Alarm ponsel berbunyi tepat sesuai yang di setting oleh pemiliknya. Bunyi yang berasal dari ponsel tersebut merambat masuk kedalam sepasang telinga seorang perempuan. Sontak saja matanya terbuka, memfokuskan penglihatan pada layar ponsel yang baru dapat ditemukannya setelah tangannya meraba-raba di sela-sela bantal dan selimut.
Pukul 04:30, waktu yang tertera di layar ponsel tersebut. Perempuan berambut panjang itu segera menggerakkan tubuhnya untuk bangun. Tangannya menyibak selimut yang melekat di tubuhnya, dan kakinya mulai bergerak turun meninggalkan kasur dan bantal empuk yang akan menggodanya jika berlama-lama di atas sana.
Setelah menyegarkan badan dengan mandi beberapa menit, mengerjakan kewajiban sebagai seorang muslim, perempuan bernama lengkap Sri Langit itu kini sedang berada di dapur. Dia mulai mengerjakan tugasnya sebagai anak pertama perempuan di keluarganya, menggantikan peran ibunya yang sudah lama wafat.
Seperti biasa, jika semua pekerjaan rumah seperti mencuci piring, mencuci baju, hingga membuat sarapan selesai Langit akan membangunkan adik dan Ayahnya yang pastinya masih tertidur lelap.
“Rifa, bangun. Nanti telat ke sekolahnya.” Ucap Langit sedikit berteriak di depan pintu kamar adiknya.
“Ayah, sarapannya udah siap.”
Langit kembali lagi ke kamarnya untuk memakai seragam sekolah, dan memasukkan beberapa buku pelajaran yang sesuai dengan jadwal hari ini kedalam tasnya. Dia pun menuju ke meja makan setelah semua persiapan sekolahnya lengkap. Tujuannya ke meja makan bukan untuk sarapan, melainkan untuk berpamitan kepada Ayahnya.
Semenjak masuk SMA dia tidak pernah sarapan di rumah. Sebab batas waktu masuk sekolah jam 06:45, dia takut jika sarapan di rumah akan membuatnya kesiangan. Namun, dia juga selalu membawa bekal agar tidak perlu membeli makanan di kantin. Bukan karena makanan di sana tidak enak. Hanya saja dia harus menghemat, dan menabungkan uangnya untuk berjaga-jaga jika nanti Ayahnya tidak mendapatkan pekerjaan dalam waktu yang lama.
Setelah kepergian ibunya, keadaan ekonomi keluarga Langit memburuk. Ayahnya di pecat, dan sekarang harus bekerja secara serabutan. Semua uang milik keluarganya habis untuk mengobati ibunya yang harus bolak-balik masuk rumah sakit. Butuh waktu yang lama untuk ibunya berobat. Butuh banyak uang juga untuk membeli obat, dan segala hal yang harus di lakukan ibunya agar bisa sembuh.
Pukul 06:15, Langit sudah berada di sekolah. Karena masih terlalu pagi hanya ada beberapa siswa yang baru datang. Kebanyakan dari mereka akan datang di waktu yang mepet dengan di tutupnya gerbang sekolah. Ada juga yang memang tidak sengaja kesiangan karena jarak dari rumah ke sekolah cukup jauh.
Kelas Langit berada di lantai dua. Dia harus melewati koridor kelas X, di ujung koridor ada dua arah jalan yang menuju kelas XI IPA dan IPS. Dia pun berbelok ke kiri arah menuju kelasnya, XI IPS 3. Ternyata belum ada siapa pun di kelasnya. Karena hari ini Rabu, jadi Langit harus menyapu kelas sesuai jadwal piket yang sudah di tentukan. Kondisi kelasnya benar-benar berantakan. Ada banyak botol plastik di atas meja, dan sampah yang kebanyakan berada di bawah meja laki-laki.
Saat hendak mengambil sapu ada tangan yang mencekal lengannya. Dia tersentak, kepalanya menoleh ke kanan. Terlihat ada seorang laki-laki berkacamata yang sedang menatapnya.
“Langit, Gue mau bicara, Tapi bukan di sini.”
...•••••...
Langit menatap sekeliling, suasananya terlihat sepi membuatnya bisa bernapas lega. Sekarang mereka berdua sedang berada di taman yang terlihat hijau karena banyak ditumbuhi pepohonan. Di sepanjang perjalanan menuju ke tempat ini Langit mendapatkan tatapan dari banyak orang karena berjalan berdua bersama seorang primadona sekolah. Tatapan mereka mengisyaratkan ketidaksukaan, dan mereka juga saling berbisik yang tidak baik tentang Langit.
