Sesuai perintah ibuku, sehabis mandi dan sarapan, aku langsung pergi ke toko Sumber Kue yang berada di salah satu pasar tradisional paling legendaris di kotaku, pasar Bambu Kuning. Jarak dari rumahku ke pasar Bambu Kuning cukup dekat, hanya sekitar 10 kilometer.
Rumahku berada di komplek perumahan Permata Biru. Rumah tipe 36 yang dibeli bapakku waktu beliau baru menikah dengan ibuku. Kata bapakku, jaman dulu masih banyak ular berlalu lalang di jalanan depan rumahku. Maklum, karena dulunya di sekeliling perumahan tempat aku tinggal, masih banyak terdapat area persawahan. Tapi, beda dulu, beda sekarang. Area perumahan tempat rumahku berada sudah mengalami pertumbuhan pembangunan yang sangat pesat. Sudah banyak ruko-ruko atau perumahan-perumahan lain yang didirikan di sekitarnya. Hal yang membuat ular-ular bermigrasi entah kemana, karena tempat tinggal mereka tergerus laju pembangunan. Bukan hanya area perumahan saja yang berkembang. Rumahku juga mengalami perombakan sejak pertama kali dibeli oleh bapakku. Rumah tipe 36 berlantai satu itu, dirombak menjadi berlantai dua. Dimana di lantai duanya, kamarku, kamar Fitri, dan sepetak teras untuk ibuku menjemur pakaian berada.
Aku sampai di tujuanku setelah menempuh perjalanan selama lima belas menit. Setelah kuparkirkan motorku tepat di depan toko. Aku langsung melangkah masuk ke dalamnya.
"Assalamualaikum," aku memberi salam.
"Waalaikumsalam," balas Pak Selamet, yang nampak sedang sibuk menghitung angka-angka yang tertulis di atas tumpukan nota yang berada dihadapannya (Pak Selamet adalah pemilik toko Sumber Kue, sekaligus Ayah dari Nurlela). "Hey, Bento," kata Pak Selamet. Tatapannya masih tertuju ketumpukan nota di hadapannya. "Ini hari minggu, tidak ada orderan!" candanya, dan aku tertawa setelah mendengarnya.
"Bisa saja, Pak Selamet," balasku.
Toko Sumber Kue memang toko yang paling sering aku kunjungi untuk menawarkan tepung kue instan yang didistribusikan perusahaan tempat aku bekerja. Dalam seminggu, bisa dua sampai tiga kali aku ke toko ini, baik untuk mengambil pesanan, atau menagih pembayaran. Jadi, hubunganku dengan Pak Selamet memang cukup dekat.
Aku melangkah menghampiri meja kasir tempat Pak Selamet sedang sibuk dengan pekerjaannya. Jika kulihat tumpukan nota yang belum dia hitung, sepertinya pekerjaannya sudah hampir selesai. Jadi aku tunggu saja Pak Selamet menyelesaikan pekerjaannya, sambil kulihat-lihat barang-barang yang terpajang di dekat meja kasir.
Tampilan dalam toko Sumber Kue sama saja dengan toko-toko penjual bahan kue pada umumnya; sebuah ruangan bercat putih, dimana beberapa etalase kaca disusun memanjang di tengah-tengah ruangan untuk memisahkan area konsumen dan area penjual, lalu ada meja kasir yang ukurannya lebih tinggi dari etalase diletakkan di sisi kanan toko—jika dilihat dari luar toko. Beberapa produk-produk disusun rapih di dalam etalase, ada juga yang dipajang menggantung di langit-langitnya.
"Biasanya kamu belanja sama ibumu atau Fitri?" tanya Pak Selamet, setelah kulihat dirinya menekan tombol sama dengan, di kalkulatornya.
"Iya nih, Pak. Ibu lagi sibuk menyiapkan adonan kue, dibantu Fitri. Syukurlah Pak, ibu lagi banyak pesanan kue kering," balasku.
Pak Selamet tersenyum dan menganggukkan kepalanya merespon ucapanku. "Jadi, kau mau beli apa?" tanyanya kemudian.
"Tepung terigu lima kilo," jawabku, jelas dan mantap.
"Baiklah, tunggu sebentar," kata Pak Selamet, lalu dia beranjak dari meja kasir dan mulai menyiapkan pesananku.
Selagi Pak Selamet menyiapkan pesananku, aku meraih handphone-ku di saku celana, membuka Google, dan mengetik di kolom pencarian: fakta tentang nenek sihir.
