“Ada apa ini?"
"Rame sekali?”
"Tamu dari mana?”
Serentetan pertanyaan di benak Lusi ketika melihat halaman rumahnya yang luas dipenuhi empat unit kendaraan mewah yang terparkir berjajar tak beraturan.
Gadis itu melangkahkan kakinya perlahan. Mencoba mengintip dari balik pintu sebelum memasuki ruang tamu.
'Rame sekali tamunya,' bathinnya sekali lagi saat didapatinya ruangan itu dipenuhi orang yang kesemuanya laki-laki.
Lusi melangkah mendekat, penasaran. Membuka pintu lebar-lebar.
“Nah, itu anaknya sudah pulang,” sorak Bu Merry kegirangan. Diikuti pandangan mata semua yang ada di ruangan itu menoleh ke arah Lusi yang masih tegak mematung di depan pintu.
Bu Merry melangkah menuju Lusi, dan merangkul bahunya untuk membawa gadis itu masuk menghampiri para tamu.
Tentu saja Lusi terheran menerima perlakuan sang ibu tiri yang berubah 180 derajat dari biasanya. Senyum wanita setengah baya itu pun mengembang lebar.
Seorang pria hampir sebaya almarhum ayah Lusi beranjak dari duduknya dan melangkah mendekati Lusi. Namun Lusi bergeming seraya meneliti penampilan pria yang kini terpaku beberapa langkah dihadapannya itu.
Pria setengah baya berusia diperkirakan melewati angka lima puluh tahun. Berbadan tegap walaupun sedikit tambun, rambutnya klimis khas pria dewasa. Tatapannya begitu takjub melihat paras Lusi. Dan sudah pasti membuat gadis itu gugup ditatap intens seperti itu. Apalagi dengan senyum pria itu yang sulit dia pahami maknanya.
Pria itu mengangguk-angguk kagum disertai seringai kecil disudut bibirnya. Dan melangkah lebih mendekat lagi ke hadapan Lusi. Tentu saja membuat Lusi merasa risih dan sangat tidak nyaman.
“Lusi sayang, ini Pak Bramanto Raharjo, beliau ini teman dekat ayahmu. Ayo kasih salam,” suruh Bu Merry memaksa tangan Lusi mengulurkan tangannya ke hadapan pria yang di sebut Bramanto tadi.
Teman dekat ayah?
Rasanya belum pernah liat?
Lusi kenal hampir semua teman-teman ayahnya, tapi sosok yang ini rasanya asing untuknya. Dia belum pernah bertemu sama sekali. Dan seingat dirinya, tidak pernah sekalipun terdengar nama Bramanto Raharjo sebagai teman ayahnya yang pernah disebut oleh almarhum ayahnya.
“Kamu cantik sekali. Sekolah? Atau kuliah?“ Pak Bramanto menyambut uluran tangan Lusi dan meremasnya lembut.
Lusi merasa risih karenanya. Ia berusaha menarik tangannya, tapi pria itu justru semakin mengeratkan genggamannya.
“Saya sudah tidak kuliah, Om. Berhenti di semester satu,” jawab Lusi singkat.
Pak Bramanto menarik napasnya, seperti puas dengan jawaban Lusi yang singkat itu.
Lusi menarik tangannya ketika ia merasakan genggaman tangan Pak Bramanto sudah melonggar. Dan menyeka telapak tangan pada celana jeansnya.
Gadis itu menatap satu persatu pria yang berkerumun di dalam ruangan itu. Ada sembilan orang pria, usia mereka tampaknya jauh lebih muda dari Pak Bramanto.
Raut dan sikap tubuh mereka tampak kurang bersahabat. Tak ada satu pun wajah mereka yang sedap di pandangan mata. Dengan badan yang tegap dan sangat kaku.
'Siapa mereka ini? Aparat keamanankah? Atau tentarakah?' Pikir Lusi dalam hati.