“Langit, Gue suka sama Lo.” Ungkap laki-laki berkacamata tersebut.
Langit pun terdiam, tidak bersuara. Dia menatap tidak percaya pada laki-laki yang merupakan ketua kelasnya. Langit merasa dirinya biasa saja, tidak ada yang spesial dalam dirinya. Bahkan dia adalah murid pendiam. Dia tidak mudah bergaul dan tidak memiliki banyak teman. Jadi, menurutnya tidak akan ada laki-laki yang menyukainya. Apalagi laki-laki di hadapannya ini adalah primadona sekolah.
Ibra Saptajingga, nama yang hampir seluruh penduduk sekolah mengenalnya. Seorang murid akan di kenal oleh murid lain jika memiliki paras yang sempurna, prestasi akademik maupun non-akademik, atau berandalan yang selalu melanggar aturan sekolah. Dari semua kriteria itu Ibra termasuk ke dalam murid yang berprestasi dalam akademik, dan memiliki wajah yang rupawan. Terlebih lagi sekarang dia menjabat sebagai ketua OSIS.
“Lo mau enggak jadi pacar Gue?”
Langit masih enggan untuk berbicara ataupun menjawab pertanyaan tersebut. Dia tidak ingin membuat laki-laki itu kecewa karena jawabannya. Tapi dia juga tidak bisa membohongi perasaannya.
“Maaf, Ibra.”
Dua kata yang keluar dari mulut Langit dapat langsung di pahami oleh otak Ibra.
“Iya enggak apa-apa.” Ibra mengangguk lesu, tapi masih menampilkan senyum manis di bibirnya.
“Kita bisa jadi teman,” Usul Langit agar membuat Ibra tidak bersedih karena perasaannya di tolak.
“Iya kita bisa temenan, kalau gitu Gue ke kelas.” Pamitnya pada Langit sambil mengelus rambut perempuan itu.
Langit menghentikan langkah kakinya. Netra hitamnya tidak sengaja melihat ada asap di belakang pohon besar. Karena merasa ada yang aneh dia pun berbalik arah menuju asap itu berasal.
“Kamu merokok," tuduh Langit pada laki-laki yang sedang duduk di bawah pohon rindang.
Laki-laki itu melirik sekilas perempuan di hadapannya. Lantas pandangannya beralih lagi pada layar ponsel di tangannya. Dia tampak acuh walaupun sudah tertangkap basah.
“Kamu gak boleh sembarangan merokok di area sekolah. Aku bisa laporin kamu ke guru.” Langit selaku siswa yang taat kepada aturan sekolah memperingati laki-laki tersebut.
Laki-laki itu mendengus sebal, waktu ketika dirinya ingin sendiri di ganggu oleh perempuan yang tidak dia kenal. Lantas dia berdiri, membuang rokoknya yang kemudian dia injak. Dengan wajah datarnya dia terus menerus memperhatikan Langit dari atas sampai bawah.
Langit menundukkan kepalanya saat mendapatkan tatapan tajam dari laki-laki itu. Dia sangat menyesal oleh perbuatannya sendiri. Sekarang dia harus berhadapan dengan laki-laki yang berbahaya. Di lihat dari penampilannya saja sudah seperti berandalan. Dengan seragam yang tidak di kancingkan sehingga memperlihatkan kaos hitam, itulah penampilannya sekarang.
“Gue juga bisa sebarin video Lo sama cowok tadi.” Ancam cowok itu sambil memainkan ponselnya.
Langit yang mendengar itu sontak saja merebut ponsel tersebut. Dia tidak ingin video dirinya bersama Ibra yang memegang tangannya tersebar.
“Balikin.”
Langit menyembunyikan ponsel itu di belakang tubuhnya. “Aku enggak akan laporin kamu ke guru. Asalkan kamu juga enggak akan sebarin videonya.”
“Iya, balikin ponsel Gue.”
“Sebentar, aku harus hapus videonya dulu. Karena aku enggak percaya sama perkataan kamu.” Langit mulai menghidupkan ponsel tersebut. Ternyata dia harus memasukkan sandi terlebih dahulu untuk membukanya.
“Sandinya apa?”
Laki-laki itu menghela napas, menatap jengah pada perempuan di depannya.
“Biar Gue aja," dia pun merebut paksa ponselnya. Jarinya terus bergerak di layar ponsel seakan sedang menghapus sesuatu. Padahal sebenarnya tidak pernah ada video Langit dan Ibra di galerinya. Itu semua hanya kebohongan, agar Langit takut oleh ancamannya.
“Puas, Lo.” Ucapnya kesal sambil memperlihatkan layar ponselnya di depan wajah Langit.
...•••••...
