Sri Langit

Sri Langit

Pertemuan pertama

Alarm ponsel berbunyi tepat sesuai yang di setting oleh pemiliknya. Bunyi yang berasal dari ponsel tersebut merambat masuk kedalam sepasang telinga seorang perempuan. Sontak saja matanya terbuka, memfokuskan penglihatan pada layar ponsel yang baru dapat ditemukannya setelah tangannya meraba-raba di sela-sela bantal dan selimut.

Pukul 04:30, waktu yang tertera di layar ponsel tersebut. Perempuan berambut panjang itu segera menggerakkan tubuhnya untuk bangun. Tangannya menyibak selimut yang melekat di tubuhnya, dan kakinya mulai bergerak turun meninggalkan kasur dan bantal empuk yang akan menggodanya jika berlama-lama di atas sana.

Setelah menyegarkan badan dengan mandi beberapa menit, mengerjakan kewajiban sebagai seorang muslim, perempuan bernama lengkap Sri Langit itu kini sedang berada di dapur. Dia mulai mengerjakan tugasnya sebagai anak pertama perempuan di keluarganya, menggantikan peran ibunya yang sudah lama wafat.

Seperti biasa, jika semua pekerjaan rumah seperti mencuci piring, mencuci baju, hingga membuat sarapan selesai Langit akan membangunkan adik dan Ayahnya yang pastinya masih tertidur lelap.

“Rifa, bangun. Nanti telat ke sekolahnya.” Ucap Langit sedikit berteriak di depan pintu kamar adiknya.

“Ayah, sarapannya udah siap.”

Langit kembali lagi ke kamarnya untuk memakai seragam sekolah, dan memasukkan beberapa buku pelajaran yang sesuai dengan jadwal hari ini kedalam tasnya. Dia pun menuju ke meja makan setelah semua persiapan sekolahnya lengkap. Tujuannya ke meja makan bukan untuk sarapan, melainkan untuk berpamitan kepada Ayahnya.

Semenjak masuk SMA dia tidak pernah sarapan di rumah. Sebab batas waktu masuk sekolah jam 06:45, dia takut jika sarapan di rumah akan membuatnya kesiangan. Namun, dia juga selalu membawa bekal agar tidak perlu membeli makanan di kantin. Bukan karena makanan di sana tidak enak. Hanya saja dia harus menghemat, dan menabungkan uangnya untuk berjaga-jaga jika nanti Ayahnya tidak mendapatkan pekerjaan dalam waktu yang lama.

Setelah kepergian ibunya, keadaan ekonomi keluarga Langit memburuk. Ayahnya di pecat, dan sekarang harus bekerja secara serabutan. Semua uang milik keluarganya habis untuk mengobati ibunya yang harus bolak-balik masuk rumah sakit. Butuh waktu yang lama untuk ibunya berobat. Butuh banyak uang juga untuk membeli obat, dan segala hal yang harus di lakukan ibunya agar bisa sembuh.

Pukul 06:15, Langit sudah berada di sekolah. Karena masih terlalu pagi hanya ada beberapa siswa yang baru datang. Kebanyakan dari mereka akan datang di waktu yang mepet dengan di tutupnya gerbang sekolah. Ada juga yang memang tidak sengaja kesiangan karena jarak dari rumah ke sekolah cukup jauh.

Kelas Langit berada di lantai dua. Dia harus melewati koridor kelas X, di ujung koridor ada dua arah jalan yang menuju kelas XI IPA dan IPS. Dia pun berbelok ke kiri arah menuju kelasnya, XI IPS 3. Ternyata belum ada siapa pun di kelasnya. Karena hari ini Rabu, jadi Langit harus menyapu kelas sesuai jadwal piket yang sudah di tentukan. Kondisi kelasnya benar-benar berantakan. Ada banyak botol plastik di atas meja, dan sampah yang kebanyakan berada di bawah meja laki-laki.

Saat hendak mengambil sapu ada tangan yang mencekal lengannya. Dia tersentak, kepalanya menoleh ke kanan. Terlihat ada seorang laki-laki berkacamata yang sedang menatapnya.

“Langit, Gue mau bicara, Tapi bukan di sini.”

...•••••...

