Dengan tenaga yang masih tersisa Lusi meronta-ronta berusaha mendobrak kasar pintu besar itu. Namun percuma saja. Pintu itu seakan tak sudi untuk terbuka.
Tubuh Lusi seketika itu juga lunglai seperti tak bertulang. Tubuhnya begitu saja merosot jatuh terpekur di lantai. Menunduk dalam tangisan ketakutannya.
Dia sungguh panik dan bingung akan semua ini. Tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi saat ini. Pikirannya terus berkecamuk tanpa menemukan jawaban yang pasti.
Dua bodyguard Bramanto menyeretnya kasar. Mendudukan dirinya di atas sofa panjang. Lusi meronta-ronta karena tak terima dengan perlakuan kasar mereka. Gadis itu berusaha melawan. Tapi apalah daya seorang gadis bertubuh kecil melawan dua pria bertubuh kekar dan berwajah sangar.
Bramanto keluar dari sebuah ruangan masih dengan setelan jas lengkap nya. Melangkah mendekati Lusi yang terpekur dengan air mata yang tak henti-hentinya deras mengalir
Dua pria kekar di hadapannya melangkah menjauh beberapa meter demi memberi jalan untuk Bramanto menuju hadapan Lusi. Pria setengah baya itu menatap Lusi dengan sorot mata rakus. Seolah-olah siap menelan dan ********** halus-halus. Senyum liciknya mengembang melihat Lusi yang melemah karena tangis yang tak tertahankan.
“Joni, nanti malam siapkan gadis ini. Klien saya akan datang. Pakaikan gadis ini pakaian yang bagus. Saya gak mau dia acak-acakan begini.” Suara berat Bramanto memerintah salah satu pengawalnya
“Baik, Boss!”
Setelah itu pria bertubuh kekar yang dipanggil Joni itu keluar ruangan.
“Siapkan apa?” Lusi mendongak. Dia tak memahami maksud omongan Bramanto tadi. Tapi yang dia rasakan sekarang dirinya berada dalam bahaya.
Bramanto tersenyum smirk. “Malam ini kamu akan jadi pelayan saya di ranjang. Setelah itu kamu akan saya jadikan idola. Idola ranjang untuk klien-klien saya, tau!” jawabnya tegas dengan seringai jahanamnya.
Lusi terkejut bukan main, mulutnya menganga dengan kelopak matanya terbelalak lebar, seakan tak percaya pada pendengarannya.
“Tapi Om bilang..... “ Kalimat Lusi tertelan kembali saat dirinya benar-benar menyadari bahwa kini dia telah tertipu oleh ajakan pria ini ke rumahnya.
'Memesan karangan bunga untuk pesta?
'Bullshit!'
Lagi-lagi Bramanto terkekeh licik kemudian menatap tajam pada Lusi yang tak kuasa menahan gemetar di sekujur tubuhnya.
“Kamu harus tau, Ibu tirimu itu menjual kamu pada saya. Dan saya membeli kamu dengan harga yang sangat mahal. tiga Milyar.” Tiga jemari besar Bramanto terangkat di hadapan wajah Lusi.
Lusi terperanjat tak percaya. “Ibu?”
Demi apapun, dia tak menyangka begitu teganya ibu tirinya yang sudah bertahun-tahun hidup satu atap dengannya menjual dirinya pada pria tua bangka ini.
'Ya, Tuhan. Apa salahku pada ibu? Kenapa ibu tega sama aku, Bu?' rintihnya dalam hati.
“Saya mohon, Om. Saya mau pulang.” Lusi berlutut di hadapan Bramanto. Memohon belas kasihan darinya dengan menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada. Dengan air mata yang kian berlinang deras, dia mendongak menjangkau pandangannya pada wajah dingin Bramanto.
Pria tua itu menggeleng-geleng, kemudian tertawa lagi. Sepertinya adegan Lusi yang memohon padanya adalah satu hiburan yang paling menyenangkan untuknya.
“Enak aja, kalo kamu mau pulang, kembalikan dulu uang saya tiga milyar. Sekarang!” tukas Bramanto cepat.
Lusi makin terpekur. Kini posisi tubuhnya sudah bersujud di depan kaki Bramanto. Bahunya berguncang-guncang menahan sesak dan tangisannya.
“Saya Mohon, Om...” Sekali lagi Lusi mengiba. Namun pastinya itu sia-sia saja.
“Tidak bisa! Kamu harus melayani saya setiap hari, setiap waktu, setiap saat saya minta. Jangan menolak sekalipun. Rasakan akibatnya nanti kalo kamu melawan. Kamu akan menyesal pernah dilahirkan!” ancam Bramanto menggeram.
Bersamaan dengan itu, kakinya menyepak bahu Lusi kasar membuat tubuh gadis itu terjerembab keras ke lantai.
