memiliki lima cabang. Angka lima masih tergolong sedikit, tapi jika kelimanya sudah memiliki bintang lima?

Memikirkan kekayaan suami temanku itu, tidak membuatku iri. Ataupun berhasrat untuk menikung temanku. Meskipun sebelum menikah dengan Sepia, Gema sempat menghubungiku.

Menggelengkan kepala dengan pelan, aku mencoba mengenyahkan memori itu! Mencoba menghapus isi chat manis yang aku akui, sempat membuatku merona.

Ini tidak baik!

Jelas melanggar moral yang harus dipegang dalam menjalin hubungan persahabatan. Namun perilaku Gema membuatku merasa waspada. Takut jika dia bermain di belakang sahabatku. Jika dia berani menyatakan perasaan padaku, bukan tidak mungkin, dia juga berani bermain di luar sana dengan perempuan lain!

Menggigit pelan bibir bawah, aku kembali mengecek layar di ponsel. Aku menatap nyalang pada angka 9.15 PM!

Oh, bagiku ini sudah larut!

Jika saja Sepia tidak mengiming-imingi pekerjaan baru di kantornya, aku tidak akan rela menunggunya selama ini!

Aku begitu frustasi ingin resign kerja dari tempatku yang sekarang. Merasa muak dengan lingkungan kantor yang banyak menuntut, namun pelit memberi uang lembur. Di masa-masa seperti ini, rasa ingin mencari pasangan yang bisa menghidupi dan membiayai, tak bisa aku kubur.

Mengembuskan napas berat, aku mencoba mengenyahkan segala pikiran yang berkecamuk di dalam kepala. Overthinking selalu membayangi malam hariku.

Membuka aplikasi chat, aku menekan keyboard di layar touch screen itu dengan sedikit keras. Aku kembali merasa geram dengan Sepia!

^^^| Sep, lu di mana sih? ^^^

^^^| Gue pulang, ah!^^^

Pesanku ceklis dua, namun warna pudar itu menghilangkan harapanku agar pesan itu segera dibalas.

Memasukkan ponsel ke dalam sling bag, aku mengambil cangkir kopi yang masih berisi separuh. Selagi aku meneguk cairan cream itu, sudut mataku menatap sosok yang tidak asing.

Mengalihkan wajahku ke depan, sepenuhnya menatap ke arah makhluk yang berjalan sekitar lima meter dariku.

Napasku tertahan. Dadaku kembali terasa sesak. Dunia rasanya bergerak lamban. Di kala kenangan di pikiranku kembali menyeruak.

Pikiranku yang penuh dengan kekesalan dengan Sepia, mendadak hilang.

Kosong.

Digantikan dengan gambaran dari sosok yang dulu selalu membuat jantungku berdebar tak karuan. Meskipun sekarang, kehadirannya menyisakan desiran yang membuatku membeku kedinginan!

Aku meletakkan cangkir latte sedikit kasar. Entah mengapa, amarah yang tertahan kembali membuncah di dada. Ingin aku berteriak keras, tepat di hadapan pria itu!

Nyatanya, aku tidak memiliki keberanian sebesar itu.

Sudut kecil di hatiku masih menyimpan harapan. Perasaan itu membuatku lemah! Perasaan mendamba yang tak pernah bisa terbalaskan. Dan itu menggangguku hingga membuatku marah.

Marah karena nyatanya aku tidak bisa melupakan pria itu!

Karena kata orang, cinta yang menghilang tiba-tiba akan meninggalkan kenangan tak sampai. Tempat di mana logika selalu mempertanyakan kejelasan, karena belum ada kata usai.

Entah hanya perasaanku saja, atau memang sekilas, lirikan tajam dari pria itu terarah padaku?

Apa dia melihatku?

Oh, betapa aku berharap dia berjalan ke arahku. Jika dia membuka ruang obrolan untuk penjelasan, mungkin ada sedikit rasa bersalah bersarang di hatinya.

Jika dia mengabaikanku, bertindak seolah tidak melihatku….

Aku harus sadar diri, karena dia tidak menganggapku ada!

Hatiku merasakan sedikit kekecewaan. Karena dia tidak menemuiku. Dia di sana, mengobrol asik dengan teman-temannya.

Aku bisa melihat dua orang wanita dan dua lagi pria di meja yang sama dengannya. Si wanita berambut pirang ombre, terus-terusan tertawa. Lirikan matanya terpaku pada pria menyebalkan itu.

Dan aku? Bodohnya aku, mengarahkan pandangan pada wajah itu. Seolah tidak ada artinya, jarak empat meja yang memisahkan kita. Orang-orang yang duduk di antara kami seperti gambaran blur, yang membuatku hanya bisa fokus pada satu titik.

Satu lirikan dari sudut matanya, berhasil mencuri detak jantungku. Rahangnya sedikit mengencang, di kala kesadaran menyerbu pikirannya. Dengan cepat, pria itu berpaling dengan sedikit menegakkan tubuhnya.

Oh, apa dia melihatku?

Lalu lirikan yang pertama tadi, hanya perasaanku saja?!

Si wanita pirang ombre sedikit menjulurkan leher, melirik ke arahku dengan sorot tajam. Bibirnya menyunggingkan senyum paksa.

Oh, apa mereka membicarakan aku?

Aku menghabiskan sisa kopi. Dengan embusan napas kasar, aku memaksa kaki untuk berdiri dan melangkah pergi.