Langit menatap sekeliling, suasananya terlihat sepi membuatnya bisa bernapas lega. Sekarang mereka berdua sedang berada di taman yang terlihat hijau karena banyak ditumbuhi pepohonan. Di sepanjang perjalanan menuju ke tempat ini Langit mendapatkan tatapan dari banyak orang karena berjalan berdua bersama seorang primadona sekolah. Tatapan mereka mengisyaratkan ketidaksukaan, dan mereka juga saling berbisik yang tidak baik tentang Langit.

“Langit, Gue suka sama Lo.” Ungkap laki-laki berkacamata tersebut.

Langit pun terdiam, tidak bersuara. Dia menatap tidak percaya pada laki-laki yang merupakan ketua kelasnya. Langit merasa dirinya biasa saja, tidak ada yang spesial dalam dirinya. Bahkan dia adalah murid pendiam. Dia tidak mudah bergaul dan tidak memiliki banyak teman. Jadi, menurutnya tidak akan ada laki-laki yang menyukainya. Apalagi laki-laki di hadapannya ini adalah primadona sekolah.

Ibra Saptajingga, nama yang hampir seluruh penduduk sekolah mengenalnya. Seorang murid akan di kenal oleh murid lain jika memiliki paras yang sempurna, prestasi akademik maupun non-akademik, atau berandalan yang selalu melanggar aturan sekolah. Dari semua kriteria itu Ibra termasuk ke dalam murid yang berprestasi dalam akademik, dan memiliki wajah yang rupawan. Terlebih lagi sekarang dia menjabat sebagai ketua OSIS.

“Lo mau enggak jadi pacar Gue?”

Langit masih enggan untuk berbicara ataupun menjawab pertanyaan tersebut. Dia tidak ingin membuat laki-laki itu kecewa karena jawabannya. Tapi dia juga tidak bisa membohongi perasaannya.

“Maaf, Ibra.”

Dua kata yang keluar dari mulut Langit dapat langsung di pahami oleh otak Ibra.

“Iya enggak apa-apa.” Ibra mengangguk lesu, tapi masih menampilkan senyum manis di bibirnya.

“Kita bisa jadi teman,” Usul Langit agar membuat Ibra tidak bersedih karena perasaannya di tolak.

“Iya kita bisa temenan, kalau gitu Gue ke kelas.” Pamitnya pada Langit sambil mengelus rambut perempuan itu.

Langit menghentikan langkah kakinya. Netra hitamnya tidak sengaja melihat ada asap di belakang pohon besar. Karena merasa ada yang aneh dia pun berbalik arah menuju asap itu berasal.

“Kamu merokok," tuduh Langit pada laki-laki yang sedang duduk di bawah pohon rindang.

Laki-laki itu melirik sekilas perempuan di hadapannya. Lantas pandangannya beralih lagi pada layar ponsel di tangannya. Dia tampak acuh walaupun sudah tertangkap basah.

“Kamu gak boleh sembarangan merokok di area sekolah. Aku bisa laporin kamu ke guru.” Langit selaku siswa yang taat kepada aturan sekolah memperingati laki-laki tersebut.

Laki-laki itu mendengus sebal, waktu ketika dirinya ingin sendiri di ganggu oleh perempuan yang tidak dia kenal. Lantas dia berdiri, membuang rokoknya yang kemudian dia injak. Dengan wajah datarnya dia terus menerus memperhatikan Langit dari atas sampai bawah.

Langit menundukkan kepalanya saat mendapatkan tatapan tajam dari laki-laki itu. Dia sangat menyesal oleh perbuatannya sendiri. Sekarang dia harus berhadapan dengan laki-laki yang berbahaya. Di lihat dari penampilannya saja sudah seperti berandalan. Dengan seragam yang tidak di kancingkan sehingga memperlihatkan kaos hitam, itulah penampilannya sekarang.

“Gue juga bisa sebarin video Lo sama cowok tadi.” Ancam cowok itu sambil memainkan ponselnya.

Langit yang mendengar itu sontak saja merebut ponsel tersebut. Dia tidak ingin video dirinya bersama Ibra yang memegang tangannya tersebar.

“Balikin.”

Langit menyembunyikan ponsel itu di belakang tubuhnya. “Aku enggak akan laporin kamu ke guru. Asalkan kamu juga enggak akan sebarin videonya.”