“Sam, bawa anak ini ke kamar saya. Dan jaga di depan pintunya. Awas jangan sampe lengah,” perintah Bramanto pada satu pengawalnya yang berdiri di belakang punggungnya.
Tanpa dikomando untuk kedua kalinya, pria bertubuh besar dan berwajah sangar itu menggiring Lusi. Menyeret tubuhnya tanpa ampun, walaupun Lusi terjatuh dan terseok tapi tanpa belas kasihan pria itu tak menggubrisnya sama sekali. Tangan kekarnya menarik lengan Lusi kencang. Namun Lusi tetap berusaha melawan walaupun sama sekali tak berarti.
Dari balik sebuah pintu kamar seseorang memperhatikan semua perlakuan kasar yang diterima Lusi. Bathinnya terasa teriris pilu. Sakit sekali melihat apa yang terjadi di depan netranya kini.
Ibu Tantri, istri Bramanto, wanita setengah baya usia lima puluh tahun dengan tubuh kurus dan pipi yang cekung, namun masih tampak guratan kecantikannya, menyandarkan punggungnya pada pinggiran pintu, menahan nafasnya yang terasa begitu sesak dan menderu.
'Ya Tuhan, kasihanilah gadis itu. Lindungilah dia ya Tuhan ku.' Permohonan bu Tantri dalam hati. Matanya terpejam menahan air matanya yang siap bergulir di kedua belah pipi cekungnya
Wanita ini mendengar semua yang dibicarakan suaminya, Bramanto. Tapi apalah daya wanita ini. Tak punya keberanian untuk melawan suaminya yang berkelakuan sangat bejad itu.
“Heh, ngapain kamu disitu? Ngintip?” Suara Bramanto menggelegar di hadapannya, menyentak lamunannya. Spontan dia mengusap air matanya. Dan menatap wajah Bramanto dengan sorot matanya yang tajam.
“Gadis mana lagi yang jadi korbanmu kali ini?” tanya Bu Tantri menahan geram.
“Jangan ikut campur. Ini kesenanganku, kau mau apa?“ tantang Bramanto mengibaskan tangannya di hadapan Bu Tantri.
“Berhentilah, Mas. Sudahilah kesenanganmu bermain perempuan. Apa gak ada sedikitpun rasa kasihan di hati kamu, Mas? Apalagi gadis tadi, dia masih terlalu muda, apa kamu tega merusak masa depannya?” pelan dan lirih namun penuh harap Bu Tantri mengiba pada Bramanto.
“Heh, kamu jangan coba-coba melarangku. Nikmati saja hidupmu dan aku juga begitu. Selama ini kau pun tak kekurangan materi sedikitpun. Aku juga tidak menceraikan kamu ‘kan? Walaupun kamu mandul, tidak bisa kasih aku keturunan!” geram suara Bramanto, tak senang dengan perkataan Bu Tantri yang seolah tengah mengguruinya.
“Aku mandul? Selama ini, itu- itu saja alasan kamu menyalahkan aku. Hampir dua puluh lima tahun kita menikah sekalipun kamu tidak pernah mau mengecek kesuburanmu. Tapi tanpa dasar seenaknya kamu tuduh aku mandul. Jangan – jangan justru kau yang mandul!“ tuding Bu Tantri tak kalah geramnya.
Bramanto menatap wajah istrinya dengan penuh bola mata yang sudah memerah. Kedua rahangnya menegang menahan amarah. Tangannya terkepal.
Dan....
‘Buuukk...!’
Bogeman mentah Bramanto mendarat keras di pipi Bu Tantri.
Wanita kurus itu terhuyung lalu tersungkur ke lantai. Seketika rasa nyeri menjalar di tulang bawah mata kirinya. Pandangannya kabur lantaran sakit yang dia rasakan dibagian kepalanya. Perutnya pun tiba-tiba terasa mual yang begitu hebatnya.
“Rasakan! Perempuan sialan!” hardik Bramanto lalu pergi meninggalkan Bu Tantri begitu saja.
Bu Tantri berusaha bangkit, dan pelan dia sandarkan tubuhnya ke dinding. Meringis menahan sakit di bagian wajahnya. Dan air matanya pun kembali merebak.
“Kau yang mandul, Bram. Tapi kau tak mau mengakui. Beberapa dokter menyatakan aku sehat. Dasar laki laki bejad!” umpatnya pada laki-laki yang sudah menghilang dari pandangannya.
Sudah tak terhitung lagi berapa kali Bu Tantri menangis lantaran perbuatan pria yang sudah dua puluh lima tahun berstatus suaminya itu. Dirinya sudah tidak tahan menghadapi kekerasan pria itu. Tamparan, hujatan, cacian dan makian seakan menjadi santapan utama untuknya.