Sesuatu membuatku sedikit gerogi, saat aku sedang membaca tujuh fakta tentang nenek sihir. Ketika sekonyong-konyong terdengar suara merdu seorang wanita mengucapkan, "assalamualaikum." Sontak aku langsung menghadapkan pandanganku kearahnya, dan berkata, "waalaikumsalam." Dan, terpanalah aku ketika mataku menangkap sosok Lela sedang berjalan memasuki toko sambil menenteng kantong plastik berwarna putih yang penuh dengan beragam macam sayur-sayuran.
"Bang Bento, belanja?" tanya Lela.
"Iya, belanja," jawabku, sedikit gugup.
Lela tersenyum menanggapiku—manis sekali, sambil terus melangkah menuju etalase kaca di tengah ruangan. Sesampainya di depan etalase, tangannya yang berkulit putih dan bersih mendorong pelan etalase untuk menciptakan sedikit cela, agar dirinya dapat memasuki area kusus penjual di dalam toko. Tentu saja mataku menyaksikan setiap detik momen yang membuat jantungku berdebar-debar itu.
Saat aku sedang memperhatikan Lela, tiba-tiba ...
"Hoi!" seru seorang wanita sambil menepuk pundakku dari arah belakang. Sontak aku terkejut, lalu pandanganku langsung kuarahkan ke belakang.
Mataku menangkap sosok seorang wanita paruh baya mengenakan daster berwarna merah dan membawa kantung plastik berwarna hitam di tangan kanannya. Wanita itu adalah Ibu Sulistiawati. Aku memanggilnya, Ibu Wati. Istri dari Pak Selamet, yang sekaligus ibu kandung Lela.
"Bu Wati?" sapaku, ramah.
Dia tersenyum kepadaku, lalu berkata, "kok tumben belanja sendirian?" tanyanya, sambil berjalan melewatiku, menuju tempat yang sama dengan yang tadi dituju Lela.
"Iya, Bu. Ibu lagi sibuk bikin kue dibantuin Fitri," jawabku.
Ibu Wati tersenyum menanggapi ucapanku.
Lalu, "Nih, pesananmu Ben," ucap Pak Selamet dari balik etalase, sambil meletakkan sebuah kantung pelastik yang berisi barang pesananku di atas etalase.
Karena pesananku sudah siap, maka segera aku rogoh kantung belakang celanaku untuk mengambil dompet hitamku.
"Ben?" kata Pak Selamet. Aku menengok kearahnya, sambil menyerahkan uang sejumlah harga barang yang aku beli. "Bantulah Lela mencari pekerjaan," pinta Pak Selamet.
"Lela kan, sarjana. Bagaimana kalau coba melamar ke perusahaanku, Pak?" balasku.
"Untuk jabatan apa?" tanya Pak Selamet.
"Ya ... coba kirim lamarannya saja, Pak. Kalau nanti ada posisi yang kosong untuk staff, siapa tau Lela di panggil untuk interview."
"Ah, tidak jelas dong, kalo gitu?"
"Ya, sebenarnya ada jabatan kosong untuk sales kordinator, Pak. Tapi, memang Lela mau kerja di lapangan? Kerjaan sales kordinator itu kan, hampir mirip denganku, hanya saja tanggung jawabnya lebih besar," ucapku.
"Tidak apa kok, Bang Ben," sambar Lela, sambil berjalan menghampiri Pak Selamet, lalu berdiri di sampingnya.
"Nah, sudah dengar sendiri kan, dari orangnya?" sambung Pak Selamet, sambil menunjuk Lela dengan ibu jarinya.
"Baiklah, kalau begitu. Kamu buat saja surat lamaran pekerjaannya. Nanti aku yang mengantarkan ke kantorku," ucapku.
Lela menganggukkan kepalanya, tanda dia setuju dengan usulanku. "Tapi, Bang Ben tunggu, ya? bentar kok. Aku cuma nulis lamarannya saja. Kalau berkas-berkas lainnya, kebetulan aku sudah ada dan disimpan disini," kata Lela, antusias.
"Baiklah, aku tunggu."
Setelah mendengar balasanku, Lela langsung bergegas mempersiapkan lamaran pekerjaannya. Saat aku memandangi Lela yang tampak begitu bersemangat menyiapkan lamaran pekerjaannya, kok, aku merasa sedikit menyesal memberitahu Lela soal info lowongan pekerjaan di kantorku? Jujur, aku jadi ngeri sendiri. Bagaimana kalau Lela tidak di terima? Atau parahnya, bagaimana kalau untuk interview saja, Lela tidak dipanggil? Bukankah itu bisa mengecewakannya?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments
Nanik Harahap
ceritanya asyeeekkkkk......
2020-12-20
0
NH
jarang jarang baca karya yg authornya cowok 😬 enak banget Bang bahasamu 👍
2020-10-08
1
Rachmat
next
2020-06-19
0