Semakin malam, acara semakin ramai. Orang-orang penting yang diundang ke acara mulai banyak berdatangan. Mereka saling menyapa, tak lupa membicarakan proyek atau bisnis masing-masing.
Tiara yang sudah datang dari setengah jam yang lalu hanya diam duduk manis di salah satu sofa.
"Permisi, anaknya Pak Ardi, ya?" Suara lelaki tua membuat Tiara terkejut. Berdirilah lelaki tua yang tampan dan gagah di hadapannya sembari tersenyum manis.
Di belakangnya, berdiri pula seorang lelaki yang lebih tinggi darinya, dengan wajah yang rupawan, ia berdiri dengan cuek.
"Iya." Tiara menjawab singkat.
"Saya temannya, Arsenio, atau Arsen." Lelaki itu mengajak Tiara berjabatan tangan. Tak lupa juga, untuk tetap tersenyum ramah.
Tiara menyambut jabatan tangan Arsen dengan senyuman ramah juga.
"Tidak sangka kamu datang. Ayahmu bercerita kamu malas datang ke acara perusahaan. Oh ya, adikmu mana?"
"Banyu? Untuk apa kesini?." Tiara bertanya balik.
Alis mata kanannya terangkat. Keningnya berkerut, menandakan dia memang kebingungan.
"Hanya bertanya. Saya pamit."
Arsen pergi disusul lelaki di belakangnya yaitu anaknya. Tiara mengabaikannya dan melihat ke panggung utama acara.
Tidak lama kemudian, papahnya naik ke panggung memberikan sambutan. Ia menyampaikan pidatonya yang disambut dengan tepuk tangan meriah dan tatapan kekaguman. Tiara yang melihat ikut bangga dan tersenyum melihat papahnya dan berharap hal itu akan terjadi padanya nanti.
Setelah selesai papahnya berpidato, Tiara langsung mengalihkan pandangannya. Melihat ke sekelilingnya, siapa tahu ada hal yang membuatnya tertarik.
Ami, temannya yang mengajak ternyata tidak bisa hadir karena pusing mendadak. Oleh karena itu, di dalam acara Tiara terlihat seperti patung.
Pandangan Tiara terhenti saat melihat anak Arsen, teman papahnya, yang sebelumnya ia lihat.
Badannya yang tinggi membuatnya lebih mudah terlihat.
Tampan. Sadarlah Tiara, ucapanmu hanya angan-angan, batinnya seraya membetulkan rambut yang menghalangi wajahnya.
***
"Kulihat kamu menatapku, ada yang salah?" Tanya seorang lelaki secara tiba-tiba dari arah belakang.
Tiara memutuskan untuk pulang, karena ia merasa tidak ada lagi hal yang harus dilihat dan dilakukan di acara.
"Hah? Maaf." Tiara berbalik dan melotot saat melihat lelaki itu adalah anak Arsen yang ia lihat tadi.
"Aku tidak bermaksud aneh, badanmu yang tinggi membuat semua orang mudah melihatmu."
Lelaki itu mengangguk. "Mau pergi bersama akhir pekan nanti?"
Ajakan yang keluar itu membuat Tiara kaget, namun membuat jantungnya berdetak kencang. Lidahnya mendadak kelu, dan badannya kaku.
Baru sejam yang lalu, ia bertemu lelaki itu. Itu juga dalam keadaan yang canggung dan hening.
"Untuk apa?"
"Hanya jalan-jalan sebentar. Ayah kita berteman, kenapa kita tidak bisa seperti itu?" Ucapnya dengan suara bass.
"Mungkin bisa. Aku tidak janji." Jawab Tiara perlahan.
"Namaku Ryder. Kalau kamu bisa, datang saja ke pasar malam dekat rumahmu. Bye," selesai mengatakan itu Ryder, lelaki yang tampan itu pergi meninggalkannya.
Aku pun baru tahu akan ada pasar malam dekat rumah, belum selesai Tiara bergumam dalam hati, Pak Aji yang tadi sedang memanaskan mobil memanggilnya.
***
"Astaghfirullah, kenapa orang sebaik Non Tiara banyak musuh!" Suara melengking Mbak Ati yang melewati lorong lantai 2 dekat kamar Tiara menggeleng tak percaya.
"Apa, Ti? " Tidak lama Yuna datang menghampirinya.
"Nyonya, ada surat, berdarah pula. Ya Allah, kenapa banyak orang iri pada Non Tiara," Ati kembali menggelengkan kepalanya.
GADIS PEMALAS! HANYA CANTIK, TAPI PENYAKITAN!
Tulisan itu tertulis jelas di atas kertas putih kecil. Tak luput dari penglihatan juga, ada darah yang sepertinya sengaja ditumpahkan disana.
"Kasih tau bapak, dan kumpulkan semua pegawai di ruang utama."
Ati langsung bergegas ke ruang kerja Ardi, Yuna langsung terduduk lemas seketika. Matanya terpejam dan kepalanya tertunduk. "Kenapa kamu gak bilang saya dulu, Cici!"