Pada jam 10:00 bel sekolah berbunyi menandakan waktu \*\*\* (Kegiatan Belajar Mengajar) selesai, dan di gantikan dengan istirahat selama tiga puluh menit. Para siswa-siswi berhamburan keluar dari kelas masing-masing menuju satu tempat, kantin.
Di dalam kelas 11 IPS 3. Masih ada beberapa orang di kelas tersebut yang sedang sibuk dengan urusannya masing-masing. Salah satunya adalah Langit. Sekarang dia sedang mencatat materi Matematika di papan tulis. Sesekali matanya melirik pada sekelompok perempuan yang sedang merias wajah.
“Kita mau kerja kelompok di mana?” Langit memberanikan diri untuk bertanya pada mereka. Karena sedari tadi mereka selalu diam, tidak pernah menjawab pertanyaan dari Langit. Padahal biasanya mereka akan terlebih dulu mengajak Langit mengobrol.
Tidak ada yang menjawab pertanyaan dari Langit. Mereka sibuk mengobrol tanpa melibatkan Langit. Seakan tidak ada sosok Langit di dalam kelas.
“Mira, Lo beli lipstik ini di mana?” Tanya perempuan berbando kuning yang sedang bercermin, mengoleskan lipstik pada bibirnya.
“Itu punya nyokap Gue.” Jawab Mira masih fokus menjepit bulu matanya menggunakan *eyelash curler*.
“Nanti tanya ke nyokap Lo beli di mana.”
“Siap, Putri Sofia.”
Sofia menatap heran pada teman satunya lagi yang sedari tadi terlihat grasah-grusuh. “Nadia, Lo lagi cari apa?”
“Sisir Gue hilang.” Jawabnya panik sambil mengeluarkan semua isi dalam Tote bag, “akhirnya ketemu juga.” Ucapnya lega telah menemukan sisirnya yang terselip dalam buku.
Langit bangkit dari tempat duduknya, berjalan menuju meja di depannya. “Kalian kenapa diemin aku?”
Tidak ada yang menjawab. Langit menghela napas sejenak, kemudian mulai bertanya lagi. “Aku salah apa?”
Brakk
Suara gebrakan meja terdengar nyaring, menembus ke luar kelas. Membuat orang-orang yang berlalu lalang di depan kelas tersebut terperanjat kaget. Untungnya di kelas hanya ada Langit dan ketiga perempuan tersebut.
“Jangan pura-pura polos, Lo itu penghianat!” Bentak Mira menggelegar dalam ruang kelas.
“Katanya temen, tapi nusuk dari belakang.” Sindir Nadia tertuju pada Langit.
“Maaf Langit, kesalahan Lo udah gak bisa kita maafkan.” Ucap Sofia tenang, tanpa menunjukkan amarah tidak seperti kedua temannya.
“Harusnya kalian jelasin di mana letak kesalahan aku.” Keluh Langit, menatap sendu pada mereka bertiga.
“Ini kesalahan Lo.”
Langit menatap layar ponsel yang ada di tangan Nadia. Matanya membulat saat melihat video dua orang remaja, Langit dan Ibra. Video itu di ambil saat Ibra memegang tangan Langit, dan ada satu video lagi saat Ibra mengelus rambutnya.
“Ini gak seperti yang kalian pikirkan. Aku sama Ibra--“
“Gue gak butuh penjelasan Lo! Di dalam video itu udah sangat jelas, kalau Lo punya hubungan sama dia.” Cecar Mira penuh emosi, memotong penjelasan dari Langit.
“Selama ini Lo pasti tahu, kalau Mira suka sama Ibra udah dari dulu. Dan Lo yang selalu jadi tempat curhat untuk Mira, mengenai segala hal tentang Ibra. Jadi, seharusnya Lo introspeksi diri.” Tutur Sofia mengakhiri perdebatan mereka.
“Tapi aku beneran gak ada hubungan apa-apa sama Ibra.” Lirih langit, sudah tidak dapat di dengar oleh mereka yang mulai menjauh dari kelas.
“Langit.”
Dia menoleh ke belakang, arah suara tersebut berasal. “Iya, kenapa Nay?”
“Tolong bawain buku ini ke meja Bu Farida, ya. Gue sama Ibra ada rapat OSIS.” Pinta Naya selaku wakil ketua kelas.
Langit mengangguk sebagai jawaban, matanya melirik pada tumpukan buku tugas Matematika di meja guru. Jumlah bukunya lumayan banyak. Lantas dia membereskan alat tulisnya dan memasukkannya ke dalam tas.