“Iya, balikin ponsel Gue.”

“Sebentar, aku harus hapus videonya dulu. Karena aku enggak percaya sama perkataan kamu.” Langit mulai menghidupkan ponsel tersebut. Ternyata dia harus memasukkan sandi terlebih dahulu untuk membukanya.

“Sandinya apa?”

Laki-laki itu menghela napas, menatap jengah pada perempuan di depannya.

“Biar Gue aja," dia pun merebut paksa ponselnya. Jarinya terus bergerak di layar ponsel seakan sedang menghapus sesuatu. Padahal sebenarnya tidak pernah ada video Langit dan Ibra di galerinya. Itu semua hanya kebohongan, agar Langit takut oleh ancamannya.

“Puas, Lo.” Ucapnya kesal sambil memperlihatkan layar ponselnya di depan wajah Langit.

...•••••...

Pada jam 10:00 bel sekolah berbunyi menandakan waktu \*\*\* (Kegiatan Belajar Mengajar) selesai, dan di gantikan dengan istirahat selama tiga puluh menit. Para siswa-siswi berhamburan keluar dari kelas masing-masing menuju satu tempat, kantin.

Di dalam kelas 11 IPS 3. Masih ada beberapa orang di kelas tersebut yang sedang sibuk dengan urusannya masing-masing. Salah satunya adalah Langit. Sekarang dia sedang mencatat materi Matematika di papan tulis. Sesekali matanya melirik pada sekelompok perempuan yang sedang merias wajah.

“Kita mau kerja kelompok di mana?” Langit memberanikan diri untuk bertanya pada mereka. Karena sedari tadi mereka selalu diam, tidak pernah menjawab pertanyaan dari Langit. Padahal biasanya mereka akan terlebih dulu mengajak Langit mengobrol.

Tidak ada yang menjawab pertanyaan dari Langit. Mereka sibuk mengobrol tanpa melibatkan Langit. Seakan tidak ada sosok Langit di dalam kelas.

“Mira, Lo beli lipstik ini di mana?” Tanya perempuan berbando kuning yang sedang bercermin, mengoleskan lipstik pada bibirnya.

“Itu punya nyokap Gue.” Jawab Mira masih fokus menjepit bulu matanya menggunakan *eyelash curler*.

“Nanti tanya ke nyokap Lo beli di mana.”

“Siap, Putri Sofia.”

Sofia menatap heran pada teman satunya lagi yang sedari tadi terlihat grasah-grusuh. “Nadia, Lo lagi cari apa?”

“Sisir Gue hilang.” Jawabnya panik sambil mengeluarkan semua isi dalam Tote bag, “akhirnya ketemu juga.” Ucapnya lega telah menemukan sisirnya yang terselip dalam buku.

Langit bangkit dari tempat duduknya, berjalan menuju meja di depannya. “Kalian kenapa diemin aku?”

Tidak ada yang menjawab. Langit menghela napas sejenak, kemudian mulai bertanya lagi. “Aku salah apa?”

Brakk

Suara gebrakan meja terdengar nyaring, menembus ke luar kelas. Membuat orang-orang yang berlalu lalang di depan kelas tersebut terperanjat kaget. Untungnya di kelas hanya ada Langit dan ketiga perempuan tersebut.

“Jangan pura-pura polos, Lo itu penghianat!” Bentak Mira menggelegar dalam ruang kelas.

“Katanya temen, tapi nusuk dari belakang.” Sindir Nadia tertuju pada Langit.

“Maaf Langit, kesalahan Lo udah gak bisa kita maafkan.” Ucap Sofia tenang, tanpa menunjukkan amarah tidak seperti kedua temannya.

“Harusnya kalian jelasin di mana letak kesalahan aku.” Keluh Langit, menatap sendu pada mereka bertiga.

“Ini kesalahan Lo.”

Langit menatap layar ponsel yang ada di tangan Nadia. Matanya membulat saat melihat video dua orang remaja, Langit dan Ibra. Video itu di ambil saat Ibra memegang tangan Langit, dan ada satu video lagi saat Ibra mengelus rambutnya.