***
Suara klakson mobil terdengar sampai ke dalam rumah. Tiara keluar mobil dan masih berjalan dengan anggunnya.
Semua orang sudah tau kalau Tiara memang sangat anggun bak putri walaupun hanya mengenakan pakaian tidur.
"Ada apa berkumpul disini?" Tanya Tiara sesaat sampai ruang utama.
"Duduk, Nak. Ada yang harus kamu tahu." Ardi memberi kode pada Tiara untuk duduk di sebelahnya.
Tiara menurutinya dan duduk. Semua pelayan di hadapannya duduk di lantai seperti sinden.
Tiara melihat semuanya dari kanan sampai kiri. Melihat ada tukang kebun, dan supir keluarga juga. Hingga pada satu titik dia melihat ada kertas berdarah di atas meja.
Ia langsung menariknya dan membacanya. "Ada lagi," ucapnya sendu. Matanya tertunduk.
"Ini yang ke 14 kalinya surat berdarah aku terima," lanjut Tiara masih dengan mata yang tertunduk. Jelas terlihat ia merasa sedih.
"Ke 15 kalinya, Nak. Maafkan Mamah, ini usul mamah, tanpa diketahui siapapun." Mamahnya mulai menjelaskan.
"Mamah berharap dengan menerima surat berdarah kamu tambah bersemangat menjaga kesehatan kamu," lanjut Yuna dengan nada sedih dan rasa bersalah.
Tiara melihat mamahnya. Ada tatapan kesal, hatinya juga tidak menyangka kalau ini ide mamahnya.
"Darah itu darah hewan bukan manusia."
Tiara memeluk mamahnya. "Bukan begini Mah. Dengan kertas kayak gini, malah buat aku tambah pasrah dan males."
"Iya mamah salah. Mamah udah jelasin semua ke orang di rumah dan keluarga, kecuali Mbak Cici. Hilang dia, pergi kayaknya. Dia pasti yang tulis ini tapi gak bilang dulu ke mamah atau Mbok Asih." Jelas Yuna panjang lebar. Jika diteliti lagi memang hanya Mbak Cici yang gak ada di barisan.
"Cari Cici! Suruh dia kesini! Ji, tolong ya!" Ardi memberi perintah kepada Pak Aji yang berdiri sigap.
Pak Aji membuat hormat lalu lekas pergi ke kamar pelayan di belakang rumah.
Tidak sampai lama, Pak Aji kembali sambil berlari tergopoh-gopoh.
"Mbak Cici mati! Darah keluar dari lehernya. Matanya terbelalak."
***
"Innalilahi. Bagaimana bisa terjadi? Saya masih sempat mengobrol dengan Mbak," Rini mengusap wajahnya dan air matanya. Pelayan lain juga menangis, tak menyangka Mbak Cici mati dengan keadaan begitu.
Darah segar terus mengalir keluar yang berasal dari lehernya. Wajahnya menghadap ke atas dan matanya terbelalak. Seperti orang ketakutan dicampur terkejut.
"Ciciii! Ya ampun, maafkan saya sudah sempat salah menyangka kamu salah. Kenapa begini?!"
"Kalau begini berarti bukan Cici yang nulis surat itu, Mas. Cuma dia yang kuperintah menulis itu. Mbok Asih tidak bisa tulis dan baca. Aku tidak juga melakukannya," jelas Yuna sambil terisak-isak.
"Bisa jadi, darah di atas surat itu darah Mbak Cici, Nyonya," salah satu pelayan menyahuti.
"Bersamaan begini peristiwanya."
"Ada yang lain disini yang melakukannya, kan?!" Ardi berbalik menghadap pegawainya dengan tatapan marah.
"Mereka orang baru, Pah. Hanya Mbok Asih dan Mbak Cici yang lama. Begitu juga Pak Aji." Banyu menambahkan. Ardi mendengar itu langsung menyadari hal itu bahwa ia memang sering mengganti pelayan rumah, kecuali Mbok Asih, Pak Aji yang dia percaya dan Mbak Cici yang dipertahankan Yuna, istrinya.
"Ya sudah. Cepat bersihkan ini saja. Kita langsung bergegas memberi kabar keluarga Mbak Cici, agar bisa dikebumikan."
Mayat Mbak Cici langsung dibersihkan oleh Pak Aji, tukang kebun rumah, Pak Bayu, begitu juga Ardi yang ikut membantu.
Sisanya, para pelayan kembali melakukan kegiatannya begitu pula Banyu, Tiara, dan Yuna.
Surat ini bukan Cici yang tulis. Kalau bukan dia, siapa lagi? Yuna terus memikirkan tentang surat berdarah dan kematian Cici yang mendadak.
Namun, ia mencoba melupakan pikiran yang aneh dan mendoakan yang terbaik untuk Cici agar tenang di alam sana.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
Oralie
cerita ini bisa bikin saya menangis! Tapi juga sukses bikin saya tertawa geli beberapa kali.
2023-07-15
1
StarryOwO
Jiwa saya terkoyak!
2023-07-15
1