Dia melirik ke segala arah, tidak ada orang di dalam kelas. Dia harus membawa semua buku itu sendiri. Kedua tangan mungilnya mulai memangku buku-buku. Kakinya terus melangkah semakin jauh dari kelas. Dia harus Menuruni tangga, melewat lapangan olahraga, dan juga koridor kelas sepuluh.
Di tengah perjalanan menuju kantor guru, langkahnya terhenti. Saat tiba-tiba ada bola basket yang menghantam kepalanya. Pandangannya mulai buram, badannya sempoyongan, dan kakinya sudah tidak bisa menopang tubuhnya. Langit pingsan, semua bukunya berserakan.
Seorang lelaki bertubuh tinggi menghampiri Langit. Menatapnya dengan datar. Dari balik punggungnya ada suara seseorang mendekat.
“Gio, lama banget Lo Cuma ambil bola.” Omel lelaki dengan gaya rambut Fringe Haircut, matanya melirik mengikuti arah tatapan Gio.
“Inalillahi.” Wajahnya kaget, saat melihat seorang perempuan yang tergeletak.
“Siapa yang meninggal?” Tanya seorang lelaki yang baru saja datang menghampiri mereka berdua.
Tidak ada yang menjawab, lelaki dengan rambut gondrong itu terus bertanya karena masih penasaran. “Cewek itu meninggal?”
“Sembarangan, enggak ada yang meninggal.”
“Akhh, sakit bego. Terus kenapa Lo ngucapin kalimat tarji?!” Lelaki berkulit putih itu meringis, menahan sakit di belakang kepala akibat geplakan dari temannya.
“Enggak semua kalimat tarji itu untuk orang meninggal. Tapi bisa juga untuk orang yang sedang terkena musibah.” Jelas lelaki bergaya rambut Fringe Haircut, berkulit sawo matang yang bernama Hariz.
“Terus itu cewek kenapa?” Tanya lelaki bernama Wama sambil mengelus belakang kepalanya yang masih terasa sakit.
“Pingsan.” Suara jawaban itu berasal dari lelaki dengan wajah datar, Gio.
“Ini pasti karena bola yang Lo lempar tadi. Cepetan tolongin, bawa ke UKS.” Hariz mendorong bahu Gio, memaksanya untuk segera menggendong perempuan tersebut.
“Gue?"
“Iyalah, masa pak Harto yang suruh gendong. Ini kan kesalahan Lo.” Kesal Hariz, gemas melihat kelakuan temannya.
Layar ponsel yang menyala menampilkan adegan-adegan pertarungan tokoh dalam sebuah film. Namun, sepertinya orang yang sedang menonton film tersebut tidak tertarik dengan alur cerita, ataupun percakapan antar tokoh. Matanya lebih tertarik pada Langit malam penuh bintang yang berkelip. Pikirannya dipenuhi oleh adegan-adegan tadi siang saat dirinya di sekolah. Dia merasa bersalah jika mengingat lagi kejadian itu.
...***...
*Di ruang serba putih terdapat dua orang remaja*.
*Saat seorang laki-laki yang membuat Langit pingsan ingin membaringkan tubuh perempuan itu di brankar UKS, tiba-tiba saja ada tangan yang menampar pipi kirinya*.
“*Apa yang kamu lakuin*?!”
*Tamparan yang di dapatkan laki-laki itu berasal dari tangan Langit yang sudah sadar dari pingsannya. Sepertinya dia salah paham terhadap laki-laki di hadapannya*.
“*Gue Cuma tolongin Lo yang tadi pingsan. Jangan mikir yang aneh-aneh*.”
*Langit tidak mungkin bisa berprasangka baik saat dia bangun tiba-tiba ada wajah laki-laki yang begitu dekat dengan wajahnya*.
“*Kamu pasti yang udah sebarin video itu, kan?” Tuduh Langit begitu sadar bahwa orang di depannya ini adalah laki-laki yang tadi pagi ketahuan merokok olehnya*.
“*Maksud Lo apa*?”
“*Jangan pura-pura enggak tahu. Kamu yang udah sebarin video aku sama Ibra waktu di taman*.”
*Laki-laki itu akhirnya paham apa yang di bicarakan oleh Langit. “Perkataan tanpa di sertai bukti, enggak akan di percayai sebagai fakta*.”
“*Tapi kenapa video itu ada di temen aku*?”
“*Gue enggak kenal sama Lo, apalagi temen Lo. Mungkin bukan Gue aja yang ada di taman waktu itu*.”
*Benar, Langit tidak bisa menuduh orang lain sembarangan tanpa adanya bukti. Bisa saja pada saat di taman memang ada orang lain selain laki-laki yang berpakaian berantakan di hadapannya ini*.
