Langit melepaskan kacamatanya dan meletakkannya di tempat yang kering. Lalu dia membuka keran air dari wastafel kamar mandi. Kedua tangannya di arahkan pada air yang mengalir dari keran, kemudian dia basuh wajahnya dengan air tersebut.
Sejak SMP Langit suka sekali membaca buku di tempat yang redup dalam jarak dekat, sehingga membuat penglihatannya mulai memburuk. Dia tidak bisa melihat jelas papan tulis dengan posisi duduknya di jajaran ke dua. Tetapi, awal dia menggunakan kacamata adalah saat memasuki SMA. Karena dulu Langit sangat takut jika harus mengadukan tentang keadaan matanya pada Ayahnya. Saat lulus SMP dia pun mulai memberanikan diri untuk mengatakan yang sebenarnya, dia takut jika dibiarkan penglihatannya akan jauh lebih memburuk.
Langit menatap pantulan wajahnya di dalam cermin dekat wastafel. Tiba-tiba saja sekelebat ingatan muncul dalam kepalanya.
...***...
*Langit dan Gio bersandar pada dinding di rooftop. Keduanya memandang langit yang sama, berwarna biru di hiasi awan putih yang terlihat lembut*.
“*Sebutin satu permintaan Lo*.”
“*Enggak usah, kak*.”
“*Gue udah janji akan kabulin satu permintaan Lo setiap harinya*.”
“*Tapi aku beneran Enggak pengen apa-apa*.”
“*Lo mau Gue jadi orang yang munafik karena ingkar janji*?”
“*Tapi aku enggak yakin kak Gio bisa kabulin keinginan aku*.”
“*Emangnya keinginan Lo apa*?”
“*Ingin punya teman*.”
*Laki-laki itu pun terdiam saat mendengar keinginan dari Langit. Sejak pertengkaran Langit dengan teman sekelasnya karena kesalahpahaman, sampai sekarang mereka benar-benar tidak pernah menyapanya apalagi mengajaknya bicara. Langit tidak lagi di anggap teman bahkan di musuhi oleh mereka bertiga yang tidak lain adalah Sofia, Mira, dan Nadia*.
*Gio menarik tangan Langit, membawanya keluar dari rooftop menuju ke kantin sekolah. Di sana terlihat banyak orang berlalu lalang. Berbagai suara yang berbeda menyeruak masuk kedalam sepasang telinga Langit. Dia tidak suka keramaian, tetapi Gio malah membawanya ke tempat banyak orang*.
“*Kak Gio, kenapa kita kesini*?”
*Laki-laki itu tidak menjawab, dia memilih untuk memanggil seseorang. “Hei, kalian berdua kesini*.”
“*Ada apa kak Gio panggil kita?” Tanya seorang perempuan yang rambutnya di kepang dengan wajah malu-malu*.
“*Kalau Lo mau jadi temen dia,” ucapnya sambil menunjuk kearah Langit. “Gue kasih lima ratus ribu.” Lanjutnya dengan tangannya yang mengeluarkan uang dari dompet*.
“*Gue mau.” Jawab seorang perempuan berambut pendek yang terlihat kegirangan saat melihat uang lembaran berwarna merah*.
“*Kalau jadi pacar kak Gio, gimana?” Tanya perempuan berkepang yang membuat mereka melongo tidak percaya*.
“*Gue enggak mungkin selingkuh.” Jawabnya sambil menatap tajam perempuan itu*.
*Lantas Gio dan Langit beranjak pergi dari kantin meninggalkan dua perempuan tersebut*.
“*Kenapa kak Gio ngelakuin hal kayak tadi*?”
“*Bantu Lo cari teman*.”
“*Tapi enggak kayak gitu, kak. Enggak semua hal bisa di beli pake uang. Pertemanan harus di dapatkan dengan hati yang tulus*.”
“*Gue tadi cuma ngetes mereka aja*.”
“*Maksudnya*?”