“Lusi, ehmmm, gini loh. Pak Bramanto ke sini untuk mengucapkan belasungkawa pada kita. Beliau baru saja dapat kabar tentang kematian ayah kamu.” jelas Bu Merry dengan bola mata bergerak-gerak bergantian menoleh pada Lusi kemudian Pak Bramanto.
Pak Bramanto yang namanya disebut, mengangguk satu kali dengan penuh wibawanya tanpa melepaskan tatapan tajamnya pada Lusi.
“Hmm. Benar. Saya baru dapat kabar siang ini, makanya saya lekas kemari. Saya sudah lama tak jumpa dengan ayah kamu, tapi ternyata sekalinya mendapat kabar almarhum sudah berpulang. Saya turut berbela sungkawa, Lusi.” Dengan suaranya yang berat Pak Bramanto ikut menimpali.
Lusi mengangguk lemah. Dan tampak awan duka seketika menggelayut di sorot matanya.
“Terima kasih, Om.” Hanya itu Lusi menjawab disertai anggukan hormat.
“Maaf, Om. Saya belum pernah lihat Om sebelumnya bersama ayah saya. Sebab biasanya ayah selalu memperkenalkan teman-temannya sama saya,” sedikit curiga Lusi bertanya. Namun tetap menjaga nada suaranya dengan sopan.
Sejenak Pak Bramanto dan Bu Merry saling bertukar pandang lalu beralih kembali pada Lusi yang masih menatap lurus pada Pak Bramanto, menunggu jawaban dari pria itu.
“Almarhum ayah kamu itu teman saya yang cukup akrab sebenarnya. Memang kami tidak terlalu sering bertemu. Karena kami sama-sama sibuk. Tapi ayah kamu itu teman saya yang paling saya suka untuk bertukar pikiran soal bisnis. Kebetulan kami menekuni bidang usaha yang sama. Cuma beda ruang lingkup saja. Bisnis saya ekspedisi juga tapi dalam skala Internasional dan quantiti yang sangat besar dengan alat angkut berupa peti kemas di pelabuhan,” lugas Pak Bramanto menjelaskan pada Lusi yang tampak manggut-manggut bersama tatapan tajamnya.
Entah gadis itu paham atau tidak. Yang jelas dia mulai percaya bahwa pria bertubuh gempal itu mengenal Almarhum ayahnya, karena dia tahu persis mengenai bisnis ayahnya.
“Oiya, Lusi. Saya dengar dari ibu kamu ini, kamu bekerja di toko bunga hias, betul begitu?” lanjut Pak Bramanto, kali ini senyuman kecil terbit disudut bibirnya.
Lusi mengangguk mantap, “Iya, Om.”
“Nah, kebetulan sekali. Besok sore saya akan mengadakan satu perhelatan di rumah. Istri saya ingin sekali seluruh bagian rumah saya di hiasi dengan dekorasi bunga-bunga yang cantik. Tapi dia tak paham soal bunga. Kamu bisa kan bantu istri saya?”
Mendengar penuturan Pak Bramanto, seketika senyum Lusi pun mengembang.
Melihat tampilan parlente Pak Bramanto beserta mobil-mobil yang dia perkirakan tak berharga murah yang berjajar di halaman rumahnya, bisa diperkirakan laki-laki setengah abad dihadapannya ini pasti memiliki rumah yang besar dan mewah. Dan yang pasti akan membutuhkan rangkaian bunga yang lumayan banyak, bahkan bukan lumayan lagi, tapi sangat banyak.
Bisa dia bayangkan bagaimana sumringahnya Bu Dahlia nanti ketika mendengar orderan besar yang akan dia dapatkan nanti. Begitu pikirnya.
“Bisa, Pak. Nanti saya hubungin Bu Dahlia dulu,” ucap Lusi antusias.