“*Padahal udah Gue tolongin. Harusnya bilang makasih, bukan nuduh sembarangan*.”
...***...
Notifikasi pesan menyadarkan Langit dari lamunannya. Dia baru sadar bahwa film yang tadi di tontonnya sudah selesai. Jarinya menekan notifikasi tersebut yang langsung menampilkan percakapan dalam grup bernama Kimia XI IPS 3. Ada satu pesan yang membuatnya terkejut.
Bu Vivi : Selamat malam anak-anak. Jangan lupa kerjakan 5 pertanyaan esai yang ibu berikan minggu kemarin. Jika ada yang tidak mengerjakan akan ibu keluarkan saat pembelajaran.
Gawat, Langit benar-benar lupa jika ada tugas kimia. Dia bahkan sama sekali belum mengerjakan tugas tersebut. Beruntungnya Bu Vivi mengingatkan, dan masih ada waktu baginya untuk mengerjakan.
Walaupun pertanyaannya hanya lima saja, tetapi jawaban dari pertanyaan tersebut akan sangat panjang. Karena Bu Vivi adalah guru yang teliti. Setiap pertanyaan harus di jawab sedetail dan sejelas mungkin. Jika ada yang kurang jelas maka Bu Vivi akan bertanya, “ kenapa hasilnya seperti ini? Coba jelaskan!” Sampai mereka bisa menjelaskan dengan benar Bu Vivi tidak akan membiarkannya duduk.
Buku tulis yang tadinya kosong kini sudah terisi sebagian oleh rumus-rumus serta penjelasannya. Langit bernapas lega. Materi yang ada dalam pertanyaan tersebut sudah di kuasainya. Jadi, selama mengerjakan dia tidak menemukan kesulitan sedikit pun.
...•••••...
Sinar mentari pagi menerobos masuk melewati kaca jendela. Sinarnya menerpa wajah Langit, membangunkan dia dari tidur lelapnya. Dia pun mencoba membuka matanya yang terasa berat. Saat kesadarannya terkumpul, Langit mulai panik melihat jam di atas dinding menunjukkan pukul 06:10.
Dia kesiangan untuk pertama kalinya. Pantas saja dia tidak mendengar dering alarm karena ternyata dia lupa menyetel ulang alarm di ponselnya. Bahkan dia tidak sadar bisa tertidur di meja belajar yang membuat seluruh tubuhnya terasa sakit. Bukan hanya itu saja, dia juga lupa menutup gorden dari sejak semalam.
Langit berusaha semaksimal mungkin untuk bisa datang sebelum gerbang sekolah di tutup. Namun, sebanyak apa pun usahanya tidak bisa membuatnya datang tepat waktu. Walaupun selama perjalanan dia mengemudikan motor dengan kecepatan penuh, melewati jalan pintas, tepat saja dia masuk kedalam daftar siswa yang telat.
Di lapangan upacara ada enam orang siswa yang sedang berjejer sambil hormat menghadap ke tiang bendera. Empat diantaranya adalah laki-laki yang merupakan kakak kelas, dan dua orang perempuan termasuk Langit sendiri yang sepertinya mereka seangkatan.
Lima belas menit sudah berlalu. Mereka yang di hukum karena terlambat pun akhirnya di bubarkan. Langit kemudian mengambil tasnya dari anggota OSIS. Dia pun melanjutkan perjalanan yang terpaksa terhenti menuju ke kelasnya.
“Sebelum memulai pembelajaran, kumpulkan dulu tugas minggu kemarin.” Perintah Bu Vivi saat memasuki kelas.
Ada banyak anak yang protes karena soalnya terlalu susah. Ada yang pasrah jika harus di hukum karena tidak mengerjakan tugas. Dan ada juga yang diam-diam menyalin tugas milik teman sebangkunya, walaupun pastinya tidak akan sempat untuk menyelesaikan semuanya. “Lebih baik mengerjakan sedikit, daripada tidak sama sekali.” Perkataan yang selalu di ucapkan Bu Vivi saat murid-muridnya tidak mengerjakan tugas sepertinya di ingat jelas oleh mereka.
“Angkat tangan bagi yang tidak mengerjakan.”
Beberapa anak mulai mengangkat tangan termasuk Langit. Dia sebenarnya sudah menyelesaikan tugas tersebut. Akan tetapi, buku yang berisi tugas kimia itu tidak ada di dalam tasnya. Sedari tadi dia sudah berusaha mengeluarkan seluruh isi dalam tas, tapi bukunya benar-benar tidak ada di dalam sana. Sepertinya karena takut terlambat dia lupa untuk memasukkan buku tugas kimianya.