“*Supaya Lo tahu kalau di zaman sekarang ini mendapatkan teman yang tulus itu susah. Contohnya, tadi mereka berdua mau temenan sama Lo hanya karena ingin mendapatkan sesuatu. Jadi Lo harus bisa membedakan antara orang yang benar-benar tulus, dan orang yang hanya ingin memanfaatkan*.”
“*Kalau kak Gio aja yang jadi temen aku gimana*?”
*Gio menghentikan langkahnya, berbalik ke belakang menghadap kearah Langit. “Kenapa Gue*?”
*Langit yang berada di belakang Gio juga berhenti. Kepalanya yang sedari tadi menunduk, kini mendongak ke atas karena tinggi laki-laki itu yang berbeda jauh dengannya. "Karena aku suka kak Gio*.”
“*Jangan suka sama Gue*.”
“*Kenapa? Aku suka sama cara berpikir kakak memandang kehidupan*.”
...***...
Sedari tadi tangan Langit berusaha membuka kenop pintu kamar mandi. Namun, usahanya tidak berhasil, pintu itu masih tetap tidak terbuka. Padahal saat dia masuk pintunya masih baik-baik saja, tidak ada tanda-tanda kerusakan. Langit pun menggedor-gedor pintunya sambil berteriak meminta pertolongan.
“Siapa pun tolong bukain pintunya!”
Kemudian terdengar suara seseorang dari luar kamar mandi menyahut. “Woy, Lo hantu atau manusia?”
“Aku manusia, tolong buka pintunya.”
“Lo bukan makhluk jadi-jadian, kan?”
“Bukan, aku mohon buka pintunya.”
Seketika pintu kamar mandi yang terkunci mulai terbuka. Tanpa berlama-lama Langit pun keluar dari sana. Di depan pintu terlihat seorang perempuan dengan gaya rambut wolf cut berwarna cokelat sedang menatapnya tanpa berkedip.
“Makasih udah mau tolongin aku.”
“Loli.”
“Namaku Langit bukan Loli.” Ucapnya sambil menatap heran perempuan di depannya.
Perempuan itu berteriak histeris melihat Langit dari atas sampai bawah. Lalu tangannya memutar-mutar tubuh Langit, dan kemudian mencubit pipinya. “Ya ampun, ada loli di sekolah ini?!”
“Loli siapa?”
Perempuan asing itu menegakkan badannya, lalu mengulurkan tangan pada Langit. “Watashi no namae wa Giva desu dari kelas XI IPS 4.”
Langit pun menerima uluran tangannya, “Langit dari kelas XI IPS 3.”
“Ternyata satu angkatan, Gue pikir anak SMP yang lagi nyasar.” Ujarnya sambil melepaskan headphone dari telinganya.
“Sekali lagi makasih udah mau tolongin aku.”
Setelah mengatakan terima kasih Langit pun memutuskan untuk pergi dari sana. Namun, langkahnya terhenti karena seseorang menahan tangannya.
Perempuan yang mengenakan hoodie oversize kombinasi berwarna hitam dan ungu itu bertanya pada Langit. “Lo mau enggak jadi teman Gue?”
Langit sangat terkejut mendengar permintaan dari perempuan itu. “Teman?”
“Iya, tenang aja Gue orang baik, kok. Walaupun penampilannya enggak sesuai, sih.” Jawabnya sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
“Kamu serius?”
“Gue emang suka bohong. Tapi untuk kali ini gue beneran mau temenan sama Lo.”
Langit menatap sepasang mata milik Giva, mencari tahu apakah perempuan itu benar-benar tulus ingin berteman dengannya atau tidak.
“Aku mau.” Jawab Langit tanpa ragu karena yakin dari mata Giva tidak ada kebohongan sedikit pun.
Langit mengajak Giva untuk bertemu dengan seseorang. Sekarang mereka sedang menuju ke rooftop. Di sepanjang perjalanan, Giva tidak henti-henti mengajak Langit mengobrol. Ada banyak topik yang Giva bicarakan hingga membuat Langit kewalahan menanggapinya.