Hingga seringkali Bu Tantri berusaha untuk meninggalkan pria itu dengan berbagai cara. Namun usaha itu selalu sia-sia. ‘Kaki tangan’ Bramanto selalu berkeliaran mengawasinya.
Dia tahu pasti kenapa dirinya diperlakukan seperti tawanan di rumahnya sendiri. Karena dia terlalu banyak tahu kegiatan haram yang di lakukan suaminya. Dan pastinya akan menjadi masalah besar untuk suaminya jika dia membuka mulut pada dunia luar.
Belum lagi hatinya selalu terluka dengan kegemaran suaminya yang sering melampiaskan nafsu bejadnya pada gadis-gadis belia. Sudah belasan bahkan puluhan korbannya yang di ajak tidur di kamar yang dulu dia tempati bersama suaminya. Ada yang sukarela dan ada juga yang terpaksa.
Bahkan pernikahan yang dia jalani pun hanya formalitas saja untuk menjaga nama besar seorang Bramanto, seorang pemilik sebuah perusahaan peti kemas terbesar di negara ini. Karena Bramanto sering berhubungan dengan para pejabat dan petinggi negara untuk melanggengkan bisnisnya.
Dan kini sudah hampir dua puluh lima tahun hidupnya “bersuamikan” penderitaan dan tekanan bathin yang luar biasa. Hingga sempat terbersit keinginannya untuk mengakhiri hidupnya dengan meminum racun serangga. Namun niatan itu selalu saja tak terlaksana, pasti ada saja sesuatu yang menghalanginya. Mungkin karena dia merasa Tuhan masih membutuhkan dirinya untuk untuk hidup dan melakukan sesuatu hal yang membuat dirinya lebih berguna.
***
‘Kaki tangan’ Bramanto yang bernama Joni menarik lengan Lusi secara paksa dan tanpa kenal ampun. Lusi pun terhuyung-huyung melangkah mengikutinya. Baju longdress yang kebesaran membalut tubuhnya membuat dirinya makin susah untuk melangkah.
“Duduk...!” perintah Joni lagi seraya menekan bahu Lusi untuk menempati sofa di tengah ruangan.
Lusi pun makin ketakutan mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Beberapa orang laki- laki dengan setelan jas hitam lengkap sedang berbincang-bincang dengan Bramanto, sesekali mengangguk-angguk, entah apa yang mereka bicarakan. Beberapa pengawal Bramanto pun hanya berdiri siaga di sekitarnya.
“Ini gadis itu?” tanya satu orang di antaranya sambil mendekatkan diri berhadapan dengan Lusi dan menatap gadis itu dari ujung rambut sampai ujung kaki.
“Iya, tapi aku nikmati lebih dulu, setelah itu silahkan kalian,” suara Bramanto dari balik punggung pria yang sedikit lebih muda darinya yang kini menatap buas ke arah Lusi.
‘Ya Tuhan, siapa lagi orang-orang ini? Apa mereka akan memperk0sa aku? Rasanya aku ingin bunuh diri saja, tak sanggup aku menghadapi penderitaan ini,’ lirih Lusi mengiris hati.
Air matanya terus merebak turun. Wajahnya memucat, tangannya gemetar hebat ditambah lagi dingin yang terasa melingkupi sukmanya.
Dia tak sanggup lagi menegakkan kepalanya. Pandangannya jatuh terpaku ke lantai. Telinganya hanya menangkap suara Bramanto dan laki laki itu mengatakan sesuatu tentang harga yang ditawarkan sambil sesekali melirik padanya.
Seketika tubuh Lusi ambruk, tak sadarkan diri. Pandangannya gelap hingga rungunya tak menangkap lagi suara apapun.
Bu Tantri yang sedari tadi mengintai dari balik dinding kamarnya langsung berhamburan menuju tempat Lusi dan menopang tubuh gadis itu di atas pangkuannya.
“Ya Tuhan, kamu masih kecil sekali.” lirihnya terkesiap saat menatap wajah pucat Lusi.
“Nak. Nak. Sadarlah, Nak!” Dia panggil sosok gadis cantik di pangkuannya itu sambil menepuk-nepuk lembut pipi gadis itu.
“Sudah, bawa dia ke kamar saya. Cepat!” perintah Bramanto pada pengawalnya yang sudah berdiri di hadapannya.
Tanpa belas kasihan, dua orang pengawal itu merampas tubuh Lusi dari pangkuan Bu Tantri, lalu memapah tubuh lunglai itu dengan menggamit kedua belah tangannya menuju ruangan yang di maksud Bramanto.
Bu Tantri hanya bisa menahan tangis menatap tubuh kecil itu di seret begitu saja. Benaknya sudah membayangkan sesuatu yang mengerikan akan terjadi pada gadis malang itu.