“Oke, kalo begitu bagaimana kalo kamu ketemu istri saya dulu sekarang. Biar kalian bisa diskusi santai di rumah. Saya yakin Istri saya akan senang sekali,” usul Pak Bramanto juga menunjukan raut antusiasnya seraya memainkan cincin berbatu zamrud yang melingkar di jari manisnya.
“Sekarang?” tanya Lusi untuk meyakinkan pendengarannya.
Pak Bramanto mengangguk kemudian menoleh pada Bu Merry yang juga ikut menyunggingkan senyumnya. “Ibu kamu juga ikut untuk menemani kamu. Gimana, Bu Merry?”
“A...Ah, Saya...Hmm....Oke,” jawab Bu Merry terbata-bata seraya mengangguk mantap bergantian pada Pak Bramanto, kemudian pada Lusi.
“Menurut saya lebih baik Bu Dahlia juga ikut, Om. Beliau boss saya, lebih paham soal rangkaian bunga yang sesuai untuk pesta di rumah Om,” tukas Lusi.
Kembali keduanya saling bertukar pandang, Pak Bramanto dan Bu Merry.
Bu Merry melangkah mendekat pada Lusi, kemudian melingkarkan lengannya ke bahu gadis itu. “Emmm... Lusi. Ini 'kan sudah sore, Ibu yakin Bu Dahlia juga sudah pulang. Kamu 'kan orang kepercayaannya Bu Dahlia, pasti kamu juga paham soal dekorasi bunga. Besok pagi baru kamu bicara sama Bu Dahlia sekalian bawa Bu Dahlia ke rumah Om ini. Untuk sekarang biar Ibu yang temani kamu. Nanti pulangnya kita sekalian mampir ke supermarket dulu untuk belanja bulanan kita, gimana?” usul Bu Merry meyakinkan Lusi.
Walaupun ada rasa malas menghampiri dirinya mengingat badannya yang sudah letih dan masih ada keraguan yang melingkupi hatinya. Namun pada akhirnya Lusi mengangguk juga.
“Yes, gitu dong!” seru Bu Merry dengan suara sedikit tertahan.
“Baiklah. Kalo begitu ayo kita berangkat sekarang, mumpung istri saya belum memesan pada toko bunga yang lain,” ajak Pak Bramanto memecah keraguan yang masih terselip di hati Lusi.
Bu Merry bergegas meraih tas tangannya dari atas meja televisi, kemudian dengan langkah mantapnya berjalan dibelakang punggung Pak Bramanto seraya menggamit lengan Lusi menuju keluar rumah.
Supir Pak Bramanto yang mengenakan safari hitam, membukakan pintu penumpang depan untuk Pak Bramanto, dan gantian membuka pintu samping untuk Bu Merry dan Lusi.
Satu persatu mobil-mobil mewah itu keluar meninggalkan halaman rumah. Menerobos jalan raya yang sudah sangat macet karena bertepatan dengan waktunya orang-orang pulang kantor.
Di dalam Mobil Bu Merry dengan tenang membuka ponselnya dan berselancar melihat-lihat toko online yang menjual baju- baju dan perhiasan. Namun tidak dengan Lusi, ada gejolak di dalam bathinnya. Sejujurnya, dia masih ragu akan keputusannya ini. Tapi dia tetap berusaha menenangkan hati dan meyakinkan dirinya bahwa semua akan baik-baik saja.
Satu jam kemudian, iring-iringan mobil hitam itu memasuki pekarangan sebuah rumah yang mewah. Pagar teralisnya tinggi dan sepertinya di buka menggunakan remote control. Karena tak tampak ada seseorang yang membukanya.
Satu persatu pria-pria bertubuh kekar itu keluar dari mobil dan tampak mereka membentuk barisan di sisi kiri kanan menuju pintu kayu yang sangat kokoh dan besar dengan ukiran yang sangat detil.
Bu Merry dan Lusi pun turun dari mobil dan mengikuti langkah Pak Bramanto yang sudah turun lebih dulu. Gadis itu
mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru halaman rumah mewah itu. Sangat luas dan tamannya tertata rapi. di hadapannya berdiri kokoh bangunan bertingkat, bercat putih dengan tiang besar menjulang yang menopang bangunan itu.