“Lo tahu Zoro?”
“Enggak.”
“Kalau Gojo Satoru Lo pasti tahu, kan?”
“Enggak tahu, mereka temen kamu?”
“Bukan. Zoro itu pendekar pedang yang rambutnya hijau, dia temennya Luffy. Kalau Gojo Satoru itu penyihir terkuat dan dia punya mata yang indah banget. Sumpah, Lo kalau lihat matanya pasti salting.”
Langit hanya bisa diam tanpa ada niatan untuk menyahut perkataan dari Giva. Soalnya dia tidak tahu apa yang sedang di bicarakan oleh perempuan itu. Dia tidak tahu apa yang sedang populer di kalangan anak remaja seusianya. Langit hanya tahu belajar, dan mengurus rumah.
“Ada beberapa rekomendasi dari Gue kalau Lo mau nonton anime. Pertama One Piece, kedua Jujutsu Kaisen, ketiga Demon Slayer. Tapi yang paling harus Lo tonton adalah One Piece.”
Perempuan itu benar-benar antusias mengenalkan Langit pada anime-anime yang dia tonton. Giva benar-benar pencinta anime dan karena tingkahnya yang aktif, ceria, mudah bergaul, dia pun di juluki sebagai wibu ekstrovert oleh teman sekelasnya.
Tidak terasa mereka berdua sudah sampai di tempat tujuan, rooftop sekolah. Langit berjalan lebih dulu menghampiri laki-laki yang sekarang sedang membelakangi mereka.
“Kak, ini bekalnya.” Ucap Langit membuat laki-laki menoleh dan menerima kotak makanannya.
“Sekarang aku punya temen baru, namanya Giva.”
Giva yang ceria dan banyak bicara sekarang malah seperti sedang melihat hantu. Dia bahkan bersembunyi di balik tubuh Langit yang lebih pendek darinya.
“Langit, kenapa Lo bisa kenal sama monster itu?” Bisiknya di telinga Langit.
Langit tidak menanggapi pertanyaan dari perempuan itu. “Giva kenalin ini kak Gio, Dia...” Langit menjeda ucapannya karena bingung harus mengakui kalau Gio adalah pacarnya atau bukan.
“Gue pacarannya.” Gio melanjutkan perkataan Langit yang sempat terhenti.
“Jadi gosip itu bener kalau Bang Gio punya pacar?!” Teriak Giva sambil keluar dari persembunyiannya.
Gio menatap tajam perempuan itu. “Tiga hari ini Lo kemana aja?”
“Di rumah Tante Jeni.” Jawab Giva sambil menunduk takut oleh tatapan Gio.
“Pulang, Bunda khawatir.”
Langit di buat penasaran oleh mereka berdua yang terlihat sangat akrab. “Kalian berdua saling kenal?”
“Iya, kita saudara.”
Givana Mahardika adalah adik dari Gio. Sifat mereka sangat bertolak belakang. Sebagian besar penduduk sekolah SMA Pelita Bangsa sudah mengetahui bahwa mereka berdua adalah saudara. Sebab Giva membuat masalah di sekolah, sehingga dia harus di skors selama tiga hari yang membuatnya tidak pulang ke rumah karena malu dan takut bertemu orang tuanya. Dan juga itulah mengapa dia hanya tahu gosip tentang kakaknya yang memiliki pacar, tapi tidak tahu siapa perempuan itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
Raudatul zahra
ini kok novelnya ngalir banget dibaca nya yaa??? nagihh
2023-09-24
0
✿ O T A K U ✿ᴳᴵᴿᴸ࿐
Sekali baca, rasanya nggak cukup! Update dong, thor! 👀
2023-07-22
0
Fiqri Skuy Skuy
Gimana ceritanya bisa sehebat ini? 😮
2023-07-22
0