“Ini gak seperti yang kalian pikirkan. Aku sama Ibra--“

“Gue gak butuh penjelasan Lo! Di dalam video itu udah sangat jelas, kalau Lo punya hubungan sama dia.” Cecar Mira penuh emosi, memotong penjelasan dari Langit.

“Selama ini Lo pasti tahu, kalau Mira suka sama Ibra udah dari dulu. Dan Lo yang selalu jadi tempat curhat untuk Mira, mengenai segala hal tentang Ibra. Jadi, seharusnya Lo introspeksi diri.” Tutur Sofia mengakhiri perdebatan mereka.

“Tapi aku beneran gak ada hubungan apa-apa sama Ibra.” Lirih langit, sudah tidak dapat di dengar oleh mereka yang mulai menjauh dari kelas.

“Langit.”

Dia menoleh ke belakang, arah suara tersebut berasal. “Iya, kenapa Nay?”

“Tolong bawain buku ini ke meja Bu Farida, ya. Gue sama Ibra ada rapat OSIS.” Pinta Naya selaku wakil ketua kelas.

Langit mengangguk sebagai jawaban, matanya melirik pada tumpukan buku tugas Matematika di meja guru. Jumlah bukunya lumayan banyak. Lantas dia membereskan alat tulisnya dan memasukkannya ke dalam tas.

Dia melirik ke segala arah, tidak ada orang di dalam kelas. Dia harus membawa semua buku itu sendiri. Kedua tangan mungilnya mulai memangku buku-buku. Kakinya terus melangkah semakin jauh dari kelas. Dia harus Menuruni tangga, melewat lapangan olahraga, dan juga koridor kelas sepuluh.

Di tengah perjalanan menuju kantor guru, langkahnya terhenti. Saat tiba-tiba ada bola basket yang menghantam kepalanya. Pandangannya mulai buram, badannya sempoyongan, dan kakinya sudah tidak bisa menopang tubuhnya. Langit pingsan, semua bukunya berserakan.

Seorang lelaki bertubuh tinggi menghampiri Langit. Menatapnya dengan datar. Dari balik punggungnya ada suara seseorang mendekat.

“Gio, lama banget Lo Cuma ambil bola.” Omel lelaki dengan gaya rambut Fringe Haircut, matanya melirik mengikuti arah tatapan Gio.

“Inalillahi.” Wajahnya kaget, saat melihat seorang perempuan yang tergeletak.

“Siapa yang meninggal?” Tanya seorang lelaki yang baru saja datang menghampiri mereka berdua.

Tidak ada yang menjawab, lelaki dengan rambut gondrong itu terus bertanya karena masih penasaran. “Cewek itu meninggal?”

“Sembarangan, enggak ada yang meninggal.”

“Akhh, sakit bego. Terus kenapa Lo ngucapin kalimat tarji?!” Lelaki berkulit putih itu meringis, menahan sakit di belakang kepala akibat geplakan dari temannya.

“Enggak semua kalimat tarji itu untuk orang meninggal. Tapi bisa juga untuk orang yang sedang terkena musibah.” Jelas lelaki bergaya rambut Fringe Haircut, berkulit sawo matang yang bernama Hariz.

“Terus itu cewek kenapa?” Tanya lelaki bernama Wama sambil mengelus belakang kepalanya yang masih terasa sakit.

“Pingsan.” Suara jawaban itu berasal dari lelaki dengan wajah datar, Gio.

“Ini pasti karena bola yang Lo lempar tadi. Cepetan tolongin, bawa ke UKS.” Hariz mendorong bahu Gio, memaksanya untuk segera menggendong perempuan tersebut.

“Gue?"

“Iyalah, masa pak Harto yang suruh gendong. Ini kan kesalahan Lo.” Kesal Hariz, gemas melihat kelakuan temannya.

Terpopuler

Comments

Erni Fitriana

Erni Fitriana

ku langsung tandain pas baca detail nya....up ceritanya yg rutin y thor...biar gak ngegantung n bikin penasaran reader

2023-10-14

0

Raudatul zahra

Raudatul zahra

haii thor,, aku baru baca niih..
opening yg bagus thorr.. kayaknya seru juga cerita nya..
aku lanjut baca dulu yaa..

semangat berkarya thoorr 💪💪🤗

2023-09-24

1

calliga

calliga

Semangat author, sukses selalu ya!

2023-07-15

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!