"Bu, saya sebenarnya sudah mengerjakan tugas. Tapi buku saya ketinggalan di rumah.” Ungkap Langit yang menjadi alasannya mengangkat tangan.
“Maaf, Langit. Karena buku kamu tidak ada, maka kamu harus tetap keluar dari kelas walaupun sudah mengerjakan tugas.” Jelas Bu Vivi yang membuat Langit menghela napas pasrah, dia tidak bisa protes.
Dengan berat hati Langit melangkah keluar meninggalkan kelas, tidak bisa mengikuti pembelajaran. Dia ingin menenangkan diri. Karena itu dia memilih untuk menghabiskan waktunya di dalam perpustakaan. Di kelilingi banyak buku akan membuat hati dan pikirannya tenang.
Di tengah perjalanan menuju perpustakaan, Langit tersandung oleh tali sepatunya sendiri yang membuatnya tidak sengaja menabrak tubuh seorang laki-laki. Dan menyebabkan ponsel milik orang tersebut terjatuh ke lantai, menimbulkan suara nyaring di tengah koridor yang lengang.
Langit memberikan ponsel yang sudah rusak itu ke pemiliknya dengan wajah yang menunduk. “Maaf, aku enggak sengaja. Tapi tenang aja aku bakal tanggung jawab.”
Tiba-tiba tubuh Langit tertarik ke depan karena lengannya di cekal oleh laki-laki di hadapannya yang mulai berjalan.
“Kita mau ke mana?”
Laki-laki bertubuh tinggi itu menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang. “Katanya Lo mau tanggung jawab, kan?”
Lagi-lagi Langit harus berurusan dengan laki-laki berpakaian berantakan yang pernah di tamparnya.
Saat ini Langit tidak tahu laki-laki itu akan membawanya ke mana. Namun, pastinya tidak ada yang tahu bahwa mereka berdua yang seharusnya belajar di dalam kelas malah membolos keluar melewati gerbang belakang.
Mereka berhenti tepat di depan tempat servis ponsel yang jaraknya sekitar dua puluh meter dari sekolah.
Laki-laki itu menyodorkan ponselnya pada penjaga toko. “Mas, servis ponsel ini harganya berapa?”
“Karena ini ponsel keluaran terbaru kira-kira sekitar 1,5 jutaan.” Jawab penjaga toko sambil meneliti setiap inci dari ponsel itu.
“Karena Lo udah tahu harganya, jadi Gue minta uangnya.”
Langit panik saat mendengar permintaan dari laki-laki itu. “Kalau sekarang aku enggak punya uang sebanyak itu. Aku janji akan ganti rugi dengan cara di cicil."
“Enggak mau.”
“Kamu harus percaya sama aku. Karena aku enggak mungkin lari dari tanggung jawab, apalagi kita satu sekolah. Atau kamu bisa ambil ponsel aku dulu sebagai jaminan.”
Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut laki-laki itu, dia melangkahkan kakinya meninggalkan Langit. Lantas Langit pun berlari mengejarnya.
*Sebenarnya apa yang dia inginkan*? Dalam hati, Langit bertanya pada dirinya sendiri.
“Lo tahu gosip tentang murid dari SMA kita yang pacaran sesama jenis?” Laki-laki itu bertanya pada Langit yang sekarang berjalan di sebelahnya.
“Giovano Mahardika kelas XII IPA 5, kan?”
“Iya, dan orang itu adalah Gue.”
“Hah?”
Langit tentu saja sangat terkejut mendengar hal itu. Karena ternyata laki-laki di sampingnya ini adalah seorang Giovano Mahardika. Walaupun Langit jarang sekali keluar dari kelas, apalagi untuk bersosialisasi dengan murid lain. Tetapi dia tahu dari obrolan teman-teman sekelasnya yang selalu membicarakan tentang Gio yang merupakan anak dari donatur terbesar di SMA Pelita Bangsa.
“Karena Lo enggak bisa ganti rugi perbaikan ponsel Gue, maka sebagai gantinya Lo harus jadi pacar pura-pura Gue supaya gosip itu hilang.”
“Jadi gosip itu beneran? Kak Gio suka sama laki-laki?”
Gio menghentikan langkahnya. Sehingga Langit pun ikut berhenti. Gio berbalik menghadap ke arah Langit, lalu dia mendorong bahu perempuan itu hingga membuat tubuhnya menghantam dinding belakang sekolah.
“Mau bukti kalau Gue masih suka sama perempuan?” Tanyanya sambil mendekatkan wajahnya pada telinga Langit.
Langit menahan napas, jantungnya berdegup kencang. Dia sangat gugup karena jarak mereka yang sedekat itu. Dia juga tidak bisa ke mana-mana karena tubuhnya terkurung diantara kedua tangan milik Gio.