Kemudian dia alihkan pandangannya pada Bramanto yang berdiri tegak di sampingnya, lalu menatapnya sinis dengan bola matanya yang sudah basah.
Tanpa mengindahkan tatapan bengis istrinya, Bramanto melenggang ringan menuju kamarnya dimana gadis calon mangsanya sudah menunggu di sana. Dari bibirnya terdengar dendangan berupa siulan senang.
Di otak Bramanto kini sudah terbayang malam ini akan menjadi malam yang sangat indah dan menggairahkan bersama gadis cantik yang baru saja 'dibelinya’.
"Liat saja kau, Bram. Aku gak akan membiarkan kau menyentuh gadis itu.” gumam Bu Tantri geram.
“Tantriiii....! Ambilkan obat di atas meja kerjaku dan air putih, cepat!” Terdengar teriakan Bramanto dari lantai dua memanggil namanya.
Bu Tantri bergegas menuju ruang kerja suaminya, dan mendapati botol kaca yang berisi beberapa butir kapsul di dalamnya
Hmm, obat kuat.....
Kapsul-kapsul sialan itulah yang menjadi santapan wajib Bramanto setiap kali dia akan menggagahi mangsa-mangsanya. Dan Bu Tantri tahu itu.
Seketika itu juga Bu Tantri cepat melesat ke kamarnya. Di buangnya kapsul-kapsul dari botol coklat itu lalu menggantinya dengan kapsul lain miliknya.
Obat tidur level strong!
“Rasakan kau tua bangka mesum!” umpat Bu Tantri sambil menutup kembali botol obat tersebut.
Lekas dia membawa nampan berisi segelas air putih dan sebotol obat yang sudah dia ganti isinya menuju kamar Bramanto. Diketuknya beberapa kali pintunya. Bramanto pun keluar dengan hanya mengenakan piyama tidurnya.
Bramanto langsung saja menyambut botol obat itu dan mengeluarkan tiga butir kapsulnya lalu menenggaknya bersama segelas air putih.
Lalu dengan kasar dia mendorong bahu Bu Tantri ketika mendapati kepala istrinya itu sudah tersorong melewati pintu dan mengedarkan pandangan mencari sosok Lusi di dalam kamar itu.
“Pergi sana! Jangan ganggu!”
Bramanto membanting pintu di hadapannya. Namun Bu Tantri masih berdiri mematung ditempatnya. Dia tempelkan telinga ke daun pintu berusaha menangkap suara di dalam kamar itu.
Dan didalam kamar, Lusi menangis di pojok ruang dengan mendekap lututnya ke dadanya. Ketakutannya semakin terlihat jelas ketika Bramanto mencengkram lengannya dan menariknya untuk bangkit.
Tamparan dan pukulan yang sangat keras dari tangan besarnya beberapa kali mendarat di wajah gadis malang itu. Bahkan beberapa cakaran mampir menghujam beberapa bagian tubuh Lusi yang lainnya, seperti di leher dan kedua tangannya.
Tak ayal lagi membuat gadis itu terhuyung merasakan sakit dan nyeri di bagian kepala dan di sekujur tubuhnya.
Laki-laki durjana itu merapatkan tubuhnya pada tubuh Lusi yang terus meronta menolaknya. Dia dekatkan bibirnya berusaha menggapai bibir mungil Lusi. Namun gadis itu mendorong tubuh besar Bramanto, hingga tubuhnya yang hanya memakai piyama itu mundur beberapa langkah menjauh.
Lusi berlari ke pojok satunya lagi untuk menghindari kejaran Bramanto. Pria itu makin penasaran dibuatnya. Dengan langkah lebarnya, dia buru kemanapun Lusi berlari.
Begitu selanjutnya, Lusi terus menghindar dan mengelak saat tubuhnya nyaris tergapai oleh tangan lebar Bramanto. Membuat stamina pria itu cukup terkuras lantaran mengejar gadis itu.
Tiba-tiba Bramanto menghentikan langkahnya mengejar Lusi. Yang dia rasa pandangannya seketika memburam dan kabur di antara nafasnya yang tersengal-sengal. Jantungnya yang berdebar cepat tak beraturan membuat dadanya tampak naik turun menahan sesak. Kepala bagian belakangnya berdenyut hebat dan serasa seperti ada yang menindihnya dengan beban yang sangat berat.
Dan ....
Tubuh besar itupun ambruk terhempas di atas tempat tidur.
***JANGAN LUPA LIKE AND COMENT YAH PARA READER YANG BAIK SUPAYA AUTHOR TETEP SEMANGAT **
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 104 Episodes
Comments
🌺sahaja🌺
ikutan deg degan
2023-01-13
0
Pipit Sopiah
Alhamdulillah jalan dari Allah
2022-12-30
0
Kadek Eni
mampus kau tua Bangka bikin gregetan bacanya
2022-01-21
0