Entah mengapa, di saat khayalanku berubah nyata, aku jadi takut menemuinya. Aku takut emosiku akan hancur, membuka kembali kisah lama. Mempertanyakan segala asumsi yang masih bergelayut di pikiranku yang masih trauma.

Aku berjalan cepat, sambil memfokuskan pandanganku pada pintu keluar. Sudut mataku menangkap sosok tinggi itu berdiri dan memutar tubuhnya.

“Winona!”

Sial!

Sial!

Apa si brengsek tak tahu rasa bersalah itu memanggil namaku?

Aku mendengus kecil, lalu dengan sikap tak acuh melanjutkan langkah kaki menuju pintu.

Ketika tanganku hendak mendorong pintu kaca, sebuah tepukan pelan di pundak, membuatku terdiam.

“Wio…” panggil suara berat itu dengan nada lembut.

Ught! Mengapa dia begitu keras kepala?

Aku menghela napas berat sebelum memutar tubuh, melirik pria tinggi itu dari sudut mata. “Huh?”

Oke. Reaksiku harus terlihat kaget. Aku harus menunjukkan ekspresi terkejut! Jika tidak, sikapku yang berpura-pura tidak mendengar panggilannya tadi akan ketahuan.

Aku membulatkan mata, sembari menarik napas tajam. “Oh! Jacob!” ujarku dengan nada terkejut. Bibirku sedikit terbuka, memberikan efek ekstra pada ekspresi kaget.

Senyum kecil tertarik di sudut bibirnya yang…

Astaga…

Aku harus menghapus kenangan itu!

Namun aku tidak bisa memungkiri, dia masih meninggalkan bekas yang mendalam di dalam ingatanku.

Pelukan hangatnya di kala hujan. Janji manis yang diucapkan bibir itu. Aku begitu terkecoh. Begitu terlena. Sehingga membiarkannya mencium diriku.

“Aku panggil kamu tadi.”

Aku menggaruk tengkuk yang tidak gatal. “Ah, ya?” ujarku dengan kekehan pelan.

“Gabung yuk, sama anak-anak sinema dulu.”

Anak sinema dulu? Aku menjulurkan leher, mencoba melihat ke balik tubuhnya yang menjulang tinggi di hadapanku.

Waktu mengubah segalanya. Begitupun tampilan teman-teman kuliahku.

Aku tertawa gugup. Kembali menatap wajah menawan hati itu. Mata almond dinaungi bulu mata lentik itu begitu indah. Hidung mancung dan rahang tegas itu mempertegas struktur wajahnya yang rupawan.

Ya, ayahnya orang Jerman. Menyumbangkan genetika yang membentuk struktur asing pada wajah itu. Bukan hanya wajah, postur tubuhnya juga tinggi dan tegap.

Aku memutus kontak mata. Takut jika terlalu lama menatap, akan menciptakan mantra yang tidak bisa membuatku lupa. Karena aku tahu, segala kenangan akan kembali berputar di kepala.

Tiba-tiba ide brilian muncul di pikiran. Aku menguap, lalu mengedipkan mata beberapa kali. “Gue ngantuk. Mau pulang.”

Senyum kecil itu masih setia mengukir wajah rupawan itu. “Hmm… nggak nyangka ketemu kamu di hari pertama aku kembali ke Indonesia.”

Kembali ke Indonesia?

Kalimat itu seperti kata kunci yang membuka sebuah ruangan penuh kenangan. Bukan kenangan yang hangat dan penuh cinta. Namun kenangan suram yang penuh derita.

“Oh?” aku tertawa mengejek. “Gue pikir lu hilang di telan bumi. Alias sudah tertimbun tanah. Tapi…” aku mengibaskan tangan, menunjuk pada tubuh bugar dan atletisnya. “Sehat sekali! Tanpa ada rasa patah hati.”

Senyum kecilnya perlahan memudar. Kedua mata itu menatap seolah ada rasa bersalah. “Sorry ya. Gue nggak maksud…”

Aku mendengus. “Nggak maksud?” selaku. “Lu pikir hati gue apaan? Seharusnya gue sadar, kalau cowok modelan lu nggak bakal pernah menghargai perasaan cewek!”

Keluar sudah emosiku! Bahkan pria ini membuatku menjadi bahan tontonan seisi café! Mereka mendapatkan cuplikan dari hati wanita yang tersakiti oleh f-boy.

Ia menghela napas, “bisa kita bicara? Kasih aku kesempatan untuk mengutarakan…”

“Alasan?” potongku. Emosi ini membuat wajahku memanas.

Wajahnya tertunduk. Sudut bibirnya melengkung sendu. “Kalau kamu berubah pikiran, aku menunggu kamu besok di perpustakaan pusat. Coffee Time.”

Jacob mengulurkan tangannya, membuka pintu kaca untukku.

Ah, sial! Kenapa sikapnya manis begini?

Dan di saat aku marah padanya, dia hanya mendengarkan. Selalu seperti ini!

Aku tahu, dia memang tidak menyukai perdebatan.

Apa Jacob benar-benar merasa bersalah telah meninggalkanku?

Terpopuler

Comments

Wawan

Wawan

Hadir ... ✍️

2023-07-22

1

Aimi.。*♡🌸

Aimi.。*♡🌸

Ceritanya bagus, Thor! Dinanti lanjutannya

2023-07-18

1

EnanaRoja.

EnanaRoja.

Bukan hanya cerita yang membuatku senang, tapi juga cara penulisan yang luar biasa! 🤩

2023-07-17

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!