Langit pun akhirnya memberanikan diri untuk bersuara. “Aku percaya, kok.”
“Pilihan Lo ada dua. Bayar ganti ruginya tanpa di cicil atau Lo jadi pacar pura-pura Gue?”
“Aku butuh waktu untuk jawab.”
“Oke, tapi kalau kita ketemu lagi Lo harus siap dengan jawabannya."
Pada jam 15:30 bel sekolah berbunyi, \*\*\* (Kegiatan Belajar Mengajar) berakhir. Seluruh siswa dengan wajah riang mulai berhamburan keluar dari kelas masing-masing. Inilah salah satu waktu yang selalu di tunggu oleh mereka saat di sekolah, pulang.
Kelas XI IPS 3 yang selalu berisik itu kini tampak sepi. Hanya ada Langit di dalamnya yang sedang membaca buku sambil menunggu lingkungan sekolah benar-benar sepi dari siswa-siswi yang lainnya. Karena Langit tidak terlalu suka keramaian, itulah alasan Langit mengapa setiap hari pulang paling akhir. Dia lebih suka sendiri bersama kesunyian.
Sebenarnya Langit tidak hanya sedang membaca tapi juga belajar. Karena pada saat Bu Seli yang merupakan guru Ekonomi, menjelaskan materi Bab 2 tentang perpajakan dalam pembangunan ekonomi dia tidak fokus mendengarkannya. Sehingga dia pun sama sekali tidak memahami materi tersebut. Dan semua itu gara-gara seorang laki-laki bernama Gio.
Langit tidak tahu apa yang harus di jawabnya saat nanti dia bertemu lagi dengan Gio. Jika dia memilih untuk ganti rugi, maka dari mana dia akan mendapatkan uang sebanyak itu. Tetapi jika dia memilih untuk menjadi pacar pura-pura, maka kehidupan sekolahnya tidak akan tenang.
Dia tidak ingin berurusan dengan orang yang berbahaya seperti Gio. Dari yang pernah di dengarnya, laki-laki itu terkenal karena kenakalannya yang sudah tidak terhitung jumlahnya. Mungkin yang paling parah diantara aksi nakalnya itu adalah membuat teman sekelasnya masuk rumah sakit dengan kondisi tubuh penuh luka. Tidak heran kenapa dia di juluki sebagai monster tanpa ekspresi.
Jam menunjukkan pukul 16:00 itu artinya sudah setengah jam Langit menghabiskan waktunya untuk belajar. Dia pun segera membereskan alat tulisnya ke dalam tas. Saat keluar dari kelas ada suara seseorang memanggilnya.
“Langit.”
“Pak Doni, ada apa?”
“Jadi begini, Bapak minta tolong sama kamu untuk ambil buku kehadiran siswa di kelas 12 IPA 5. Soalnya Bapak buru-buru ada urusan penting.”
Langit masih diam tidak menjawab. Dia ingin menolak tapi tidak bisa, karena sepertinya Pak Doni benar-benar ada urusan penting yang membuatnya tidak boleh telat.
“Kalau begitu Bapak pergi dulu. Oh, ya nanti taruh aja di meja Bapak.”
Semoga enggak ketemu sama Kak Gio, Batinnya penuh harap.
Langit menghela napas sejenak saat akan memasuki kelas 12 IPA 5. Matanya menelisik setiap penjuru ruangan tersebut untuk memastikan bahwa tidak ada siapa-siapa di dalam sana. Ruangannya benar-benar lengang, semua siswa-siswi sudah pulang. Hanya menyisakan suara dari jam dinding, tinta spidol yang melekat di papan tulis, dan kursi serta meja yang tidak beraturan.
Langit melangkahkan kakinya keluar dari kelas tersebut setelah mengambil buku yang di suruh oleh Pak Doni. Namun, ada tubuh seseorang yang menghalangi pintu.
“Apa jawaban Lo?”
Langit terdiam sejenak, menatap laki-laki di depannya yang tidak lain adalah Gio dengan wajah terkejut. Kenapa dia belum pulang? Kira-kira seperti itulah yang di pikirkannya saat ini.
“Ada barang Gue yang ketinggalan.” Jelas Gio menjawab keterkejutan Langit.
“Bukannya Kak Gio kasih aku waktu untuk menjawab?”
“Gue juga bilang, kalau nanti kita ketemu lagi, maka Lo harus mempersiapkan jawabannya. Lupa?”
“Tapi ini terlalu mendadak.”
“Kalau Lo mau jadi pacar pura-pura Gue. Gue janji akan kabulin satu permintaan Lo setiap harinya.”