“Ayo masuk,“ ajak Pak Bramanto mencolek sekilas lengan Lusi.
“Silahkan duduk, saya panggilkan istri saya dulu.” Pak Bramanto mempersilahkan keduanya ketika sudah memasuki ruang tamunya.
Bu Merry dan Lusi mengangguk sopan, lalu menghenyakkan diri mereka ke sofa hitam yang terasa sangat empuk yang berada di tengah-tengah ruangan dengan warna putih yang mendominasi.
Triing....Triing...Triiing....
Deringan nyaring yang berasal dari ponsel milik Bu Merry yang berada di genggamannya mengejutkan Lusi. Spontan Lusi menoleh ke arah Bu Merry yang lekas bergerak untuk menjawab panggilan di ponselnya itu.
“Halo...Iya?...Baik....Baik....Halo?? Tak terdengar. Coba saya keluar dulu ya, susah sinyal di dalam ruangan,” sahut Bu Merry dengan suara kencang dan berulang-ulang. Sepertinya percakapannya mengalami gangguan.
“Lusi, tunggu ya, ibu terima telepon dulu di teras,” ijinnya pada Lusi. Gadis itu hanya menatap punggung ibu tirinya yang berjalan tergesa-gesa keluar pintu, dan masih dengan ponsel yang menempel di telinganya.
Lusi hanya terdiam terpaku di sofa besar itu. Tak ada orang satupun yang tampak di dalam rumah megah itu. Sunyi.
Lama Lusi menunggu Pak Bramanto membawa istrinya turun untuk menemuinya. Begitu juga Bu Merry yang tak terdengar lagi suaranya.
Lusi bingung. Dia celingak -celinguk melemparkan pandangannya ke semua arah. Kemudian beranjak dari duduknya lalu melangkah hendak menuju teras depan rumah untuk menyusul ibu tirinya di luar sana.
Namun baru beberapa langkah mendekati pintu.....
Braaakkkk...!
Tiba-tiba pintu besar di hadapannya tertutup. Lebih tepatnya ditutup kasar. Lusi mendorong-dorong pintu itu tapi tak bisa terbuka. Terkunci!
“Ibuuuu! Ibuuuu!” teriaknya seraya menggedor-gedor pintu besar itu dengan sekuat tenaga.
Seementara yang terjadi di luar rumah itu, Bu Merry tersenyum lebar ketika mendengar suara pekikan Lusi yang memanggil-manggil namanya. Lantas melengos begitu saja merasakan aura kemenangan sebelum memasuki mobil yang tadi ditumpanginya.
Mobil itu pun bergerak cepat meninggalkan rumah besar itu. Meninggalkan Lusi yang masih melolong dan menjerit-jerit di balik pintu.
“Rasakan kau bocah sialan, habislah kau di tangan bandot tua itu. Hahahaha....” gumam Bu Merry lalu tertawa puas.
“Ayahmu sudah mati, giliran kamu yang harus menghasilkan uang buat aku,” lanjutnya tanpa belas kasihan sedikitpun pada anak tirinya yang dia tinggalkan.
Dia membuka tas tangannya. Mengeluarkan secarik kertas pesegi panjang. Sebuah Cek bertanda tangan Bramanto. Tertera deretan angka sejumlah tiga milyar pada kolom nominalnya. Kemudian di kecupnya cek itu. Lalu kembali tertawa penuh kemenangan.
Good Morning,
Jangan lupa tinggalkan jejak baca ya
Like, Vote, Kritik, Saran di komen
Terima kasih
Happy Reading
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 104 Episodes
Comments
Pipit Sopiah
gila Mak Lampir
2022-12-30
0
Azd
anjinnn di jual😥
2021-07-28
0
Puji Rezeki
kurang ajarrrr
2021-07-04
0