Langit menghela napas pasrah, “aku mau jadi pacar pura-pura Kak Gio. Hanya untuk bertanggung jawab, bukan karena hal lain.”
Gio menyerahkan ponsel yang terlihat masih baru kepada Langit. “ Ketik nomor Lo.”
Tanpa berpikir lama dia pun mulai memasukkan nomor ponselnya di kontak laki-laki itu.
“Satu-satunya hal yang Gue suka di dunia ini adalah langit.” Ucap Gio sambil menatap layar ponselnya.
Tiba-tiba terdengar suara ponsel berdering yang asalnya dari ponsel Langit. Ternyata orang yang meneleponnya adalah Gio.
“Takutnya Lo masukin nomor tukang sedot WC di kontak Gue.”
...•••••...
Mentari mulai menampakkan diri. Menyambut hari yang baru. Menyinari setiap langkah kaki semua orang. Hari Senin adalah hari awal di mulainya setiap aktivitas manusia setelah berlibur di hari Minggu. Tidak sedikit orang mulai mengeluh jika bertemu hari Senin. Mereka lebih ingin berlama-lama dengan hari Minggu. Apalagi untuk seorang pelajar yang tidak ingin mengikuti upacara bendera. Hanya untuk bangun dari tidur saja terasa sangat berat dari hari-hari yang lain.
Di lapangan upacara SMA Pelita Bangsa para siswa-siswinya sudah berbaris rapi. Hanya para guru saja yang belum datang. Beberapa siswa sedang memeriksa dan merapikan setiap barisan kelasnya masing-masing. Anggota PMR sudah siap siaga di belakang untuk membantu di saat nanti ada yang tiba-tiba sakit, atau pingsan. Petugas upacara pun sudah rapi dengan selendang yang melekat di tubuh mereka sebagai penanda dari tugasnya masing-masing.
Langit berada di barisan paling depan karena tubuhnya yang kecil dan pendek. Tiba-tiba lengannya di tarik oleh seseorang dan membawanya ke tengah lapangan. Dia hanya bisa menunduk, pasrah dengan apa yang akan di lakukan oleh orang itu.
“Mohon perhatiannya! Gue sama Langit udah resmi jadian. Bagi siapa aja yang berani ganggu dia akan berurusan langsung sama Gue.” Ungkap Gio penuh ketegasan.
Seluruh siswa-siswi terkejut mendengar pengakuan dari monster tanpa ekspresi itu. Mereka semua mulai mengutarakan pendapatnya masing-masing pada teman yang lainnya. Ada yang setuju dengan hubungan antara Gio dan Langit. Ada juga yang tidak setuju sehingga memfitnah Langit melakukan hal yang tidak baik. Namun, walaupun ada pihak kontra itu tidak akan membuat Gio berubah pikiran untuk menjadikan Langit sebagai pacar pura-puranya di depan banyak orang.
“Kak Gio, kenapa harus di umumin?”
“Supaya mereka tahu.”
“Tapi enggak pas lagi upacara, gimana kalau guru-guru tahu?”
“Gue enggak peduli.”
“Tapi Kak-“
“Baris lagi, jangan nakal, jadi anak baik.” Perintahnya sambil mengelus rambut Langit.
Semua orang melihat apa yang di lakukan oleh Gio terhadap Langit. Para siswi mulai berteriak histeris melihat adegan yang menurut mereka romantis. Kejadian ini sungguh langka untuk mereka karena dari dulu Gio tidak pernah dekat dengan perempuan apalagi pacaran. Itulah mengapa dia di gosipkan menyukai sesama jenis.
Langit mengembuskan napas, pagi-pagi dia sudah di buat kesal oleh laki-laki itu. Memangnya Langit seperti anak kecil yang harus selalu di ingatkan untuk jangan nakal saat di sekolah oleh orang tuanya. Padahal yang selalu melakukan kenakalan adalah Gio monster tanpa ekspresi.
Saat Langit memasuki barisannya lagi, Naya selaku wakil ketua di kelasnya bertanya. “Langit, kok, Lo bisa jadian sama Kak Gio?”
Langit ingin menjawab bahwa dia sangat terpaksa, demi untuk bertanggung jawab atas ponsel Gio yang rusak olehnya. Tapi tentu saja dia tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya tentang hubungannya dan Gio. Bisa-bisa perannya sebagai pacar pura-pura Gio terbongkar. Jadi dia hanya menampilkan senyum sebagai jawaban dari pertanyaan Naya barusan.
Karena guru-guru sudah berkumpul upacara pun akhirnya bisa di mulai dengan khidmat.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!